Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra
Gambar Diri
Ini gambar diri.
Aku yang berjalan tak selalu lurus,
kadang tersandung bayangan sendiri,
cerobohku jadi candaan sunyi,
tanganku sering menjatuhkan hari,
Seperti perang dalam diri
Ini lukisan diri,
Aku melukis impian indah tiap hari,
di kanvas waktu dan janji diri,
dan kupercaya, walau tak mudah dijalani,
setiap mimpi akan menemukan jakannya sendiri,
Seperti anak-anak yang pulang ke pangkuan Pertiwi.
Bibirku ragu tuk berkata,
takut suara tak sampai makna,
mata lebih sering menunduk dalam,
menyembunyikan gemetar yang diam.
Di balik gambar yang tampak sederhana,
tersimpan impian yang luar biasa,
lukisan jiwa penuh warna,
meski goresnya kadang tak rata.
Aku pun pernah bermimpi,
tentang cita-cita masa kecil,
dan kini, dari impian yang lama,
tumbuh harapan yang tak bisa padam begitu saja.
Ini tentang aku,
Yang tak tunduk pada dunia.
Aku yang berani menantang matahari demi merengkuh cita-cita.
Pamulang, 21 Mei 2025.
Senandung Senja Biru
Dalam senja yang redup merunduk,
langit mengulum warna biru paling sendu,
gerimis jatuh pelan tanpa ragu,
menyiram sunyi yang lama membeku.
Jiwaku berjalan tanpa suara,
menyusuri jejak hari yang tak jua pulih,
di balik awan, luka lama terbuka,
terembus angin, namun tak bisa bersih.
Gerimis jadi saksi luka yang diam,
senja menuliskan sajak tanpa nama,
dan biru—bukan sekadar warna malam,
tapi gema rindu yang tak juga sirna.
Jakarta, 25 Mei 2025
Malam yang Tergugah
Malam datang dengan langkah perlahan,
membawa kelam yang tak berkesudahan.
Aku sendiri, duduk di sudut sunyi,
menyulam bayang, menatap langit tinggi.
Kelam bukan hanya gelap tanpa cahaya,
tapi hati yang tak tahu arah ke mana.
Namun tiba-tiba jiwa tergugah,
oleh desir angin dan kenangan yang ramah.
Sendiri tak selalu berarti sepi,
kadang justru tempat hati mengerti.
Di tengah malam yang gelap dan lelah,
terbit harapan, meski hanya setitik cerah.
Jakarta, 25 Mei 2025
Tentang Penulis
Puti Fathiya Azzahra, merupakan pelajar SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Tangerang Selatan. Pelajar yang hobi membaca novel ini sedang belajar menulis, terutama menulis puisi sebagai tempat menyampaikan gagasan dan pendapatnya tentang berbagai hal dalam kehidupan.
Luka dan Rindu Jadi Satu
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Aku melukis impian indah tiap hari,
di kanvas waktu dan janji diri,
dan kupercaya, walau tak mudah dijalani,
setiap mimpi akan menemukan jakannya sendiri,
Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya melalui kata-kata yang dipilih untuk mewakili gagasan yang disampaikan atau menggunakan diksi. Diksi adalah pemilihan kata-kata yang memiliki kedudukan sangat penting dalam puisi. Sebagai karya yang bersifat fiktif, karya sastra bisa menjadi media curahan hati yang efektif bagi pengarangnya dalam bentuk tulisan menjadi puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Karya sastra yang ditulis pengarang tersebut kemudian dibaca dan dipahami oleh pembaca sehingga pembaca dapat mengerti maksud dan pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya tersebut.
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2010: 272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa sastra. Menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan imajinasi dalamproses penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa. Dengan demikian, unsur bahasa merupakan sarana yang penting dandiperhitungkan dalam penyelidikan suatu karya sastra, karena bahasa berfungsi untuk memperjelas makna.
Sayuti (2008) merumuskan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan aspek bunyi, berisi ungkapan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair dari kehidupannya. Dengan demikin, puisi harus mampu membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Puti Fathya Azzahra. Ketiga puisi tersebut berjudul “Gambar Diri”, “Senandung Senja Biru”, dan “Malam yang Tergugah”.
Puisi pertama, “Gambar Diri”, menggambarkan perjalanan batin dan refleksi seorang individu dalam mengenal, menerima, dan memperjuangkan jati dirinya. Aku lirik dalam puisi ini berusaha memahami dirinya, bahwa sebagai seorang manusia biasa dia mempunyai kelemahan dan kekuatan. Kelemahan membuatnya melakukan kesalahan dan cemas dengan kenyataan, seperti diungkapkan dalam larik “Aku yang berjalan tak selalu lurus” dan “tanganku sering menjatuhkan hari”. Kelemahan diri terebut menggetarkan nyalinya, “Bibirku ragu tuk berkata, takut suara tak sampai makna”.
Namun, adanya harapan dan impian menjadi semangat bagi si aku lirik supaya tetap optimis menghadapai jalan di depannya. Puti Fathya menulis, “Aku melukis impian indah tiap hari”, impian ini ibarat bahan bakar yang memotivasinya mengejar cita-cita. Larik “Aku yang berani menantang matahari demi merengkuh cita-cita” ini mempertegas keteguhan hati si aku larik, sebab dia sudah meyakini “setiap mimpi akan menemukan jalannya sendiri”.
Meski cukup sederhana, puisi ini berhasil menjadi refleksi emosional dan inspiratif tentang perjalanan seseorang dalam memahami dan mencintai dirinya sendiri, lengkap dengan segala kekurangan dan harapannya. Beberapa diksi menarik yang digunakan Puti menunjukkan potensi besarnya dalam menulis puisi: “melukis impian di kanvas waktu”, “perang dalam diri”, dan “menantang matahari” “melukis impian di kanvas waktu”, “perang dalam diri”, dan “menantang matahari”.
Senja adalah momen yang menjadi primadona banyak penulis. Senja kerap menjadi diksi dan metafora yang masuk ke dalam karya-karya sastra karena telah memiliki kandungan estetika puitis. Senja turut hadir di dalam puisi kedua Puti Fadhya dengan judul “Senandung Senja Biru”. Berbeda dengan kebanyakan karya yang memadukan senja dengan warna merah atau jingga, Fathya justru mengimajikannya dengan biru.
Larik yang ditulis Fathya, “langit mengulum warna biru paling sendu” dan “gerimis jadi saksi luka yang diam” menghadirkan emosi sentimentil yang pekat. Ada campuran gelisah dan rasa sedih yang berkecamuk, diperkuat kesannya dengan larik “jiwaku berjalan tanpa suara” dan “luka lama terbuka”. Entah luka sedalam apa yang telah menyakiti aku lirik, namun keperihannya begitu membekas: ‘Gerimis jadi saksi luka yang diam,/ senja menuliskan sajak tanpa nama,/ dan biru—bukan sekadar warna malam,/ tapi gema rindu yang tak juga sirna.’
Puisi ketiga sepertinya merupakan akumulasi dari keresahan penyair. Puisi berjudul “Malam yang Tergugah” ini menampung kegelisahan yang kontemplatif: “Aku sendiri, duduk di sudut sunyi”, “Kelam bukan hanya gelap tanpa cahaya, tapi hati yang tak tahu arah ke mana”, dan “Jiwa tergugah oleh desir angin dan kenangan yang ramah”. Larik-larik ini menggambarkan perasaan gelap dan kehilangan arah, menuju momen pencerahan batin yang tenang dan menguatkan.
Apabila dikaitkan dengan datangnya musibah dan cobaan, insprasi yang dapat dipetik adalah janji Allah SWT bahwa di balik kesusahan ada kemudahan yang menjadi motivasi seorang hamba untuk terus mencari solusi atas permasalahan yang dia hadapi. Tak ada beban berat ditimpakan di bahu, melainkan orang itu sanggup memikulnya.
Waktu sendiri dalam istilah kekinian disebut me time memang sering dimanfaatkan orang utnutk memanjakan diri sendiri, memenuhi kebutuhan dan kesenangan diri yang terhalang oleh gempuran rutinitas. Lebih jauh, momen me time dapat juga digunakan untuk merenung dan evaluasi diri, seperti yang ditulis Fathya: ‘Sendiri tak selalu berarti sepi,/ kadang justru tempat hati mengerti./ Di tengah malam yang gelap dan lelah,/ terbit harapan, meski hanya setitik cerah.’ Pada saat seorang diri, kita dapat berpikir lebih jernih, menyimak suara hati, dan menemukan kebijaksanaan diri yang terimpit oleh realitas hidup yang naif dan banal. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.