Pada artikel kali ini, saya ingin membagi dua pengalaman. Pertama, suatu hari di dalam kelas, saya menampilkan gambar nasi goreng dari pantulan proyektor. Saat itu, saya mengajar mahasiswa Indonesia. Pada gambar tersebut, saya juga menyertakan harga dari nasi goreng yaitu Rp40.000,00. Kemudian, saya bertanya kepada mahasiswa, “Menurut Anda, apakah harga nasi goreng ini mahal?” dan saya melanjutkan pertanyaan, “Atau murah?” Saya meminta mahasiswa mengangkat tangan secara bergantian untuk menyatakan pendapat mereka.
Ketika saya mengatakan “mahal”, sebagian besar mahasiswa mengangkat tangan menandakan persetujuan. Ketika saya mengatakan “murah”, ada dua orang mahasiswa yang mengangkat tangan. Itu pun disertai dengan ekspresi ragu dan melihat kiri-kanan ke arah mahasiswa lainnya. Kemudian, saya bertanya alasan kepada mahasiswa yang mengatakan bahwa nasi goreng ini “murah”. Dia menjawab, “Saya beberapa kali memakan nasi goreng di sebuah restoran, harganya Rp60.000,00, Bu. Lokasi restoran itu memang berada di tempat yang kita pahami memiliki pajak yang tinggi. Jadi, menurut saya, harga Rp40.000 tidak mahal dibandingkan dengan harga nasi goreng yang saya makan itu.”
Ini pengalaman kedua saya. Suatu hari, di dalam kelas, saya menampilkan nama-nama bulan (Januari hingga Desember). Saat itu, saya mengajar mahasiswa Korea. Pada hari itu, topik pelajaran adalah cuaca dan saya hendak memberi kosakata tentang itu. Saya ingin menyampaikan kata dingin dan panas yang diwakili oleh bulan-bulan tersebut. Saya bertanya kepada mahasiswa, “Bagaimana cuaca pada bulan November?” Saat itu, saya berharap mahasiswa akan menjawab “dingin” karena bulan November adalah awal musim dingin. Akan tetapi, mahasiswa menjawab “Sejuk, Bu”.
Berdasarkan dua pengalaman tersebut, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa sesuatu yang tergolong kelas kata adjektiva akan memiliki pemaknaan berdasarkan pengalaman dan sudut pandang dari orang yang menggunakan kata tersebut. Adjektiva di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna “ling kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan secara umum dapat bergabung dengan kata lebih dan sangat”. Istilah adjektiva bersinonim dengan kata sifat yang lebih dikenal oleh masyarakat luas. Kata sifat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna “n 1 rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda; tanda lahiriah. 2 n peri keadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dan sebagainya). 3 n ciri khas yang ada pada sesuatu (untuk membedakan dari yang lain). 4 n dasar watak (dibawa sejak lahir); tabiat”. Beberapa ahli bahasa, yaitu S. Effendi, Djoko Kentjono, dan Basuki Suhardi menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa Dasar bahwa kata sifat memiliki beberapa ciri yaitu, bisa berfungsi sebagai predikat, dapat didahului dengan kata ingkar tidak, dapat didahului kata penanda tingkat perbandingan lebih atau paling dan dapat didahului dengan kata penanda taraf sangat atau sekali. Berdasarkan pemaparan tersebut, berikut ini adalah contoh-contoh pemakaian kata sifat:
- Film ini bagus sekali.
- Rumah yang sedang dibangun oleh penyanyi itu sangat besar.
- Kamar tidur saya lebih bersih daripada kamar tidur kakak.
- Cilla adalah mahasiswa yang paling pintar di kelasnya.
Kata bagus (sekali), (sangat) besar, (lebih) bersih, dan (paling) pintar termasuk kelas kata sifat karena sesuai dengan makna yang terdapat di dalam KBBI dan sesuai dengan ciri-ciri kata sifat yang telah dituliskan sebelumnya. Kata sifat ini ada yang berasal dari morfem bebas (kata dasar) dan juga ada yang terbentuk dari proses gramatikal penggabungan morfem bebas dan morfem terikat (menggunakan imbuhan), seperti imbuhan ke-an. Salah satu contoh kata sifat yang menggunakan imbuhan ke-an adalah kata biru yang dasarnya merupakan kata benda ketika diberi imbuhan ke-an (kebiruan) menjadi kata sifat yang memiliki makna “agak biru” atau “terlalu biru”. Makna yang dituliskan ini adalah makna leksikal.
Setiap kata tentu memiliki makna secara leksikal. Begitu pun dengan kata sifat. Akan tetapi, pada beberapa situasi, proses peletakan makna kata tersebut atau proses pemakaian makna yang ada di dalam kata tersebut menjadi konstruksi pribadi pengguna bahasannya. Hal ini yang kemudian membuat kata bermakna leksikal menjadi makna kontekstual. Pada situasi ini, dapat diambil contoh ketika benda yang “terbuat dari kertas, tipis, bisa menyimpan kertas atau berkas lain di dalamnya, bisa ditulis dan dilipat” disebut sebagai amplop. Konsep bahasa ini yang kemudian dikenal dengan istilah signifiant dan signifie. Signifiant-nya adalah kata amplop yang terdiri dari huruf a, m, p , l , o , dan p, serta dibunyikan /amplop/, sedangkan signifie-nya adalah “benda yang terbuat dari kertas yang bisa menyimpan kertas atau berkas lain di dalamnya”. Kata amplop memiliki makna leksikal di dalam KBBI “n barang lembaran dibuat dari bubur rumput, jerami, kayu, dan sebagainya yang biasa ditulisi atau dijadikan pembungkus dan sebagainya”. Kata amplop juga memiliki makna lain yaitu “uang pemberian” di dalam sosial masyarakat. Makna kata amplop telah beralih dari leksikal menjadi asosiatif atau dari denotatif menjadi konotatif. Namun, ketika seseorang menyebutkan kata amplop, citra visual yang muncul di dalam pikiran manusia adalah benda yang seperti kertas tipis. Pada tahap ini, penggunaan bahasa berada pada tiga titik yaitu, signifiant, signifie, dan referen. Signifiant adalah kata (tulisan, ejaan, dan bunyi) dari benda tersebut, signifie adalah sistem makna, dan referen adalah wujud visual benda tersebut.
Nomina atau kata benda memiliki signifiant, signifie, dan referen yang konkret meskipun dalam kehidupan nyata ada banyak versi dari referen tersebut. Contoh dari situasi ini adalah kata meja. Signifiant-nya adalah meja (m-e-j-a). Signifie-nya adalah “n perkakas (perabot) rumah yang mempunyai bidang datar sebagai daun mejanya dan berkaki sebagai penyangganya (bermacam-macam bentuk dan gunanya)”. Referen-nya tergantung pengalaman setiap orang. Ada yang membayangkan meja berwarna cokelat dan berkaki tiga. Ada yang membayangkan meja besar berwarna merah dan berlaci.
Singkat kata, ada banyak referen yang muncul dalam pikiran visual setiap orang, tetapi signifiant dan signifie-nya tetap sama. Hal ini juga terjadi dalam verba atau kata kerja. Contoh dalam situasi ini adalah signifiant kata makan (m-a-k-a-n). Signifie-nya “v memasukkan makanan pokok ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya”. Referen-nya adalah bayangan pikiran tentang aktivitas seseorang yang sedang “makan”. Akan tetapi, ada kelas kata di dalam bahasa Indonesia yang tidak memiliki referen, seperti konjungsi (kata penghubung) dan kata keterangan. Contoh dari kata-kata tersebut adalah yang, tetapi, oleh, sehingga, maka, dan, atau, dan sebagainya. Kata-kata ini tidak memiliki referen atau citra visual dalam bayangan pemikiran orang. Selanjutnya, persoalan referen ternyata menjadi sangat pelik ketika dimasukkan dalam konsep adjektiva atau kata sifat.
Kata sifat juga memiliki signifiant, signifie, dan referen. Namun demikian, referen dari sebagian besar kata sifat tidak mutlak ketika dilekatkan pada sesuatu yang ditandai oleh kata sifat itu. Hal ini tidak sama dengan kelas kata benda atau nomina, meskipun banyak variasi, tetapi nama benda itu tetap. Berbeda dengan itu, referen dari kata sifat tidak memiliki nilai yang tetap. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kita bisa melihat kembali dua pengalaman yang saya tuliskan di awal artikel ini. Kata murah memiliki makna (salah satu makna yang ada di dalam KBBI) adalah “lebih rendah daripada harga yang dianggap berlaku di pasaran”, sedangkan kata mahal memiliki makna (salah satu makna yang ada di dalam KBBI) adalah “tinggi harganya”. Kata murah dan mahal yang saya tanyakan kepada mahasiswa tersebut saya lekatkan untuk nasi goreng yang memiliki harga RP40.000,00. Kemudian, mahasiswa menjawab sesuai dengan pengalaman dan sudut pandang masing-masing untuk memberi takaran nilai referen pada kata murah dan mahal. Mereka yang menjawab mahal karena memiliki pengalaman untuk kata murah bagi sepiring nasi goreng adalah RP20.000,00 ke bawah. Oleh sebab itu, harga Rp40.000,00 menjadi mahal.
Begitu pun sebaliknya pada contoh pengalaman kedua. Bagi mahasiswa Korea, cuaca bulan November belum dingin, tetapi bagi saya yang berasal dari negara tropis, bulan November bahkan musim gugur (sekitar September dan Oktober) sudah dingin. Bagi mereka, cuaca yang dikatakan dingin adalah bulan Desember dan Januari saat puncaknya musim dingin ketika salju sudah turun.
Persolan referen kata sifat yang menjadi penanda suatu nomina pada kenyataannya memiliki persoalan yang cukup rumit dalam kehidupan masyarakat. Ukuran bagus bagi seseorang, belum tentu bagus bagi orang lain. Ukuran rumah yang besar bagi seseorang, belum tentu besar bagi orang lain yang pernah melihat atau memiliki rumah yang lebih besar daripada itu.
Ukuran sederhana, sukses, bahagia, kaya, miskin, pintar, bodoh, cantik, tampan, ramah, sopan, kasar, halus, boros, hemat, rajin, malas, dan sebagainya memiliki nilai referen yang berbeda sesuai dengan pengalaman orang tersebut untuk menentukan nilainya. Dalam beberapa situasi, kita sering menganggap cara berbicara seseorang itu kasar ketika dia bercanda dengan temannya. Sebut saja kata carut yang kemudian menjadi kata sapaan dalam bentuk candaan.
Bagi sekelompok orang, komunikasi itu terkesan kasar ketika menyapa seseorang dengan memakai kata carut, tetapi bagi kelompok orang yang lain, cara komunikasi yang demikian terkesan akrab. Pada situasi lain, yang kerap terjadi di media sosial, seorang selebritas dinilai para pengguna internet sangat boros karena membeli tas dengan harga yang sangat tinggi melampaui harga standar dari orang yang berkomentar. Akan tetapi, barangkali dari sudut pandang sang selebritas, harga tas tersebut masih standar dan dianggap tidak boros sebab sebenarnya ia bisa membeli dengan harga yang lebih tinggi daripada itu, tetapi ia memilih yang lebih murah. Penempatan kata baik dan cantik untuk seseorang yang dinilai juga memiliki ukuran referen yang berbeda. Bagi seseorang, kata cantik bisa dilekatkan untuk perempuan yang berkulit putih. Bagi orang yang lain lagi, kata cantik bisa diberikan untuk perempuan yang berjilbab. Bagi seorang anak kecil, kata cantik adalah untuk seorang perempuan yang berambut panjang, seperi Cinderella, Mulan, atau Rapunzel.
Perbedaan sudut pandang ini, juga kerap terjadi dalam situasi pengalihwahanaan novel ke dalam film. Novel disajikan dalam bentuk kata-kata narasi (dan dialog) sehingga pembaca memiliki kebebasan untuk memvisualisasikan deskripsi yang ada di dalam novel. Ketika novel itu difilmkan, kata-kata sang penulis divisualkan dalam bentuk gambar yang nyata oleh para sineas film.
Gambar yang ada di dalam film adalah hasil interpretasi sutradara terhadap kata-kata yang ada di dalam novel. Seseorang yang telah membaca novel terlebih dahulu akan mendapati kenyataan bahwa referen-nya berbeda dengan referen sang sutradara. Oleh sebab itu, akan timbul penilaian yang berbeda di antara keduanya. Bisa jadi, pembaca akan kecewa setelah menonton film atau sebaliknya. Akan tetapi, ketika Doraemon disajikan dalam bentuk komik (bergambar) kemudian disajikan dalam bentuk kartun, hal itu tidak akan memiliki perbedaan yang begitu besar sebab bentuk fisik Doraemon telah diperkenalkan dalam bentuk gambar, bukan kata-kata. Akhirnya, pembaca komik tidak memiliki kebebasan berimajinasi tentang bentuk fisik Doraemon. Semoga mencerahkan.
Discussion about this post