Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat
Karya: Balqin Adzra
“Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual mochi dalam bahasa yang mungkin takkan kalian pahami. Aku mendengus, dan merapatkan jaket tebal yang ku pakai untuk menghangatkan tubuhku “Siapa yang ingin membeli mochi di musim dingin seperti ini?” gumamku. Walaupun mochi itu dimakan orang-orang jepang pada musim dingin seperti ini, tetap saja itu tidak cukup untuk menghangatkan diriku.
Aku hanya berjalan tak acuh melewati si penjual mochi, lalu berjalan melewati salah satu zebra cross yang ada di jalanan Kyoto. Musim dingin seperti ini, kota ini tetap ramai oleh pejalan kaki yang ingin bekerja atau melakukan aktivitas penting lainnya.
Tujuanku saat ini adalah mencari makanan yang dapat menghangatkan diriku dari dinginnya udara di siang hari ini. Lima belas menit aku berjalan menyusuri jalanan Kyoto dan melewati beberapa kedai makanan yang mungkin asing di telinga kalian, akhirnya kakiku berhenti di sebuah kedai Ramen yang ramai oleh pengunjung.
Ah! Itu dia aku membutuhkan makanan berkuah untuk menghangatkan tubuhku.”Ramen sepertinya pilihan yang bagus” batinku. Aku sempat ragu untuk memasuki kedai itu. Namun, setelah melihat tulisan “halal” di papan kedai, aku langsung menginjakkan kakiku ke dalam toko. “ sepertinya, kedai ini untuk turis muslim” batinku senang.
Aku mengambil tempat yang paling dekat dengan si koki, lalu menyebutkan pesananku pada si koki “tolong shoyu ramennya satu” ucapku menggunakan bahasa yang sama dengan si koki. “siap!” balas si koki dengan semangat dan dengan segera menyiapkan pesananku. Suasana di kedai Ramen ini sungguh hangat.
Sangat berbeda dengan suhu luar ruangan yang dingin. Para pengunjung saling bercengkrama dengan sahabat, rekan, dan keluarga. Suara seruputan mie masuk ke indra pendengaranku, suara seruputan itu membuatku tersenyum geli. “Kalau Amak mendengar seruputan mereka, pastilah Amak akan marah” batinku geli mengingat wajah ibuku yang memerah dengan kening yang berkerut.
Aku ingat ketika aku makan berbunyi seperti itu, ibuku akan marah dan berkata “Kau jangan makan seperti itu Zakir! Itu sumbang makan namanya!” marah ibu lalu menarik telingaku. “ tapi mak, sumbang duo baleh itu kan untuk perempuan saja! Awak kan laki laki mak!” ucapku membela diriku sambil meringis kesakitan. “Kau pikir hanya perempuan saja yang tidak boleh makan berbunyi seperti itu? Apa salahnya kau mematuhi salah satu sumbang, yaitu sumbang makan. Supaya kau jadi laki laki yang sopan dalam makan.Mengikuti salah satu sumbang tidak akan membuatmu jadi laki laki yang melambai!” jelas ibuku dengan tegas.
Ibuku sangat menjunjung sumbang duo baleh. Ibuku mengajarkan sumbang ini pada kedua adik perempuanku agar mereka menjadi perempuan yang baik dan sopan. Sumbang duo baleh ini sudah menjadi adat istiadat di daerah asalku, yaitu Sumatera Barat. Sesuai namanya, terdapat dua belas perkara yang tidak boleh dilanggar oleh gadis Minangkabau. Salah satunya sumbang makan. Kalau dipikir lagi ibuku benar. Memangnya anak gadis saja yang tidak boleh makan berbunyi?
Saat aku sedang senyum senyum sendiri mengingat masa lalu, aku dikejutkan oleh suara koki yang menggelegar ke seluruh penjuru kedai. “Maaf menunggu lama, shoyu ramennya sudah siap!!” sang koki meletakkan semangkuk ramen hangat di depanku. “ terimakasih” ucapku tersenyum, lalu mengambil sumpit dan mulai mengaduk bumbu ramen agar bumbu dan kuahnya menyatu. Aku masukkan sesuap mie ramen ke dalam mulutku. Perlahan tubuhku mulai menghangat karena ramen yang ku makan.
Ramen ini enak.tapi tidak bisa mengalahkan enaknya soto khas Bukittinggi buatan ibuku yang kaya akan rempahnya. Kuahnya yang kental dan gurih dikarenakan santan, daging ayam atau sapi yang empuk, serta telur rebus dan daun bawang sebagai pelengkap soto.Oh! jangan lupakan sambal yang menambahkan rasa pedas pada soto sehingga membuat tubuh kami semakin hangat.
Semangkuk ramen yang sudah dipesan tadi sudah habis. Karena tubuhku sudah hangat dan perutku sudah kenyang, saatnya aku mencari inspirasi untuk membuat tugas menggambar dari dosenku. Aku adalah mahasiswa dari Musashino Art University yang terletak di Kodaira, Tokyo bagian barat. Kali ini dosenku meminta kami membuat gambar yang dapat membuatnya terpukau.
Kami bisa memilih tema dengan bebas, deadline tugas ini sekitar 3 hari lagi. Ah, sepertinya ketika sudah mendapatkan ide yang aku butuhkan,aku harus begadang untuk menyelesaikan tugasku. Baru saja aku keluar dari kedai Ramen, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Saat aku memeriksanya, ternyata deadline tugas itu dipercepat menjadi 2 hari lagi. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Aku harus bergegas!” batinku.
Kaki ku mulai membawaku menjauh dari keramaian kota Kyoto. Aku mulai memasuki kawasan penduduk yang sangat berbeda dengan kota shibuya yang metropolitan. Desa ini terlihat lebih kuno. Rumah-rumah tradisional jepang masih banyak disini. Aku teringat kampung yang banyak penduduknya tinggal di rumah tradisional. Kami menyebutnya Rumah Gadang atau Rumah Bagonjong. Rumah ini sangat unik, karena atap atau gonjongnya berbentuk seperti tanduk kerbau.
Kadang saat aku masih kecil, aku suka mengeluh pada ibuku, kenapa kami tinggal di rumah itu. Lalu ibu berkata “Rumah ini, rumah turun temurun dari ninik mamak kau. Mana mau Amak meninggalkan rumah ini” jelas ibuku. “Tapi Mak, akan lebih enak jika kita punya rumah seperti rumah di kota kota besar sana mak” bantahku. “ tidak Zakir! Ini warisan kita.Jika kita pergi, siapa yang akan menjaga budaya kita? Pokoknya kita akan tetap tinggal di sini! “ tegas ibuku menutup topik.
Aku melangkah dengan ringan sembari melihat lihat suasana di sekelilingku.Desa ini masih terlihat asri. Angin musim dingin kembali berhembus membuatku semakin merapatkan jaket tebal ku.Aku melewati sebuah lapangan rumput yang luas.Banyak anak anak yang sedang bermain di sana. “sepertinya mereka sedang bermain petak umpet,” gumamku.
Negeri Sakura ini,menyebut petak umpet dengan sebutan “kakurenbo” jika di Sumatera Barat kami menyebutnya dengan permainan “mancik mancik” aku dan teman temanku sangat suka permainan ini. Permainan yang di mana dimainkan oleh 2 orang atau lebih dan salah satunya akan berjaga tugasnya adalah menghitung sampai sepuluh dan yang lainnya akan sembunyi. Aku sangat hebat di permainan ini! Tapi berbeda cerita jika aku bermain galah panjang. Biasanya di sebut cakbur di daerah Riau ke atas.
Teman temanku akan selalu marah ketika aku tertangkap oleh lawan. Mereka akan berkata “ kau pandai bermain atau tidak Zakir?! Payah sekali kau main” teriak mereka. Aku hanya bisa mengeluarkan cengiran khas ku, dan mengucapkan maaf pada teman temanku. “ Kau jadi anak bawang sajalah!” kesal teman temanku. Aku hanya mengangguk,masih mempertahankan cengiranku.
Aku tersenyum mengingat itu. Betapa lucunya tingkah kami dulu. Kami bermain dari pulang sekolah hingga ke petang, lalu kami akan diteriaki oleh orang tua kami untuk segera pulang. Bersiap siap untuk pergi ke masjid dan mengaji.Kadang kadang,para orang tua itu akan membawa sapu untuk mengancam para anak anak agar mereka segera pulang ke rumah.
Aku kembali memperhatikan lapangan luas yang penuh dengan anak anak itu. Ternyata walau musim dingin seperti ini, semangat mereka untuk bermain tidak pernah padam.Lihatlah! Ada yang sedang sembunyi,mengejar temannya yang sudah ketahuan, bahkan ada yang sibuk bermain bola. Tanpa kusadari, sebuah bola terbang ke arahku. Dengan cepat aku menangkap bola itu, agar tidak mendarat di wajahku.“ Hampir saja” ucapku lega.
Aku melihat ke arah lapangan. Anak anak itu hanya terdiam melihatku. Bahkan yang tadi masih sibuk sembunyi, langsung keluar dari tempat persembunyian. “maafkan kami” ucap mereka serentak sambil membungkuk.Aku hanya tersenyum, dan berjalan menghampiri mereka. “tidak apa-apa” sahutku sambil memberikan bola kepada salah satu dari mereka. “Aku senang melihat kalian! Kalian mengingatkanku pada masa kecilku” jelasku senang.
Mereka hanya memandangku dengan tatapan yang tidak bisa aku jelaskan. “Apakah kakak berasal dari luar negeri?” tanya seorang bocah laki laki berponi.”eh, iya benar. Aku berasal dari luar negeri” jawabku. “wahh!! Kakak berasal dari negara apa?” tanya bocah perempuan berkuncir itu dengan semangat. “Aku berasal dari negara tropis.
Di negara itu terdapat banyak suku dan agama. Namun,kami hidup dengan rukun. Nama negara itu Indonesia”.Aku menjelaskan pada mereka, dan mereka melihatku dengan kagum.”Apa kalian memiliki baju tradisional juga seperti Kimono atau Yukata?” Tanya anak perempuan itu lagi.Aku mengangguk lalu membuka ponsel pintarku untuk menunjukkan baju tradisional daerahku pada mereka.Anak anak itu langsung ribut.Memberikan komentar tentang pendapat mereka mengenai baju tradisional itu.
Aku tertawa melihat reaksi mereka yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. “Kami memiliki baju tradisional yang banyak. Setiap suku memiliki baju khasnya masing masing. Khusus daerahku, kami menyebutnya baju “Bundo Kanduang” dan baju “penghulu” bukankah sangat indah?” tanyaku sambil memperlihatkan foto ibu dan ayahku yang sedang memakai baju Bundo kanduang dan pakaian penghulu.Ibu dan ayahku akan memakai baju adat ini jika menghadiri upacara adat. Seperti upacara pernikahan, Batagak Panghulu,Turun Mandi, dan lain lain.
Aku menceritakan semua tradisi, makanan dan adat istiadat minangkabau.Mereka duduk melingkar, dan melihatku dengan antusias.Mereka akan bertanya sesuatu jika mereka bingung dengan adat istiadat. Mereka juga akan merespon dengan kalimat “wahh pasti indah” atau “wah sepertinya itu enak! Aku mau coba”.Kadang keluar pertanyaan aneh dan lucu dari mereka. Aku tertawa mendengarkan pertanyaan mereka dan berusaha untuk menjelaskan dengan baik.
Matahari mulai turun ke arah barat. Bersiap siap untuk berganti tempat dengan sang bulan. Bunyi suara bel mulai terdengar di seluruh daerah jepang. Menandakan bahwa, anak anak harus segera kembali ke rumah masing masing. Anak anak itu memberikan salam dan lambaian tangan padaku sambil berkata “ Sampai jumpa lagi kak! Kapan kapan kita cerita dan bermain lagi ya” teriak mereka.
Aku mengangguk dan membuka mulutku, “ Baiklah! Sampai jumpa lagi” Teriakku sambil membalas lambaian tangan mereka. Mereka berlari pulang ke rumah masing masing setelah mendengar jawabanku. Meninggalkanku sendiri di lapangan hijau yang luas ini.
Aku membawa kakiku pergi meninggalkan pedesaan ini, menuju ke arah kota Kyoto untuk pulang ke Tokyo dengan menggunakan shinkansen. Saat aku berjalan keluar desa,aku di hadang oleh beberapa preman. “Apa lagi sekarang?” keluhku dalam hati. Aku melihat mereka dengan tatapan datar.“Permisi,bolehkah kalian memberikan aku jalan? Aku ingin pulang” Ucapku sopan. Preman-preman itu tersenyum remeh kepadaku. “berikan uangmu! Setelah itu kau boleh pergi”, Tawa mereka dengan keras. “Apa katanya? Memberikan uang? Jangan bercanda! Uangku hanya tersisa untuk pulang ke Tokyo!! Batinku kesal.
Aku menghela nafas dan kembali membuka mulutku “Maaf tapi uang itu tidak bisa ku berikan kepada kalian, karena aku membutuhkannya untuk ongkos pulang. Jadi, tolong menyingkirlah,” ucapku tegas. Pandangan mereka berubah tajam.Sepertinya mereka marah dengan kalimat yang kukeluarkan tadi. Aku meneguk ludah ku kasar. “beraninya kau! Habisi dia!!” ucap salah satu dari mereka. Satu pukulan melayang ke arahku dan tepat mengenai sudut bibirku,membuatku meringis dan terhuyung ke belakang.
Ah, situasi ini mengingatkanku pada ayah saat aku latihan silat di surau bersamanya.Beliau berkata, “Kuatkan kuda-kudamu, Zakir!” teriak ayahku. Saat itu, aku terkapar tak berdaya di tanah, tak mampu menuruti keinginan ayahku. Mengingat itu, membuatku menggertakkan gigi. “Baiklah! Akan ku kuatkan!” jeritku dalam hati. Aku berusaha berdiri tegak dan memasang kuda-kudaku. Lantas, aku balas preman yang tadi memukulku. Rekan-rekannya terkejut, satu persatu dari mereka maju menghadapiku dan aku tumbangkan mereka semua dengan mudahnya. Aku pun meninggalkan mereka yang sudah terkapar tak berdaya dan ku bawa kakiku melangkah pergi menuju stasiun kereta.
Aku terduduk lesu di atas kereta. Pikiranku kalut karena belum mendapatkan ide untuk tugas menggambar ku. “Bagaimana ini? Waktuku semakin menipis. Aku belum mendapatkan ide apapun. Jauh jauh aku datang dari Tokyo ke kyoto tapi aku tidak mendapatkan apa apa, malah lebam yang ku dapatkan” keluhku dalam hati sambil melihat diriku yang berantakan di pantulan kaca kereta.Aku sudah pasrah jika esok lusa aku akan dimarahi oleh dosenku itu. Aku lelah, aku hanya ingin tidur di kamarku yang hangat untuk saat ini.
“Bolehkah aku tidur sebentar?” tanya ku entah pada siapa. Saat aku mulai terlelap, suara notifikasi pesan terdengar dari ponsel pintar ku. Aku membuka ponsel itu dengan malas. Ternyata, pesan itu dari adik perempuanku yaitu Raham. “Uda Zakir! Cobalah lihat ini”. Aku membuka video yang dikirim Raham padaku. Video itu membuat senyuman lebar terbit di wajahku “Ondeh, si Bukhari sudah bermain Randai sekarang ” gumamku kecil. Bukhari, Adik laki laki bungsuku itu sudah pandai bermain randai gerakan nya mantap sekali. Padahal saat aku tinggal pergi, tingginya masih sama dengan perutku Sekarang tubuhnya sudah tinggi. Kira kira Bukhari itu setinggi mataku sekarang.
Raham kembali mengirim video dengan pesan “Uda Zakir coba lihat juga ini!”. Aku membuka video yang Raham kirim padaku. Video itu membuatku tertawa kecil.” Oi! Adik perempuan termuda ku, yaitu Salma.sedang melakukan tarian piring dengan kaku. “Ondeh, orang yang tidak bisa menari, di suruh menari” gumamku kecil.
Raham kembali mengirimkan foto Bukhari yang sedang berpose dengan gerakan randai dan Salma yang sedang berpose dengan gerakan tari Piringnya. Saat itu aku mulai menyadari, betapa bagus dan hebatnya jika seluruh adat,makanan, dan tradisi minangkabau di satukan di dalam satu gambar seperti ini. “Ondeh! Rancak bana ko” seruku tertahan. Aku mulai mengeluarkan buku sketsa ku dan mulai membuat sebuah gambar yang hebat dan mengesankan nantinya.
Ah,benar juga! Kenapa tidak terpikirkan olehku! Aku memiliki budaya yang menarik, dan mampu membuat banyak orang terkesan. Budaya Alam Minangkabau dengan seninya yang indah dan terdapat makna yang dalam di segala hal. Mulai dari pakaian, tarian, arsitektur rumah,sampai makanan pun pasti ada maknanya.
Setelah jauh jauh aku mencari sesuatu yang hebat dan mengesankan,ternyata hal itu sangat dekat denganku. Kenapa aku mencari hal yang lain sedangkan aku mempunyai sesuatu yang indah dan hebat di dekatku.Bahkan sejauh apapun itu, budaya kita itu akan selalu hebat di mata orang luar sana.Mau budaya dari suku apapun itu. Apakah kalian tahu berapa nilai tugas menggambar yang dosenku berikan pada ku? Tentu saja A+. (*)
Antara Kenangan, Budaya, dan Ketegangan yang Terabaikan
Ulasan Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat”
Oleh: M. Adioska
Konflik adalah kejadian penting dalam cerita yang menunjukkan pertentangan antara tokoh dengan dirinya sendiri, tokoh lain, atau lingkungannya. Konflik menjadi pusat dari alur dan pengembangan cerita. (Burhan Nurgiyantoro, 2013)
Konflik adalah inti dari sebuah cerita, dan bisa dibilang, tanpa konflik, sebuah cerita tidak akan bisa berkembang. Ketika membaca cerpen, pembaca sering kali terjebak dalam dunia tokoh-tokoh yang berjuang dengan pergolakan batin mereka, bertarung dengan nilai-nilai yang bertentangan, atau berhadapan dengan tekanan dari dunia luar. Konflik inilah yang membuat cerita itu hidup. Misalnya, seorang tokoh yang terjebak dalam dilema moral, antara memilih untuk mengikuti kehendak dirinya atau memenuhi harapan orang lain. Dilema ini bukan hanya sekadar memilih antara dua hal, tetapi juga menggambarkan ketegangan yang terjadi dalam diri tokoh itu sendiri. Ketegangan ini tak hanya menggugah rasa ingin tahu pembaca, tetapi juga menambah kedalaman pada karakter, mengungkapkan sisi-sisi tersembunyi dalam diri mereka.
Konflik dalam cerpen tidak hanya menciptakan ketegangan yang menegangkan, tetapi juga berfungsi untuk menggali karakter lebih dalam, memperkaya hubungan antar tokoh, dan menyampaikan pesan atau kritik sosial. Seorang penulis tidak hanya menggunakan konflik untuk memicu peristiwa-peristiwa yang mendebarkan, tetapi juga untuk menekankan gagasan atau tema yang ingin disampaikan. Tanpa adanya konflik yang kuat dan relevan, cerpen akan kehilangan daya tariknya, dan pembaca akan merasa terputus dari cerita tersebut. Cerpen tanpa konflik yang bermakna cenderung membosankan dan tidak meninggalkan kesan mendalam pada pembaca, sehingga pesan yang ingin disampaikan pun tak dapat diterima dengan baik. Sebuah cerita hanya akan hidup jika ada konflik yang bisa membangkitkan rasa penasaran dan emosi, membawa pembaca untuk ikut merasakan perjuangan tokoh-tokoh dalam menghadapi dunia mereka.
Kreatika edisi kali ini mengangkat sebuah cerpen dengan judul Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat karya Balqin Adzra. Cerpen ini menggambarkan perjalanan seorang mahasiswa asal Indonesia, Zakir, yang sedang berada di Kyoto, Jepang, untuk mencari inspirasi tugas menggambar. Cerita dimulai dengan Zakir yang merasa canggung terhadap cuaca dingin di musim dingin Kyoto, dan meskipun menikmati makanan khas Jepang seperti ramen, ia teringat akan masakan ibunya, terutama soto khas Bukittinggi yang selalu menghangatkan tubuhnya.
Setelah menikmati ramen, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di desa Kyoto yang lebih tradisional, teringat kampung halamannya di Sumatera Barat dengan Rumah Gadang dan nilai-nilai adat yang kuat. Ketika ia melihat anak-anak bermain petak umpet, ia mengenang masa kecilnya yang penuh tawa dan kenangan bersama teman-teman. Namun, saat ia berhadapan dengan preman-preman di desa tersebut, Zakir teringat ajaran ayahnya tentang kekuatan dan keteguhan, dan ia berhasil melawan para preman dengan ilmu bela diri yang diajarkan ayahnya.
Setelah kejadian itu, Zakir merasa bingung dan frustasi karena belum menemukan ide untuk tugas menggambarnya. Namun, pesan dari adiknya, Raham, yang mengirimkan video adik-adiknya yang sedang menunjukkan keahlian dalam seni tradisional Minangkabau, seperti Randai dan Tari Piring, membuka matanya. Ia menyadari bahwa budaya Minangkabau yang ia bawa dari kampung halaman memiliki keindahan yang luar biasa dan patut dibanggakan. Dengan ide baru yang terinspirasi oleh kebudayaan tradisionalnya, Zakir akhirnya menyelesaikan tugas menggambarnya dengan penuh kebanggaan dan mendapatkan nilai A+.
Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” memiliki sejumlah kelebihan yang mencerminkan kualitas cerita yang baik dari segi unsur-unsur cerpen. Dari sudut pandang unsur-unsur yang terkandung didalamnya, cerpen ini telah memenuhi beberapa kriteria, diantaranya; alur. Alur dalam cerpen ini cukup dinamis, dengan perpindahan antara perjalanan fisik sang tokoh utama, Zakir, di Kyoto, dan perjalanan batin dalam mengenang masa lalu serta menemukan inspirasi dari budaya asalnya, Minangkabau. Cerita ini mengalir dengan lancar, ditambah lagi terdapat beberapa pergeseran tempat dan waktu yang menambah kedalaman pengalaman sang tokoh.
Dari segi karakterisasi juga terasa kuat, terutama dalam menggambarkan tokoh Zakir yang sering merenung, mengenang masa kecilnya di kampung halaman, serta menghadapi tantangan di Jepang dengan cara yang mencerminkan identitas dan budaya keluarganya -meskipun ada beberapa catatan kecil dalam unsur ini nantinya-. Karakter ibunya yang kuat dalam menerapkan nilai-nilai adat juga ditonjolkan dengan baik, menciptakan kontras yang menarik dalam kehidupanyang dihadapi Zakir saat ini.
Latar yang digunakan juga mendalam, menggambarkan dua dunia yang berbeda—Kyoto yang modern dengan kehidupan perkotaan yang sibuk, serta kampung halaman Zakir yang tenang dan tradisional. Pergeseran latar ini memberikan gambaran kuat mengenai identitas budaya yang Zakir bawa dari tanah kelahirannya di Sumatera Barat. Detil-detil yang menggambarkan rumah gadang, permainan anak-anak, hingga makanan tradisional, menambah otentisitas cerita ini.
Tema yang diangkat, yaitu tentang pencarian identitas dan pentingnya menghargai budaya sendiri meskipun berada jauh dari rumah, sangat relevan dengan pengalaman banyak orang yang merantau. Cerpen ini juga berhasil menyampaikan pesan yang kuat bahwa kebanggaan akan budaya kita akan tetap hebat, sejauh apapun kita pergi.
Terakhir, unsur gaya bahasa yang digunakan terasa hidup, dengan penggunaan narasi yang kadang-kadang bercorak humor dan kadang serius. Pencampuran bahasa Indonesia dengan elemen kebudayaan Minangkabau juga menambah kekayaan cerita, memberikan kesan keotentikan yang dalam.
Diluar dari unsur-unsur sebuah cerpen, kisah “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” memiliki sejumlah kelebihan yang membuatnya menarik dan memikat. Salah satunya adalah kekayaan budaya yang diangkat penulis. Dalam hal ini penulis mampu menggambarkan berbagai aspek kehidupan Minangkabau, seperti adat, makanan, pakaian tradisional, hingga permainan khas daerah yang dibawakan dengan cara yang autentik dan penuh makna. Kehadiran budaya Indonesia di tengah setting Jepang memberikan nuansa yang unik yang dapat memperkaya cerita.
Selain itu, cerpen ini sangat kuat dalam hal pengembangan karakter. Tokoh utama, Zakir, digambarkan sebagai pribadi yang memiliki ikatan kuat dengan keluarganya dan warisan budaya, meskipun ia hidup jauh dari tanah kelahirannya. Di sisi lain, cerpen ini juga menyentuh aspek emosi dengan menghadirkan kenangan masa kecil yang hangat, serta keteguhan hati dalam menghadapi tantangan, baik itu dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam tugas yang diberikan dosen. Kontras antara dunia modern dan tradisi yang ada di dalam cerpen ini memberikan kedalaman yang sangat terasa.
Kelebihan lain yang mencolok adalah tema persatuan dan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Meskipun tokoh utama jauh dari rumah, ia belajar untuk lebih menghargai dan merayakan warisan yang ia miliki. Ini tercermin dalam momen ketika ia mendapat inspirasi untuk menggambar, menggunakan keindahan budaya Minangkabau sebagai sumber kreativitas. Di akhir cerita, pesan tentang pentingnya mengenal dan menjaga budaya sendiri dengan rasa bangga begitu mengena, memberikan kesan mendalam tentang betapa indahnya keberagaman budaya di dunia ini.
Disisi lain, meskipun cerpen ini memenuhi beberapa unsur-unsur sebuah cerpen dan berhasil menggambarkan kekayaan kebudayaan tokohnya, namun kisah ini terasa kurang mengigit dalam segi pengembangan konflik. Konflik-konflik yang ada dalam cerita, meskipun ada beberapa momen ketegangan, seperti ketika Zakir dihadang oleh preman di desa atau mengalami kesulitan dalam menemukan ide untuk tugas kuliah, tidak berkembang menjadi sesuatu yang benar-benar menegangkan atau menggugah emosi pembaca. Dalam banyak hal, masalah-masalah tersebut diselesaikan dengan cara yang terlalu cepat dan terkesan mudah, mengurangi dampaknya terhadap alur cerita.
Misalnya, pertemuan dengan preman yang berujung pada kekerasan fisik tampak seperti sebuah momen yang bisa menambah ketegangan dan perkembangan karakter, namun Zakir dengan mudah mengatasi situasi tersebut. Pukulannya terhadap preman-preman yang mengancamnya terasa seakan hanya untuk memberikan sedikit pertempuran fisik tanpa memberikan dampak emosional yang lebih dalam terhadap dirinya atau cerita.
Demikian juga dengan kesulitan Zakir dalam mencari inspirasi untuk tugas kuliah. Alih-alih menjadi konflik yang semakin menegangkan dan mempengaruhi karakternya, Zakir dengan cepat menemukan jawaban atas masalahnya setelah mengingat kebudayaannya, tanpa ada rasa frustrasi yang mendalam atau pergulatan batin yang mencolok. Konflik-konflik ini terasa sekadar sebagai rintangan ringan yang tidak terlalu berpengaruh pada perjalanan emosi atau perkembangan karakter utama.
Selain itu, meskipun cerpen ini menggambarkan betapa pentingnya budaya Minangkabau dan hubungan Zakir dengan keluarganya, cerita lebih banyak menekankan narasi yang mengalir dengan deskripsi keseharian dan penggambaran kebudayaan tanpa memberikan porsi yang cukup untuk konflik-konflik batin yang seharusnya membuat cerita ini lebih hidup dan menegangkan.
Kehidupan Zakir yang penuh dengan kerinduan, tekanan tugas kuliah, dan perasaan terasing di tanah yang jauh, seharusnya memberi ruang bagi pertarungan batin yang lebih mendalam. Namun, pergulatan batin tersebut tidak tergali lebih dalam, dan alhasil konflik tersebut terasa kurang berarti, seperti hanya sebuah latar belakang untuk menjelaskan keputusan Zakir dalam menggali kembali akar budayanya.
Dengan demikian, konflik-konflik yang ada dalam cerpen ini terkesan lebih seperti bagian kecil yang terpisah dari perjalanan cerita utama, menjadikannya kurang menonjol. Padahal, jika konflik tersebut dihadirkan dengan lebih intens dan dengan pergulatan batin yang lebih kuat, cerpen ini akan memiliki kedalaman emosional yang lebih besar, yang mampu menghubungkan pembaca dengan tokoh utama secara lebih mendalam. Ketegangan dalam cerita, baik yang datang dari ancaman fisik atau tekanan mental, terasa tidak berkembang secara signifikan, sehingga alur cerpen ini cenderung mengalir datar tanpa memberikan pengalaman emosional yang menggugah bagi pembaca.
Selain itu, dalam hal struktur dan penyampaian narasi, juga terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah penggunaan narasi yang cenderung bertele-tele dan kurang terfokus. Banyak bagian cerita yang terkesan terlalu mendetail dan tidak terlalu relevan dengan plot utama, seperti deskripsi tentang kebiasaan makan, permainan tradisional, atau penjabaran tentang kehangatan kedai ramen. Meskipun elemen-elemen ini memberikan nuansa dan kekayaan pada setting cerita, mereka justru menurunkan intensitas cerita yang seharusnya lebih menyoroti perjuangan tokoh utama.
Misalnya, saat tokoh utama, Zakir, merenung tentang kebiasaan makan yang diajarkan ibunya, atau mengenang permainan tradisional yang dia mainkan waktu kecil, tampaknya hal ini terlalu panjang dan menjadi penghalang bagi perkembangan alur cerita yang lebih penting. Cerita semacam ini, meskipun memberikan kedalaman pada karakter, seharusnya lebih ringkas untuk menjaga ketegangan. Ini bisa diatasi dengan menekankan lebih pada reaksi dan perasaan Zakir terhadap situasi yang sedang dihadapi, daripada menghabiskan terlalu banyak ruang pada elemen-elemen yang tampaknya lebih bernilai untuk latar belakang daripada narasi utama.
Karakterisasi Zakir, sang tokoh utama, juga bisa lebih diperdalam. Meskipun dia diberikan latar belakang yang kaya dengan budaya Minangkabau, hubungan keluarga yang kuat, dan perspektif seorang perantau, pembaca seakan hanya melihat permukaan dari emosi dan perjuangannya. Cerita ini bisa lebih kuat jika kita diberikan kesempatan untuk lebih memahami perasaan dan pemikiran Zakir, terutama dalam menghadapi situasi kritis, seperti berhadapan dengan preman atau menghadapi deadline tugas yang mendekat.
Tindakan fisik atau reaksi terhadap keadaan memang penting, tetapi ada baiknya jika ada penekanan lebih pada konflik batin yang lebih kompleks, yang dapat menggambarkan tekanan yang dialami oleh tokoh ini. Dalam hal ini, cerita akan lebih terasa hidup dan memikat pembaca untuk merasakan apa yang
Pesan mengenai kebudayaan Minangkabau yang ditonjolkan dalam cerita ini juga terkesan agak dipaksakan. Meskipun tujuan untuk memperkenalkan kekayaan budaya lokal adalah hal yang positif, dalam cerpen ini, budaya Minangkabau seakan dimasukkan hanya untuk menjadi ajang pencerahan atau latar belakang semata. Alih-alih menyatu dengan alur cerita, referensi budaya tersebut kadang terasa seperti sebuah eksposisi yang tiba-tiba hadir, mengurangi kedalaman cerita. Jika kebudayaan ini bisa diintegrasikan lebih alami dengan perkembangan alur atau emosi karakter, maka pesan tersebut akan lebih berdampak dan tidak terasa seperti tambahan yang dipaksakan.
Secara keseluruhan dan dilihat dari segi unsur-unsur yang terkandung didalamnya, cerita kali ini sudah cukup sempurna untuk disebut sebuah cerpen. Cerpen ini memiliki potensi besar untuk menggali tema-tema yang mendalam seperti budaya, identitas, dan bahkan kerinduan. Namun, untuk mencapai potensinya secara maksimal, penulis perlu lebih fokus dan terstruktur dalam menyampaikan cerita. Dengan mengembangkan konflik, memadatkan narasi yang tidak terlalu relevan, memperdalam karakterisasi, dan menyajikan budaya dengan cara yang lebih natural, cerpen ini bisa lebih mengena pada pembaca dan menyampaikan perjalanan emosional yang lebih kuat. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com