Cerpen: Wizhafira
Dingin bahkan tak seelok yang kuduga. Tega menusuk kurus keringnya badan mungilku dan menerobos pori-pori hingga tulang-tulangku ikut berteriak seolah memberontak tentang kehidupan. Tersebab dingin membuat mengigil jadi teman setia dalam keseharianku di negeri dingin tanpa salju ini. Aku seolah malaikat mungil yang selalu patuh dan taat. Kenapa tidak, aku ini hanya anak SD yang hanya tinggal berdua di gubuk reot bersama adikku yang gagah. Setahun sudah setelah ayah meninggalkan kami dan memilih isteri barunya setelah ditinggal mati ibu. Kini, hanya aku dan adikku yang masih menetap berdua di rumah beralaskan tanah dan dengan atap yang bocor ini demi mengenang bahagia bersama ibu.
Danau kembar seolah tak pernah lelah menghiburku. Selalu menyuguhkan bahwa banyak keindahan yang diciptakan Tuhan. Pesona danau kembar yang biasa disebut danau ateh dan danau bawah, keduanya tampak indah dari jendela rumahku karena memang gubuk ini berdiri tepat di puncak bukit di antara danau itu.
“ Kak Irmaaaaaa,” terdengar suara teriakan adikku Sefriandi. Sontak membuatku kaget.
“Ada apa?” tanyaku.
“Sudahlah kak. Aku tak sanggup lagi tetap bertahan di bukit ini tanpa tetangga. Jalan menuju rumah kita mulai semak. Pertanda di luar sana tak ada yang peduli pada kita. Aku selalu dikejar ular hampir setiap hari. Lama-lama, bisa putus jantungku.”
Adikku selalu berceloteh tentang ular yang sering dia lihat di sekeliling rumah kami. Dia memang takut sekali melihat ular semenjak dirinya pernah tak berdaya terkena gigitan ular berbisa. Untung saja di rumah ada obat penawar racun peninggalan ibu. Jadi, aku langsung memberinya obat. Jika aku meminta bantuan turun bukit untuk menolongnya, nanti akan sangat terlambat karena butuh waktu setengah jam untuk sampai pada pemukiman warga.
“Kak, kapan ayah terakhir mengunjungi kita?”
“Kakak juga tidak ingat Sef. Terakhir, ayah mengantarkan beras untuk kita bulan lalu. Mungkin saja ayah sedang pergi keluar kota untuk mengantar bawang merah juragannya,” jawabku.
Terkadang, aku ingin mengutuk semua orang yang ada di depanku. Semenjak kepergian ibu, aku jadi anak yang pendiam dan pemarah. Jika ada mengejekku soal ibu atau bahkan teman-teman mengatakanku anak terbuang, aku sontak langsung tegang, bahkan tak sadar beberapa menit. Orang bilang sekujur tubuhku kaku, bahkan tak bisa digerakkan sama sekali. Sebab itulah sebulan ini, aku dan adikku tidak bersekolah karena tidak tahan mendengar ejekan teman.
“Lampu kita padam kak. Kenapa belum juga kakak hidupkan?”
“Minyak tanah habis. Kakak belum beli ke warung karena uang yang dikasih ayah tidak tersisa lagi,” jawabku.
Begitulah adikku. Menyebut dama ini sebagai lampu. Karena rumah kami belum ada lampu listrik seperti rumah kebanyakan. Adikku menyebut benda itu lampu berharap di rumah kami juga terang-benderang dengan cahaya lampu. Sebagaimana indahnya pemandangan di bawah sana dari rumah kami yang gelap-gulita lagi sepi. Kelam. Sekelam hati mereka yang tidak memperdulikan kami.
Hanya Bu Ramalah yang sering mengunjungi kami, karena beliau merupakan saudara kandung Pak Hasan yang menjabat Wali Jorong kami. Ibu Ramalah sering menawarkanku untuk kehidupan yang lebih baik dan tidak terasing seperti ini. Namun, hatiku keras dan membatu untuk tetap bertahan di rumah gubuk ini demi membuktikan cinta pada almarhumah ibuku. Terkadang, aku berpikir untuk menuruti saran ibu Ramalah. Namun, seketika batinku berbisik untuk tetap di gubuk ini. Menjaga bawang, cabe, sayur mayur yang pernah ibu tanam. Kebun itulah yang menjadi penyambung hidup kami di puncak bukit ini. Untung saja aku rajin membantu ibu berkebun dahulunya sehingga sedikit pandai bercocok tanam dengan modal seadanya. Selain kebun peningalan ibu, sesekali ayah juga mengunjungi kami. Meskipun entah berapa kali dalam sebulan bahkan hanya sebulan sekali.
“Irma Yana. Lembutlah hatimu Nak,” Ibu Ramalah merayuku. Aku yakin pasti ibu Ramalah akan membujukku untuk meninggalkan rumah bahagiaku.
“Ibu. Sudah berapa kali Irma katakan. Irma tidak akan meninggalkan rumah ini, meskipun di luar sana banyak kebahagiaan. Di sini adalah kebahagiaan tertinggi bagiku. Dengan segala kekurangan yang ditinggalkan ibu, membuatku mengerti bahwa ibuku dahulu adalah pejuang tangguh. Ia membesarkan kami dengan membanting tulang di kebun kami. Hanya untuk membantu tugas ayah sebagai pangganti tulang punggungnya,” celotehku karena geram mengingat ayah seolah ayahlah penyebab kepergian ibu.
“Sssttttt….. tak baik bicara begitu Irma. Kau kan tahu ayahmu dahulu sakit selama tiga tahun. Jadi, ibumulah yang menggantikan tugas ayahmu. Sekarang, ayahmu sudah pulih kembali meskipun tidak bersama kalian. Namun, kalianlah yang menolak untuk pergi bersama ayah,” jelas Bu Ramalah.
“Iya Bu kami tidak suka dengan keputusan ayah menikahi wanita itu,” sahutku.
“Wanita itu sangat membenci ibu kami ketika ibu masih hidup. Aku pernah melihat ibu bertengkar dengan wanita itu. Wanita itu mendorong ibu hingga ibu terjatuh ke tebing dekat kebun kami,” lanjutku melempar kata kecewa.
“Mungkin saja ibu tirimu itu tidak sengaja,” pungkas ibu Ramalah berusaha menenangkanku.
“Jangan bilang dia ibuku,” sahutku. Aku diam sejenak dan berujar lagi.
“Ibuku hanya satu, yang melahirkanku. Sampai kapan pun aku tak akan pernah tinggal bersama wanita itu meskipun ayah bersamanya,” tegasku.
“Jika seperti itu keputusanmu Nak, bagaimana jika kamu ke “kota bengkoang”. Tinggal di panti asuhan milik teman ibu yang menjadi pengurus yayasan sosial. Di sana, kamu akan tinggal bersama keluarga baru dan teman-teman baru yang senasib sepertimu. Meskipun bidadari di rumah mereka telah tiada, cita-cita mereka masih hidup. Sebab itulah mereka memilih tinggal di sana untuk tetap bersekolah agar tercapai cita-cita.”
Ibu Ramalah berusaha menjelaskan padaku tentang hidup yang lebih baik. Namun, aku tak paham sebenarnya seperti apa hidup yang lebih baik itu. Sedari kecil hingga kini mataku hanya memandang hijaunya bebukitan ini dan birunya air danau kembar itu. Apakah mungkin di kota sana ada sesuatu yang lebih baik dari di sini.
“Ibu akan mengurus segala persyaratanmu untuk tinggal dan bersekolah di sana. Masalah izin ayahmu biar ibu yang urus,” tegas Bu Ramalah kepadaku. Ia berusaha meyakinkanku untuk menuruti keinginanya.
“Baiklah Bu. Jika aku bisa mewujudkan cita-cita sebagaimana janjiku pada ibundaku, aku rela meninggalkan rumah gubuk ini demi mengejar mimpiku.”
Seminggu berlalu setelah Bu Ramalah mengajakku ke “kota bengkoang”, aku masih di rumah gubuk. Menunggu segala urusan persyaratan untuk dapat tinggal di panti asuhan di sana. Salah satunya surat keterangan piatu dari kepala desa, akta kelahiran, dan surat pindah sekolah dari sekolahku di kampung dingin tanpa salju ke “kota bengkoang”. Besok pagi, Bu Ramalah akan mengantarkanku dan adikku ke “kota bengkoang” bersama Pak Hasan. Berat terasa langkah kaki menjauh pergi dari rumah gubuk. Meskipun rumah itu reot dan seperti tidak layak huni, sejuta kenangan ada di sana.
“Namaku Nadira, kamu siapa?” Seorang gadis cantik berambut panjang sepinggang melempar senyumnya padaku.
“Aku Irma, dari kampung dingin tanpa salju, dekat danau kembar,” jawabku sambil membalas senyum dan bersalaman dengannya.
Kami berdua berkenalan saat pertama menginjakkan kaki di panti asuhan. Kami saling menukar cerita dan berkisah tentang mimpi yang dilayangkan melangit bersama doa dan harapan. Hari itu jadi pembuka kisah persahabatanku dan Nadira.
***
Kini, tujuh tahun berlalu kami menghabiskan waktu bersama di panti asuhan yang dibilang mewah. Mungkin saja Tuhan sayang padaku, karena memberiku saudara dan panti asuhan yang bersih, indah, dan terawat. Beda dengan panti asuhan umumnya yang terkadang terlihat kurang terawat dan kurang bersih. Rumah yang bersedia menampung segala dera hidupku merupakan rumah dari pemberian seorang mantan anggota DPRD. Dermawan sekali Pak Andi bersedia memberikan rumah bak istana untuk dijadikan panti asuhan. Kami yang tinggal sebagai anak asuh di panti ini tidak merasa tinggal di panti asuhan. Kami seolah berada di rumah keluarga sendiri.
Besok, aku dan Nadira akan memulai hari perkuliahan perdana kami. Sungguh segala syukurku kepada Sang Maha Kaya. Dari segala hal yang hilang dan pergi dari hidupku seolah selalu ada ganti yang didatangkan Allah untukku. Kini, cita-citaku satu-persatu mulai tertapaki dengan menginjakkan kaki di dunia kampus. Panti asuhanku terbilang beruntung karena para donatur bersedia menanggung beban biaya pendidikan anak asuh sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bagi yang berniat mulia dan berprestasi serta bersungguh-sungguh, mereka bersedia menanggung biaya kuliah kami.
“Irma. Cantik sekali anakku dengan jilbabnya.” Aku kaget mendengar suara seorang wanita yang sangat aku benci semenjak kecil. Sambil memegang wajahku, sontak aku langsung menghindar dan menjauh. Ini kunjungan mendadak dari ayah bersama ibu tiriku.
“Dia bukan ibuku,” bentakku.
Wanita itu sangat kaget mendengar bentakanku. Aku sebenarnya juga tidak tega. Namun, jika ingat akan almarhumah ibuku, hatiku terasa sesak dan tertusuk. Seolah akibat wanita inilah, ibuku pergi. Wanita itu terlihat sedih atas sikapku padanya. Ia lalu terdiam dan menangis. Air matanya yang mengalir membuat hatiku hancur. Batinku menolak sikapku padanya.
“Ini Ibumu juga Irma,” ayahku berusaha menenangkanku dan berusaha menjelaskan segala kekeliruan sikapku pada ibu tiriku.
“Ibumu sangat merindukanmu dan adikmu. Begitu juga dengan ayah. Tujuh tahun kamu di sini enggan untuk pulang dan menjenguk ayah dan ibumu,” Terang ayah kepadaku. Aku diam dan menundukan pandangan. Tak berani melihat wajah mereka yang mungkin saja tersayat oleh kata-kataku yang tajam kepada keduanya setelah luka tertoreh di hati mereka tanpa aku ingini. Mereka pulang dengan beriba hati melihatku yang kini beranjak dewasa. Setelah tujuh tahun berlalu, aku tidak ingin bertemu mereka. Setiap ayah mengunjungiku, selalu saja wanita itu datang bersama ayah. Oleh sebab itu, aku tetap kukuh untuk tidak mau menemui mereka. Setiap kali aku bertemu wanita itu aku merasa melupakan almarhumah ibuku.
“Kamu terlihat murung saja Irma?” membuyarkan lamunanku.
“Iya Nadira. Aku teringat ibu tiriku. Meski aku membencinya. Namun, dalam hati kecilku ada rasa iba dan sayang padanya. Entah hal apakah yang membuatku sayang kepadanya. Mungkin saja karena dia juga yang bersedia menemani ayahku sepulang ibuku ke pangkuan Illahi. Namun, hal itu juga yang kadang membuatku luka.” Aku mulai terbuka pada Nadira. selama ini selalu kututupi dari semua kisahku yang terdalam dan terpahit.
“Kepergian ibumu adalah takdir Illahi Irma. Tak patut kamu mempersalahkan ibu tirimu atau ayahmu. Tak baik berprasangka buruk hanya melihat kejadian sekilas yang kamu saksikan. Terkadang, apa yang dilirik oleh mata tak sebenarnya itu hal yang baik atau buruk, bahkan bisa jadi kebalikannya.” Nadira memelukku untuk mendekap seluruh duka yang kualami. Ia seolah ikut merangkul semua bebanku dan berbagi pada dunia agar berkurang segala beban di pundakku.
Apa yang dikatakan Nadira mulai menggoyahkan egoku. Aku mulai mempersiapkan diri menyambut kenyataan bahwa aku memiliki ibu tiri yang telah bersedia menemani sisa hidup ayahku. Esok, jika aku berjumpa dengan ibu tiriku aku akan memohon maaf padanya. Menyampaikan pada ayah bahwa karang di lautan akan lapuk juga oleh ombak dan badai hingga terpisah dari akarnya. Begitu juga dengan egoku yang tak patut aku pertahan yang tiada guna. Aku beranggapan ibuku akan senang dengan sikapku seperti ini, Mungkin itu saja hal sebaliknya.
“Irma ayahmu datang. Pergilah ke ruang tamu menyambut kehadiran ayahmu,” sahut seorang pengurus panti asuhan.
“Iya bu, aku akan menemui mereka,” Aku berpikir pasti ayah datang bersama ibu tiriku. Aku mempersiapkan diri bertemu mereka dengan berpakaian rapi dan anggun. Agar terlihat cantik oleh keduanya.
“Mana ibu, yah?” Tanyaku spontan melihat ayah duduk sendirian di ruang tamu.
“Baru kali ini, ayah mendengarkanmu bertanya tentang ibumu,” Ayah terheran dengan tingkahku yang sebelumnya memang tak pernah peduli tentang ibuku.
“Sebelumnya, aku mengira dia orang asing yang memisahkan aku dan ibu kandungku dan memisahkan aku dengan ayah,” jawabku.
“Kamu salah mengira Nak. Mungkin ini adalah kesalahan besar ayah yang tak dapat membuatmu mengerti dan percaya kebenaran yang sebenarnya. Ibu tirimu bukankah ibu tiri. Wanita yang selama ini kamu benci dan bahkan tak kau akui sebagai ibu tiri memang bukan ibu tirimu. Dialah yang merenggang nyawa untuk melahirkanmu dan adikmu hingga dia rela berpisah denganmu hanya demi mematuhi apa yang ayah pinta,” jelas ayahku.
Aku terdiam seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan ayah padaku. Namun, aku tak dapat membantah karena wajahku mirip dengan ibu yang kuanggap ibu tiri.
“Benarkah ayah. Kenapa baru kini ayah katakan. Sangat menggunung segala salah dan dosaku pada Ibu,” isakku.
“Sejuta kali ayah katakan dia ibumu, namun sejuta kali kau menolak penjelasan ayah,” pangkas ayahku.
“Maafkan Irma ayah. Selama ini, tidak mendengarkan kata-kata ayah. Kini di mana ibu berada aku ingin berjumpa.”
“Kau terlambat sudah anakku..,” jawab ayahku sambil menahan air matanya yang mulai menetes.
“Kenapa terlambat ayah,” tanyaku penuh penasaran.
“Ibu mu tak akan pernah menemuimu tanpa ayah. Hari ini walaupun dia berencana menemuimu, namun takdir tak menjawab keinginannya. Dalam perjalanan ke sini, kami mengalami kecelakaan dan ibumu meninggal di tempat. Hanya ayah yang selamat. Kini, ia sedang berada di rumah untuk segera dikebumikan. Ayolah kita segera pulang sebelum terlambat.”
Mendengar hal tersebut seolah dunia ini terasa berat menumpuk di atas kepalaku. Aku menjadi pusing mendengar berita itu dan tak percaya. Badanku lemas, lalu terjatuh di lantai ruang tamu bersamaan jatuhnya air mata segala penyelasan dan laraku. Namun, berusaha menguatkan diri agar bisa pulang kampung melihat wajah terakhir ibu kandungku, ibu yang melahirkanku.
“Pergilah Nak melihat ibumu bersama adikmu sebelum kamu benar-benar merasakan sepasang jantung hati yang tertinggal.” kata penutup dari ayahku. Mengawali langkahku untuk pulang ke kampung dingin tanpa salju.(*)
Biodata Penulis:
Wizhafira merupakan nama pena dari Wiwit Ratnasari. Merupakan pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dengan NRA 048/D/003/001. Salah satu karyanya termuat dalam Antologi Cerpen Idulfitri untuk Ibu (2021).
Sastra Humanistik:
Telaah atas Cerpen Sepasang Jantung Hati yang Tertinggal Karya Wizhafira
Oleh:
Azwar Sutan Malaka
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumatera Barat
dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Cerpen “Sepasang Jantung Hati yang Tertinggal” merupakan sebuah karya fiksi yang ditulis oleh Wizhafira yang merupakan anggota FLP Sumatera Barat. Cerpen ini mengisahkan seorang tokoh bernama Irma yang merupakan seorang anak piatu yang tinggal bersama adiknya yang masih kecil bernama Isef atau Sefriandi. Ia yang masih SD itu tinggal di sebuah rumah reot di atas bukit yang jauh dari pemukiman penduduk. Sementara itu, ayahnya menikah lagi dan kemudian tinggal bersama istri barunya. Kepedihan hidup membuat Irma belia itu menjadi keras dalam menghadapi hidupnya, bahkan ketika ada orang yang menawarkannya untuk tinggal di panti asuhan, awalnya Irma menolaknya. Dengan hati yang keras, ia bersikukuh tidak akan meninggalkan pondok reotnya itu dengan alasan di pondok itulah memorinya tentang ibu ingin diabadikannya.
Namun, karena desakan nasib, Irma menerima tawaran Bu Ramalah yang merupakan istri Wali Jorong (Kepala Dusun) untuk mengantarkannya ke Panti Asuhan di Padang (penulis menyebutnya dengan “kota bengkoang”). Singkat cerita, sambil mengenang kepahitan hidupnya, Irma dan adiknya hidup di Panti Asuhan. Penulis menggambarkan tokoh ceritanya mengalami perlakuan yang baik di Panti Asuhan, bahkan melalui sang tokoh utama cerpen ini, penulis menggambarkan bahwa Panti Asuhan tempat tinggal Irma dan adiknya jauh lebih bagus dari pada Panti Asuhan yang dibayangkan tokoh.
Singkat cerita, Irma dan adiknya sudah sampai tujuh tahun di Panti Asuhan itu. Irma sudah mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Padang. Selama tujuh tahun Irma dan adiknya jarang pulang ke kampungnya untuk menemui ayah dan ibu tirinya. Pada tahun ke tujuh itu, ayah Irma dan ibu tirinya mengunjungi mereka ke Panti Asuhan. Di dalam cerita, melalui tokoh ayah disampaikan pengarang bahwa mereka menemui Irma dan adiknya karena ibu tiri Irma sudah rindu ingin bertemu Irma dan adiknya. Namun, Irma tetap memandang dunia dengan “kacamatanya”. Ia masih menyimpan amarah pada Ibu Tiri dan Ayahnya. Padahal di balik apa yang dia ketahui ada kisah rumit yang memang samar-samar ketika diceritakan dalam cerpen yang memiliki keterbatasan tempat untuk bercerita. Ringkasnya sebenarnya perempuan yang dianggap ibu tiri oleh Irma itu sebenarnya ibu kandung yang melahirkannya. Cuma karena sesuatu dan lain hal, ayah Irma meminta kepada perempuan itu untuk merahasiakan itu. Agak samar-samar memang bagaimana kisahnya sebenarnya, sekali lagi kita harus paham karena penulis memiliki keterbatasan untuk menceritakan semuanya (mungkin penulis bisa melanjutkan cerpen ini menjadi novel).
Begitulah akhir cerpen ini. Ketika Irma tahu bahwa perempuan yang dianggapnya sebagai ibu tiri itu sebenarnya adalah ibu kandungnya, Irma ingin bertemu dengan perempuan itu dan ingin minta maaf padanya. Namun sayangnya, perempuan itu sudah pergi meninggalkan Irma untuk selamanya dengan membawa rindu untuk diakui sebagai Ibu oleh anak yang dilahirkannya. Begitulah kisah sedih dan tragis ini, apapun kesan pembaca setidaknya kita perlu mengapresiasi penulis yang sudah menulis kisah ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Di balik itu, ada pesan moral yang dapat diambil dari cerpen ini, yaitu tentang sisi kemanusiaan yang ada dalam sebuah karya fiksi. Walaupun karya fiksi adalah buah angan dan imaji seorang pengarang, tetap saja ada pelajaran yang bisa dipetik dengan membacanya.
Dalam kisah ini ada nilai-nilai humanisme yang mendalam yang bisa mengingatkan manusia akan rumitnya kisah hidup setiap anak keturunan Adam. Humanisme sebagaimana namanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) salah satunya adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.
Sementara itu, dalam ranah sastra, humanisme biasanya untuk menyebutkan fakta kemanusiaan yang ada di dalam sebuah karya sastra. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Sahidillah dan Rahaya (2019) dalam tulisan mereka yang berjudul “Fakta Kemanusiaan dalam Kumpulan Puisi Pandora Karya Oka Rusmini (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Dalam tulisan itu, mereka menyampaikan bahwa karya sastra bisa saja memuat fakta-fakta kemanusiaan sebagai bagian dari sikap humanisme sastra dalam memandang dunia.
Lebih jauh, Sahidillah dan Rahaya (2019) menyampaikan bahwa fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktivitas maupun perilaku manusia yang dapat berwujud verbal atau fisik. Fakta kemanusiaan dapat juga diartikan sebagai kenyataan yang ada pada lingkungan sekitar masyarakat berkaitan dengan hubungan antarmanusia maupun manusia dan lingkungan. Fakta kemanusiaan muncul karena adanya aktivitas dan interaksi manusia dengan segala aspek kehidupan.
Goldmann (1967) juga menyampaikan bahwa fakta kemanusiaan merupakan salah satu unsur dalam kajian strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik menganggap bahwa teks sastra merupakan struktur dari suatu hasil proses panjang yang hidup dan dihayati oleh masyarakat tempat karya tersebut lahir. Gagasan dasar dari strukturalisme genetik adalah fakta manusia yang merupakan respon dari subjek individu atau kolektif terhadap situasi yang mereka alami. Semua perilaku manusia berserta akibatnya dapat terungkap melalui suatu karya sastra.
Lebih jauh, Goldman menyampaikan bahwa teori strukturalisme genetik lahir dari fakta kemanusiaan (human facts), baik fakta individual atau fakta libidinal (subjek kolektif), fakta sosial (transindividual), penstrukturan (structures), maupun pandangan dunia pengarang (author world views). Fakta kemanusiaan pada hakikatnya dibedakan menjadi dua, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual merupakan hasil dari perilaku libidinal manusia, seperti mimpi dan tingkah laku orang gila. Berbeda dengan fakta sosial yang memiliki peran penting dalam sejarah. Fakta sosial juga memiliki dampak dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun politik antaranggota masyarakat.
Dalam cerpen “Sepasang Jantung Hati yang Tertinggal” karya Wizhafira ini, sangat terlihat dengan jelas fakta-fakta kemanusiaan di dalamnya. Contohnya kehidupan Irma dan Isef yang ditinggal Ayah dan Ibunya itu tidak dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Melalui tokoh ibu wali jorong sebagai struktur sosial terkecil dalam masyarakat diperlihatkan oleh pengarang, masyarakat Indonesia masih memiliki rasa kemanusiaan yang dalam.
Usaha istri wali jorong yang berkali-kali membujuk Irma untuk mau tinggal di panti asuhan di Padang adalah solusi terbaik yang dilihat dalam konteks masalah itu. Karena pada dasarnya tokoh ayah hidup dalam keadaan melarat dan sakit-sakitan dengan kisah hidup yang rumit juga. Pilihan tinggal di panti asuhan adalah pilihan terbaik untuk Irma dan adiknya. Buktinya tokoh utama mengakui bahwa hidup di panti asuhan itu cukup baik dan jauh dari citra panti asuhan yang ada dalam pikiran masyarakat selama ini. Bahkan, Irma melalui panti asuhan tersebut bisa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Begitulah sastra humanistik, yaitu karya yang memuat nilai-nilai kemanusiaan di dalam ceritanya. Sekali lagi, di balik kelebihan dan kekurangan karya ini, pasti ada nilai moral yang dapat dipetik dari membacanya. Ada kisah emosional yang barangkali bisa mengundang air mata pembaca bersamaan dengan pelajaran nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post