Minggu, 18/5/25 | 08:09 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KREATIKA

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Minggu, 20/4/25 | 20:36 WIB

Rantau Nan Jauh

Cerpen Karya:

Salman Luthfi Al Fayyadh

 

Kalian tidak akan percaya jika kuceritakan matahari yang mendaki Singgalang demi mendapat sebuah perhatian, kalian mungkin juga tidak akan percaya jika kuceritakan kisah angin yang dapat menceritakan senyum di wajah. Aku melihat semua kisah itu, dari balik jendela sama seperti saat aku melihat Amak dengan rambutnya kian memutih, kerutan di wajah yang semakin hari semakin menjadi-jadi, mengenakan daster bermotif batik dengan noda basah di beberapa bagian karena aktivitasnya yang harus menjemur pakaian.

Akhir kisah mereka sungguh bahagia, sang mentari berhasil tiba di puncak dan mendapat perhatian karena panas yang ia pancarkan. Angin juga tidak pernah elah membuat anak-anak tersenyum Bahagia, peluh yang keluar tak mereka hiraukan, layang-layang mereka terbang menembus lautan awan, terikat erat dengan sebuah benang yang dililitkan oleh botol bekas minuman. Terserah kalian jika ingin berpikir bahwa aku hanyalah seorang gadis pengangguran yang kini sedang meratapi siklus alam. Aku sama seperti remaja remaja pada umumnya memiliki sebuah cita-cita, namun bedanya aku terpaksa harus menundanya. Izin Amak belum juga kudapatkan dari Desa ke Pulau Jawa. Amak berkata, anak gadih hanya perlu di rumah membantu pekerjaan rumah.

BACAJUGA

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB
Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Apakah aku sedih, kecewa atau marah? Ya, tapi perasaan itu ku pendam dalam-dalam, belum saatnya aku melepas perasaan itu, setidaknya sampai aku tau alasan Amak melarangku merantau. Perlahan aku pergi menjauhi jendela, menuju tempat Amak kini berada. Setiap kali kakiku melangkah, derak kay uterus saja terdengar, suara ini pertanda bahwa Rumah Gadang ini sudah sangat tua dari umur Amak. Sampai di pintu depan, aku segera menuruni setiap anak tangga, bunyi kayu lag-lagi terdengar, di anak tagga terakhir aku melompat lalau berlari menuju Amak, mengambil pakaian basah dalam ember lalau berkata,

“Uti bantu yo Mak”

Amak tak membalas pernyataanku, kuputuskan tetap membau Amak

“Mak, Uti kan lah gadang,” Ucapku memulai pembicaraan.

“Trauih . . .”

“Dulu Uti pernah bilang hendak ke Jawa, sekolah guru di sana, tapi Uti harus fokus sekolah itu pikiran nanti-nanti, sekarang Uti lah lulus Amak belum mau juga izinkan Uti pergi.”

Panjang lebar ku jelaskan, tapi Amak tak hiraukan. Baiklah aku akan lanjutkan.

“Uti pengen betul jadi guru, bermanfaat bagi banyak orang, berperan besar untuk masa depan, keputusan Uti lah bulat, Mak. Tak bisa diubah.”

“UTI!!! Kau mau bantu Amak atau ceramah. Tak perlu kau bilang, Amak lah paham akan cita-cita kau. Tapi kau ingat Uti, kau anak gadih bukan anak bujang. Kerja kau di rumah bukan merantaau ak jelas arah.” Balas Amak tampak kesal.

“Tapi Uti jelas arahnya!! Ingin ke pulau seberang mengejar mimpi menjadi guru, kurang jelas di amana, Mak?” Ucapku geram.

“Uti, kau lah Amak ajarkan tata krama, lupa kau sama kato nan ampek. Amak ingatkan sekali lagi kau ini anak gadih tinggal di rumah, tak perlu rasanya kau merantau jauh ke sana, peranmu di sini buka jua di sana!!!” Jawab Amak tegas.

Aku terdiam sejenak, Amak segera meninggalkanku begitu selesai, ku tetap lama laying-layang yang kini berterbangaan. Percuma aku membujuk Amak, semua perdebatan tadi akhirnya merujuk pada hakikat seorang perempuan yang seharusnya tinggal di rumah, menikah, melahirkan dan akhirnya harus mengurusi rumah tangga. Baiklah aku akan tunjukkan pada Amak bahwa seorang anak gadih sama saja dengan anak bujang. aku akan jadi layang-layang yang bebas beterbangan.

Kalian masih ingat kisah angin yang menciptakan senyum di wajah ternyata ia punya kisah lain bersama awan yang menjadi teman seperjalanan, mereka pergi mengelilingi dunia, menyerap berbagai ilmu yang ada di sana. Dan saat waktu istirahat mereka tiba, maka awan membagikan ilmunya pada seluruh orang di bawah sana, kurasa aku sekarang merasakannya, dingin. Bibirku pucat betul karena menerobos hujan, baju kurung dan hijab yang kugunakan basah semua. Setelah kejadian tadi siang kuputuskan kabur dari rumah agar aku dapat membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki itu sama.

Malam itu aku menatap kaca alam, mataku memerah karena tangis yang kutahan, di luar sana hujan terus-menerus turun entah kapan ia akan berhenti, kakiku melangkah ke luar kamar, membawa sebuah kertas keperluan. Pelan kakiku melangkah, takut membangunkan Amak. Ampai di depan rumah, aku segera ke luar menatap hujan yang tak kunjung eda. Kuletakkan paying yang belum diambil, urung aku menggunakannya, takut nanti ketika ketika Amak mencariku ia kehujanan, baiklah, baiklah ak meneguhkan hati sejenak sebelum akhirnya berlarian menembus jalan.

“Tok… Tok…” Ketukan pertama tak ada jawaban.

“Tok… Tok…” lagi, tak ada jawaban.

Pada ketukan ketiga, pintu tiba-tiba terbuka, keluar dari dalamnya seorang pria yang terkejut menatapku. Aku terdiam sejenak, canggung rasanya keadaan yang kini kuhadapi, badanku terus saja bergetar kedinginan.

“Gantilah baju kurungmu dulu. Ada kunci di dalam kau bisa gunakan jika curiga denganku.” Ucap sang pria sambil pandangan menuju ke bawah.

Aku mengangguk, lalu segera masuk ke dalam ruangan Gharim itu, ya Garim, kini aku tengah berada di Surau di tempat para remaja biasanya tidur. Ku Ganti baju secepatnya di dalam ruangan kecil itu, hanya ada Kasur dan lemari di sini. Selesai aku berganti baju, kutemu pria itu di pelataran surau, setidaknya aku harus menceritakan masalahku sebelum tinggal beberapa minggu di sini.

“Pergilah ke sana” Ucap sang pria ketika aku akan duduk di depannya. Sedikit bingung, tapi ku turuti perkataannya. Aku berjalan pean menuju bagian perempuan, ada pembatas di sana. Aku terdiam sejenak memandang pria itu dari balik pembatas. Aku kena dia, Namanya Lathif seorang kemenakan dari Datuak Batang Tabi, orang tuanya meninggal saat Lathif  baru lima tahun. Dari yang kuingat orang tuanya berwasiat agar Lathif disekolahkan di pulau Jawa. Sekolah asrama setelah lama belajar di sana. Lathif akhirnya pulang, lamaunanku buyar ketika petir terdengar. Baiklah aku harus ceritakan masalahku padanya.

“Uti, kau tau negeri kita beradat, dengan agama sebagai penasehat. Bolehkah aku memberimu masukan dalam pandangan agama?”

Aku sedikit terdiam lalu mengatakan “Ya”.

Lathf segera membaca salah-satu ayat Al-Quran Al-`Ala` ayat tiga lalu mengartikannya,

“Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, sungguh Uti Allah telah berkata bahwa setiap manusia telah ditentukan takdrnya- keahlian waktunya- jika kau seorang gadis, jadilah gadis, dalam Al-Qur`an tidak dilarang perempuan bekerja, tai jelaskan erempuan dimuliakan dengan berjuang dalam rumah, mengurus aset masa depan negeri.” Jelasnya.

“Tapi Tua, Uti ingin jadi guru, bermanfaat bagi banyak orang.” Jawabku.

“Ngerti aku dengan perasaanmu, tapi biarlah perempuan berjuang di rumah. Laki-laki di rantau urang.” Balas Lathif.

“Lagi-lagi tentang perbedaan gender, baiklah Tuan, kukatakan bahwa tujuanku adalah Gharim. Biarlah Tuan tnggal di rumah tuan. Biar tugas Tuan aku pegang.” Ucapku marah.

Awalnya ia menolak, namun akhirnya Lathiif mengalah bilang besok akan pindah, maka dimulai hari besok aku menjadi garim.

Pagi-pagi sekali aku bangun kuambil sapu ijuk, ku bangunkan para pemuda tanggung di pelataran Surau, kusuruh mereka adzan juga imam. Siangnya kubersihkan apa yang harus dibersihkan. Aku buang apa yang harus dibuang.

Dalam mengerjakannya kadang terbesit rindu. Tapi ku hempas dalam-dalam kalua ingat dengan alasanku melakukannya. Lathif juga membantuku dalam prosesnya. Setiap hari tanpa pamrih ia bawakan makanan untukku terkadang aku segan dengannya. Selain gunjingan sering juga kuterima entah dari kalangan pria atau wanita, namun aku harus bertahan agar cita-cita terlaksana.

Sampai pada suatu hari saat aku tengah menyapu halaman Surau, Amak datang kepadaku dengan mata yang masih basah, aku terkejut tapi kupeluk jua ia. Tangisku pecah dari sana aku bisa melihat Lathif dari kejauhan.

Ternyata Lathif selama ini membujuk Amak setiap hari. Setiap hari tanpa pernah absen. Betul kata orang nama adalah doa Lathif artinya lembut yang telah berhasil menghancurkan keras kepala Amak.

“Mutiara…” Ucap Amak tersedu-sedu.

“Amak rindu jo Uti, sakit kepala Amak ketika tau Uti kabur. Amak cari Uti maam itu, terikir olhe Amak Uti akan ke Surau.”

“Amak sakit? Sakit apa Mak, sudahkah Amak minum obat?”

“Tak perlu kau hiraukan itu Uti, sekarang Amak lah setuju dengan impianmu. Pergilah ke pulau Jawa, tapi harap Uti jangan lupa pulang, ingatlah Uti layang-layang yang terbang bebas masih punya tali agar dapat kembali, maka kau jadikanlah negeri ini talimu untuk kembali.

“Iyo, Mak. Uti kan ingat pesan Amak. Uti janji.” Ucapku sambil memeluk Amak Erat.

Maka siang itu juga aku kembali ke rumah. Tinggal di sana beberapa hari, lal pergi ke pulau Jawa asana. Aku menangis ketika akan berangkat, tanganku memegang erat sebuah buku, “Habis Gelap, Terbitlah Terang.”

Sebelum pergi kalian tau aku dapat dua kejutan sekaligus. Satu tentang Lathif yang menyukaiku namun harus kutolak karena kami sesuku. Serta salah-satu alasan Amak melarangku pergi karena kecelakaan pesawat yang terjadi saat Apak ke pulau Jawa. (*)

Tentang Penulis:

Salman Luthfi Alfayyadh lahir di kota Pekanbaru pada 29 Desember 2007, ia memiliki hobi membaca hingga akhirnya memiliki keinginan untuk menulis buku sendiri.

 

 


Emansipasi Perempuan dan Benturan Tradisi dan Modernitas dalam Cerpen “Rantau Nan Jauh” karya Salman Lutfi Al Fayyadh

Azwar

Oleh:

Azwar

(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)

 

Riris Toha Sarumpaet dalam buku berjudul Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010) membicarakan tentang fungsi karya sastra dengan mengutip beberapa pendapat ahli seperti Horatius yang menyampaikan fungsi utama karya sastra terdiri dari dulce et utile (sweet and useful). Lebih jauh dalam Bahasa Indonesia dulce (sweet) dapat diartikan sangat menyenangkan sedangkan utile (useful) dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bermanfaat atau bersifat mendidik.

Kedua hal tersebut juga bisa diartikan dengan fungsi menghibur dan mendidik. Dimana karya sastra memiliki fungsi sebagai media untuk memberikan hiburan kepada pembacanya dan sejalan dengan itu karya sastra juga memberi fungsi sebagai media pengajaran yang memberikan nasihat-nasihat dan penanaman nilai-nilai moral kepada pembaca sehingga pembaca mendapatkan nilai-nilai positif dari karya sastra. Lebih jauh Sarumpaet (2010) menyampaikan bahwa karya sastra memampukan manusia menjadi lebih manusiawi; mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupannya.

Saut Situmorang (2010) dalam esainya berjudul “Globalitas dan Lokalitas dalam Membayangkan Indonesia Sebuah Kritik Pascakolonial” mengutip pendapat terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson tentang nasionalisme Indonesia. Ben Anderson mengulas secara mendalam tentang hal yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruksi kultural.

Kreatika edisi minggu ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Rantau Nan Jauh” karya Salman Lutfi Al Fayyadh. Cerpen ini mengisahkan perjuangan seorang gadis Minangkabau bernama Uti yang memiliki cita-cita besar untuk menjadi guru dan merantau ke Pulau Jawa demi menuntut ilmu. Namun, keinginannya terhambat oleh pandangan tradisional sang Amak, yang meyakini bahwa seorang “anak gadih” harus tinggal di rumah dan tidak layak merantau seperti “anak bujang”.

Uti tak tinggal diam. Dalam diam, ia memendam kekecewaan dan akhirnya nekat kabur dari rumah, mencari perlindungan di Surau. Di sana, ia bertemu Lathif, seorang pemuda bijak dan lembut yang menjadi teman diskusi sekaligus penyemangat. Meski sempat terjadi benturan pandangan, Lathif akhirnya membantu Uti dan bahkan membujuk Amak setiap hari agar mengizinkan impian anaknya.

Konflik memuncak ketika Amak akhirnya datang ke Surau dalam keadaan penuh emosi dan rindu. Ia mengungkapkan alasan terdalamnya—trauma akan kecelakaan pesawat yang menimpa Apak di masa lalu. Akhirnya, Amak merelakan Uti untuk merantau, dengan satu pesan penting: jangan lupa pulang, karena sekuat-kuatnya layang-layang terbang, ia tetap butuh tali untuk kembali.

Cerpen ini menyentuh tema emansipasi perempuan, benturan nilai tradisi dan modernitas, serta cinta keluarga yang mendalam. Sebuah kisah haru dan inspiratif tentang keberanian mengejar mimpi di tengah belenggu adat dan trauma masa lalu. Emansipasi Perempuan dalam cerpen ini  berarti perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki, termasuk dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan menentukan jalan hidup. Dalam cerpen “Rantau Nan Jauh”, Uti adalah gambaran perempuan muda yang punya mimpi besar: ingin jadi guru dan kuliah ke Pulau Jawa. Tapi ia dihadapkan pada pandangan konservatif dari Amaknya, yang meyakini bahwa perempuan cukup tinggal di rumah, menikah, dan mengurus keluarga. Pesan utama terkait teman emansipasi ini tokoh Uti ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa berpendidikan tinggi, berguna bagi orang banyak, dan tidak harus terkekang oleh stereotip “anak gadih”.

Tema kedua yang diusung dalam cerpen ini adalah benturan nilai tradisi dan modernitas. Cerpen ini juga memperlihatkan benturan antara nilai adat (tradisional) dan pemikiran modern. Tradisi/adat Minangkabau tergambar meski matrilineal (garis keturunan dari ibu), tapi masih ada pembatasan peran perempuan dalam ruang publik seperti merantau, bekerja, atau bersekolah jauh.

Sementara itu pemikiran modernitas dalam cerpen ini tergambar dari tokoh Uti yang membawa semangat Kartini—ingin bebas, berpendidikan, berdikari, dan menentukan hidupnya sendiri. Pertentangan ini terlihat jelas dalam dialog Uti dan Amak. Amak mempertahankan adat, sementara Uti menuntut perubahan. Pesan utama terkait benturan tradisi dan modernitas ini adalah adat dan budaya penting, tapi harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman agar tidak menghambat potensi generasi muda—terutama perempuan.

Hal lain yang menjadi bumbu pelengkap cerita ini adalah perasaan cinta kepada keluarga yang mendalam. Di balik semua konflik dan pertengkaran, sesungguhnya cerpen ini dipenuhi oleh cinta antara anak dan orang tua, hanya saja ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Tokoh Amak menunjukkan sebagai tokoh yang keras dan mengekang karena trauma bahwa dulu Apak (ayah Uti) meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika merantau ke Jawa. Ia takut kehilangan Uti juga.

Sementara tokoh Uti sendiri tetap hormat dan sayang pada Amaknya, meski ia memberontak. Bahkan ia meninggalkan payung agar Amaknya tidak kehujanan saat mencarinya—simbol kepedulian yang manis. Pesan utama pada bagian ini adalah kadang cinta orang tua tampak sebagai larangan atau batasan, tapi sebenarnya berasal dari rasa sayang yang dalam. Dan perubahan bisa terjadi jika cinta dan pengertian berjalan berdampingan.

Secara umum cerpen ini menyatukan ketiga hal tersebut: semangat perempuan muda melawan batasan sebagai perempuan, gesekan antara adat dan kemajuan zaman, dan kekuatan cinta keluarga sebagai jembatan pemahaman.

“Rantau Nan Jauh” adalah cerpen yang sarat akan nilai dan makna. Ia bukan hanya kisah tentang seorang gadis yang ingin merantau, tapi juga potret perlawanan terhadap ketimpangan, cinta yang tak lekang oleh waktu, dan keyakinan bahwa setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya. Cerpen ini memberi pesan kuat bahwa adat dan modernitas bisa berjalan berdampingan selama ada dialog dan kasih sayang. (*)

Tentang Kreatika

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.

Tags: AzwarAzwar Sutan MalakaFLP SumbarKreatikaSalman Lutfi Al Fayyadh
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Cerita yang Tak Pernah Pensiun

Berita Sesudah

Ayo Ke Kote, Jangan Tunda!, Imunisasi Membangun Kekebalan Lingkungan Sosial

Berita Terkait

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB

Puisi-puisi Farha Nabila   Kanak-Kanak dalam Diri Tatkala kutemukan diriku dalam relung kesepian Yang disana takkan kutemukan dengungan sumpah serapah...

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat Karya: Balqin Adzra   “Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual...

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra   Merindu Nagari Nan Jauh Tiap langkah yang menapak Meninggalkan rindu yang menjejak Risau nan gulandah memenuhi...

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 13/4/25 | 20:49 WIB

Puisi-puisi Fatma Hayati   Daster Ibu Tiba-tiba terdengar suara Kreeekkk..... "Daster ibu sobek" Aku spontan berteriak ke arah ibu Ibu...

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 30/3/25 | 17:36 WIB

Baganti jo Kain Hitam Karya: Athifaleaa   Di tengah udara yang hangat, di sebuah desa di Minangkabau, kehidupan terasa penuh...

Puisi-puisi Muhammad Yusuf Husein dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Muhammad Yusuf Husein dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 23/3/25 | 18:57 WIB

Puisi-puisi Muhammad Yusuf Husein   Santri untuk Negeri   Pemimpin impian Kini waktu telah tiba Terus melangkah sebagai awal permulaan...

Berita Sesudah
Ilustrasi imunisasi (Foto: Ist)

Ayo Ke Kote, Jangan Tunda!, Imunisasi Membangun Kekebalan Lingkungan Sosial

POPULER

  • Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

    Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Realitas Kekuasaan Budaya Politik Elite di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kata Penghubung dan, serta, dan Tanda Baca Koma (,)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keunikan Kata Penghubung Maka dan Sehingga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024