Cerpen: I Wayan Ari Gunawan
Matahari sudah lengser dan mulailah lampu-lampu yang redup itu menerangi gang. Padahal, tak ada bedanya jika lampu-lampu itu menyala ataupun mati. Keadaan gang tetap saja gelap, suram, kumuh, pengap, dan sumpek. Terkadang, Rinta yang pulang sehabis magrib bertanya-tanya, untuk apa mereka terus menyalakan lampu-lampu itu? Tidakkah mereka berpikir itu sia-sia? Karena sejatinya––selain tak berguna––yang dilakukan lampu-lampu itu hanyalah membuang-buang listrik negara.
Ketika sampai di rumah, Rinta yang lelah sehabis pulang berjalan kaki tiba-tiba merasakan darahnya mendidih ketika melihat rumahnya berantakan seperti kandang ayam. Tampak adik laki-lakinya bertengger di atas kursi dengan bola mata bergulir-gulir di depan layar ponsel, sementara jarinya sibuk berputar-putar di atas layar yang ponsel yang sudah retak itu.
“Danu! Lihatlah sekelilingmu, rumah ini berantakan seperti kapal pecah!” Omel Rinta.
“Tak adakah sepercik kemauan dalam hatimu untuk membersihkannya?!”
“Tidak,” Danu menjawab dingin. Ia jelas lebih tertarik dengan game yang ia mainkan daripada mendengar suara kakaknya yang melengking seperti mercon.
Rinta mendengus kesal.
“Keterlaluan! Kerjamu itu cuma main saja! Memangnya kau sudah makan?!”
“Belum. Tak ada nasi ataupun lauk.”
Rinta mengernyit heran.
“Kok bisa? Ibu belum pulang?”
“Belum.”
Rinta menghela napas dalam. Lalu, ia melangkah menuju kamarnya sambil mengentak-entakkan kakinya dengan keras. Rumah yang sudah lapuk itu hampir roboh, tapi Rinta tak peduli. Ia sangat kesal sekarang. Rumah berantakan. Makanan juga tak ada. Adiknya memang tak bisa diandalkan. Tahunya cuma main game saja sementara ibunya… hmmm… ah, betul sekali! Ibunya pasti sedang berada di kolong jembatan bersama anak-anak gelandangan itu.
Sudah sejak dulu Rinta jengah dengan ibunya. Bagaimana tidak, ibunya saja lebih suka mengurus anak-anak jalanan ketimbang anak-anaknya sendiri. Ia selalu pulang malam seolah-olah tak punya kewajiban di rumah. Padahal, ibunya cuma bekerja sampai jam 5 sore sebagai karyawan di sebuah perusahaan triplek. Namun, sepulang kerja, ibunya akan sibuk mengurus anak-anak gelandangan yang tinggal di bawah jembatan. Tak ada yang menyuruh dan tak ada yang memaksa. Ibunya Rinta dengan senang hati mau menjadi guru suka relawan bagi anak-anak yang kurang beruntung itu.
Konon, ibunya Rinta memang bercita-cita menjadi seorang guru. Namun, cita-cita itu tak bisa diwujudkannya karena tak ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Padahal, almarhum ayah Rinta pernah bercerita kepada Rinta kalau ibunya merupakan murid yang begitu cemerlang ketika masih sekolah. Prestasinya tak main-main. Ia selalu dapat peringkat satu dan sering diikutkan olimpiade tingkat kabupaten dan katanya ia juga pandai berdebat. Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritnya sehingga tak aneh kalau membaca buku adalah hobinya.
Rinta sendiri tahu kalau ibunya senang membaca buku, terutama novel. Ia sedikit kagum, namun selebihnya ia benci dengan hobi ibunya itu. Pasalnya, dari hobi seperti itulah tekad dan idealisme ibunya terbentuk. Entah bagaimana ibunya jadi merasa bisa mengubah dunia setelah membaca. Sering ibunya berkata kalau negeri ini akan lebih maju dan terawat jika anak-anak mendapat pendidikan yang layak. Rinta mengakui itu benar, tapi ia sama sekali tak berharap bahwa ibunya akan terjun langsung untuk mewujudkan semua hal yang seharusnya merupakan ranah pemerintah itu. Ia menganggap usaha ibunya tak menghasilkan apa-apa––bahkan ia berani bertaruh untuk satu abad ke depan.
Sangat berbeda dengan ibunya, Rinta adalah orang yang rasional. Ia melakukan segala hal berdasarkan perhitungan dan kepastian. Ia tak mau ia melakukan hal yang sia-sia. Itulah sebabnya saat tahu bahwa dirinya punya bakat dalam desain grafis yang diturunkan dari almarhum ayahnya, Rinta langsung membidik peluang yang ada tanpa ambil tempo. Terbukti, di usianya yang masih muda dan baru duduk di bangku SMA, Rinta sudah sibuk seperti orang dewasa.
Dengan tarif yang cukup terjangkau dan kemampuan desain yang mumpuni, banyak orang yang akhirnya tertarik menggunakan jasanya dalam mendesain sehingga Rinta sering lembur untuk menyelesaikan pesanan pelanggannya. Tak jarang ia harus belingsatan ke sana kemari untuk mencari ide baru ataupun mencari tempat untuk mencetak desain-desain yang ia buat untuk pelanggannya. Ia jadi sering mengurung diri di kamar, jarang makan, selalu berkutat dengan laptop, dan pulang setelah maghrib––ketika matahari sudah menepi dari bumi. Namun, itu tak masalah baginya. Toh, ibunya juga tak peduli dengan apa yang dilakukannya.
***
Ketika bangun di keesokan paginya, hal pertama yang dirasakan Rinta adalah perutnya yang sakit karena kelaparan. Ia baru ingat kalau dirinya belum makan apa pun tadi malam. Ia segera keluar kamar dan kaget betul karena melihat ruang tamu yang tadinya berantakan seperti kena badai topan, kini sudah bersih kinclong berkelap-kelip. Rinta melangkah menuju dapur dan ia mendapati ibunya sedang memasak di sana.
“Rin, kau sudah bangun?” ibunya berbasa-basi. Rinta hanya diam.
“Tadi malam kau belum makan, ‘kan? Ini lauknya sudah jadi. Duduklah. Ibu akan menyendok nasi untukmu.”
“Tidak usah, aku akan ambil sendiri,” kata Rinta seraya berjalan menuju rak piring. “Bagaimana dengan Danu?”
“Oh! Adikmu sudah makan tadi malam. Dia menunggu ibu pulang.”
“Memangnya, jam berapa ibu pulang? Habis dari pondok, ‘kan?” selidik Rinta.
Padahal, ia ingin mengatakan ‘kolong jembatan’, tetapi emosinya belum cukup tinggi untuk saat ini. Lagi pula, kata ‘pondok’ terdengar tidak cocok untuk tempat yang kumuh seperti itu, tetapi begitulah cara ibunya menyebut tempat untuk mengajar anak-anak jalanan itu. Rinta terpaksa harus ikut menggunakan sebutan itu juga.
“Iya, habis dari pondok. Ibu pulang kira-kira jam setengah sepuluh.”
Rinta membelalak kesal. “Kok tumben?! Biasanya ‘kan paling larut jam delapan!”
Ibu Rinta tersenyum lebar. Ia pun langsung bercerita kepada anak gadisnya itu soal kegiatannya tadi malam bersama anak-anak jalanan. Rinta mulai melenguh seperti kerbau. Ia tahu kalau ibunya sudah mulai bicara, pasti akan susah dihentikan. Betul saja. Sepersekian detik berikutnya, ibunya sudah merepet seperti kereta listrik. Begitu semangat ibunya bercerita soal Aida, seorang bocah berusia 7 tahun yang memiliki kemauan keras untuk bisa membaca. Ibunya bilang, Aida baru bergabung dengan kelasnya tiga hari yang lalu. Sekarang, anak itu sudah bisa mengeja kata-kata sederhana, seperti ayam, rumah, baju, kambing, dan monyet. Rinta mengangguk-angguk saja mendengar cerita ibunya itu sambil menyikat sarapannya dengan kalap.
“Dia begitu bersemangat dalam belajar, Rin!” kata ibu Rinta menggebu-gebu.
“Ia sama sekali tak mau pulang sebelum bisa mengeja kata ‘portofolio’. Benar-benar langka! Ah… mungkin suatu hari nanti anak itu bisa jadi dokter seperti yang dicita-citakannya.”
“Jangan terlalu berlebihan, Bu. Dengan kondisinya yang sekarang, sebaiknya ibu tak memberinya harapan palsu seperti itu,” kata Rinta sambil terus mengunyah makanannya seperti orang yang kena busung lapar. Kali ini, ia sudah muak dengan kata-kata ibunya yang terlalu tinggi.
“Kenapa kau berkata begitu, Rin?” tanya ibunya kaget. Alisnya terangkat. Raut wajahnya langsung berubah. Selama ini, Rinta tak pernah berkomentar soal apa pun. Ini jadi yang pertama kalinya anak gadisnya itu menanggapi ceritanya.
Rinta menelan makanannya, lalu memandang ibunya dengan tegas. Ia menjawab,“Hanya karena ibu suka membaca Laskar Pelangi. Bukan berarti ibu akan bisa membuat anak-anak jalanan itu jadi orang pintar seperti yang dilakukan oleh si Bu Muslimah. Pakai logika saja, Bu. Apa yang terjadi dalam cerita itu adalah sebuah anomali. Realitanya, kebanyakan orang miskin tetap akan jadi orang miskin. Sepintar apa pun mereka. Kalau dari awal sudah melarat, ujung-ujungnya tetap blangsak. Negeri kita ini keras, Bu. Ibu harus mengakui itu. Jangan samakan dunia nyata dengan dunia fantasi yang ibu baca lewat novel!”
Ternganga-nganga ibu Rinta sampai hampir masuk seekor lalat ke dalam mulutnya. Ia perlu waktu beberapa saat sampai bisa merespon lagi.
“Kalau kau membiarkan realita yang mengambil alih, tentu begitulah jadinya, Rin. Tapi, untuk murid-murid ibu, ibu sudah menanamkan sebuah tekad yang…”
“Sudah cukup, Bu!”
Kali ini, tensi Rinta sudah naik sampai ke plafon rumah.
“Sejak dulu, aku selalu sabar mendengarkan kata-kata ibu, tapi sekarang aku akan jujur. Asal ibu tahu, guru-guru yang sudah mengajar bertahun-tahun, ikut pelatihan di sana-sini dan bergelimang sertifikat pun masih gagal membuat murid-murid mereka jadi orang pintar. Apalagi, ibu cuma tamatan SMA. Dibandingkan dengan guru-guru asli yang diibaratkan seperti lampu LED, ibu hanyalah seekor kunang-kunang yang memancarkan cahaya redup…,” Rinta menghentikan kata-katanya. Bagaimana pun juga, ia merasa kata-katanya sudah sangat keterlaluan.
“Maaf Bu,” Rinta melanjutkan dengan lirih.
“Hanya saja… apa yang ibu lakukan untuk anak-anak itu cuma membuang-buang waktu. Tidak ada jaminan kalau ilmu alakadarnya yang ibu berikan itu akan membuat mereka jadi pintar. Sebaiknya, ibu berhenti melakukan ini. Ibu sudah membuang banyak tenaga dan uang untuk hal yang tidak pasti. Lebih baik ibu fokus merawat aku dan Danu saja. Aku sudah mau tamat SMA, butuh uang untuk melanjutkan kuliah. Tabungan yang aku kumpulkan dari mendesain tidak akan cukup untuk membiayai pendidikanku ke depannya. Aku butuh ibu. Kalau ibu terus-terusan mementingkan anak-anak itu, bisa-bisa malah aku dan Danu yang nantinya tidak punya masa depan.”
Ibu Rinta diam tak bergeming menatap Rinta yang kelihatan mau menangis. Anak gadisnya itu segera beranjak dari meja makan, meninggalkan piring yang sudah tandas dan dirinya yang masih dirundung shock. Selama ini, ia kira Rinta selalu mendukung kegiatannya, tapi pagi ini semua itu terbukti salah.
***
Malamnya, ketika pulang, Rinta mendapati keadaan rumahnya bersih mengkilap, mirip seperti yang ada dalam iklan-iklan pembersih lantai. Aroma santan dan ikan asin menyeruduk hidungnya dari dalam dapur. Jelas semua ini berbanding terbalik dengan malam sebelumnya. Bertanya-tanya Rinta, apakah ibunya ada di rumah malam ini? Namun, sepertinya tidak karena yang terlihat cuma adik bungsunya yang sedang asik bermain gim di atas kursi.
“Ibu di rumah?!” tanya Rinta kepada adiknya.
“Tidak, Ibu pergi ke pondok, tapi dia sudah masak. Jadi, kakak tak perlu puasa lagi malam ini,” jawab Danu ketus. Rinta menghela napas, lalu melangkah gontai menuju kamarnya. Namun, langkahnya segera terhenti ketika Danu tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
“Apa kakak mengatakan sesuatu yang membuat ibu sedih?” Danu meletakkan ponselnya dan memandang kakaknya lekat-lekat.
“Ibu selalu mengalami hari-hari yang berat, Kak, tapi tak pernah mengeluh. Malah, ibu selalu tersenyum saat muncul di depan pintu. Tadi tidak begitu. Aku rasa memang ada masalah. Jadi, kalau masalah, gara-gara kakak, sebaiknya segeralah minta maaf!”
“Apa-apaan?! Aku ‘kan cuma mengungkapkan unek-unek saja pada ibu. Dia lebih peduli dengan anak-anak jalanan itu ketimbang kita. Wajar saja aku marah.”
“Kau tidak tahu apa-apa soal itu, kak. Selama ini, kau kan sibuk dengan dirimu sendiri! Dengan kerjaan sampinganmu itu! Ibu sebenarnya sangat sayang dan peduli pada kita. Kau saja yang tak punya waktu untuk melihat itu.”
Rinta berdecak sambil mendengus kesal. Padahal, ia sangat ingin menyemprot adiknya, tapi hal itu urung dilakukannya. Ia pun memilih masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Sialan! Kata-kata adiknya terus-terusan menggentayangi kepalanya. Ia mengingat-ingat lagi. Sepertinya, ia memang agak kasar terhadap ibunya tadi pagi. Karena terus kepikiran, Rinta pun akhirnya menyelinap keluar dari dalam rumah. Sengaja ia kabur lewat jendela agar Danu tidak melihatnya. Setelah berhasil keluar tanpa ketahuan, Rinta lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju kolong jembatan yang terletak di timur laut sana. Dan dalam perjalanan, ia tak sengaja bertemu dengan Bu Irda––rekan kerja ibunya––yang habis belanja dari warung. Bu Irda langsung tahu kalau Rinta sedang ada masalah, terlihat jelas dari wajahnya yang tak begitu pandai menyembunyikan rasa gelisah.
Bu Irda yang penasaran langsung bertanya pada Rinta tentang apa yang mengganggu pikirannya. Setelah dibujuk beberapa kali, Rinta pun luluh dan mau bercerita tentang apa yang telah ia perbuat pada ibunya. Bu Irda mengangguk-angguk, namun sesekali ia juga menganga karena kaget dengan apa yang diceritakan oleh gadis remaja itu.
“Aku cuma ingin ibu sadar kalau ia tak bisa memainkan semua peran. Yang dilakukannya untuk anak-anak itu hanya menghasilkan hal-hal kecil. Palingan, dia cuma bisa mengajari mereka membaca, menghitung, dan menulis. Sia-sia, bukan? Ilmu setingkat itu tak akan bisa mengubah nasib mereka. Anak-anak itu tetap akan jadi gelandangan,” cerita Rinta panjang lebar.
Bu Irda menggaruk-garuk kepala. “Tunggu dulu Rinta… apa kau sungguh berpikir ibumu melakukan semua ini untuk mengubah nasib anak-anak itu?”
Rinta mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa? Apa maksud Anda? Ibu melakukan ini agar anak-anak itu bisa sekadar membaca dan menulis? Kalau memang hanya itu, bukankah sebaiknya ibu tak perlu repot-repot melakukannya? Sia-sia saja ‘kan kalau cuma itu tujuannya? Orang yang lulus sarjana saja banyak yang menganggur, apalagi yang cuma bisa baca tulis.”
Bu Irda menggeleng-geleng. “Kau melihat semua ini dengan cara yang sangat rumit, Rin. Padahal tujuan ibumu mengajari mereka itu sederhana saja. Ibumu memberi mereka ilmu dengan maksud yang mulia. Cobalah sekali-kali pandang hal-hal yang kecil dengan begitu kau akan paham dengan tekad yang dimiliki ibumu.”
Tak lama setelah berkata begitu, Bu Irda pergi meninggalkan Rinta sendirian di tengah jalan. Dengan penuh kebingungan, Rinta melanjutkan perjalanan menuju kolong jembatan sambil terus memikirkan maksud dari kata-kata Bu Irda tadi. Sembilan belas kali kata-kata Bu Irda itu dipikirkannya ulang, tetap saja ia tak paham maksudnya. Ia sampai kaget karena tiba-tiba langkah kakinya sudah sampai di dekat kolong jembatan, tempat di mana ibunya biasa mengajar anak-anak jalanan itu.
Di kaki jembatan itu, terlihat ada seorang perempuan kecil sedang menemani seorang nenek-nenek masuk ke dalam sebuah taksi. Ketika taksi itu berlalu bersamaan dengan si nenek, perempuan kecil itu pun sadar kalau sejak tadi Rinta mengamatinya dari kejauhan. Perempuan kecil itu menatapi Rinta lekat-lekat, lalu kaget sendiri dan menghampiri Rinta kegirangan.
“Kak Rinta?!” tanyanya memastikan.
Rinta mengernyitkan dahi. Ia sebetulnya kenal dengan sebagian besar murid ibunya karena ia juga sering diajak ke sini oleh ibunya. Namun, perempuan kecil ini tampak asing baginya. Karena anak ini mengenali Rinta, sudah pasti dia adalah salah satu murid ibunya. Dan benar saja. Perempuan kecil itu segera memperkenalkan diri. Aida namanya. Rinta ingat Ibunya pernah menyebut nama itu baru-baru ini.
Kesan pertama yang didapat Rinta dari Aida adalah bahwa perempuan kecil itu suka sekali mengobrol dan berbicara. Karena belum sampai 2 menit, seisi bumi dari kutub utara sampai kutub selatan sudah disebut-sebutnya. Rinta jadi kewalahan meladeninya. Perkenalan mereka terasa begitu dalam hanya dalam waktu yang singkat. Tak butuh waktu lama bagi Rinta untuk mengorek informasi soal ibunya dari gadis kecil itu. Aida bilang ibunya Rinta sudah pulang. Rinta menepuk jidatnya. Ibunya pasti lewat jalan yang lain sehingga tak berpapasan dengannya.
“Berkat ibunya kakak, sekarang aku jadi lancar membaca,” celetuk Aida tiba-tiba.
Rinta terkekeh renyah. “Ah, belajar membaca itu ‘kan gampang Aida. Siapa pun bisa mengajarimu. Bukan cuma ibuku saja.”
“Tapi ibunya kak Rinta sangat berbeda. Dia begitu sabar dalam mengajar. Tidak semua orang punya kemampuan seperti itu, kak,” kata Aida dengan polosnya.
“Hmm… memang benar, sih, dia itu penyabar, tapi… ibuku pun tak punya banyak ilmu untuk diberikan padamu. Jadi, sebaiknya kau jangan berharap banyak darinya.”
Aida menggeleng-geleng sambil tersenyum lebar. “Memang tidak banyak, Kak. Tapi berkat beliau, aku bisa membantu seorang nenek yang sedang mencari-cari alamat. Nenek yang tadi aku antar naik taksi itu,” kata Aida sambil menunjuk jalanan yang ramai, “Kacamatanya ketinggalan, jadi dia tak bisa membaca dengan jelas. Syukurlah aku sudah bisa membaca. Jadi, aku bisa membantunya. Hal itu membuatku bahagia sekali.”
Rinta tertegun mendengar ucapan Aida. Bahagia? Membantu? Seketika, kata-kata Bu Irda kembali bergumul di dalam kepalanya, mengetuk-ngetuk otaknya, dan meminta untuk diterjemahkan. Beberapa menit selanjutnya, Rinta kembali meminta Aida untuk bercerita tentang pengalamannya selama menjadi murid ibunya. Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan gadis cilik itu, Rinta pun semakin mengerti dengan maksud Bu Irda tadi. Ia juga mulai memahami tekad yang dipegang teguh oleh ibunya. Tekad yang begitu sederhana, redup namun kuat. Tekad dari seorang ibu dan seorang perempuan yang menjadi lentera bagi anak-anak di seluruh penjuru negeri.
Setelah hampir setengah jam mereka berbincang, Rinta pun pamit pulang kepada Aida. Ia berlari sekencang mungkin menuju rumahnya. Ia ingin memeluk ibunya, mengucapkan terima kasih, dan meminta maaf atas semua sikap dan kata-katanya. Semakin kencang Rinta berlari, semakin dekat ia dengan gang yang dipenuhi lampu-lampu redup itu, tapi aneh. Gang itu terlihat begitu terang malam ini.
Catatan: Cerpen Salah Satu Nominasi Lomba Cerpen Scientia 2020 dengan tema “Ibu Perempuan yang Merawat Negeri”
Biodata Penulis:
I Wayan Ari Gunawan lahir di Desa Dwipasari pada 21 Agustus 2001 dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Lambung Mangkurat Program Studi Matematika. Karyanya pernah tergabung dalam beberapa buku antologi cerpen. Email: wayanarigunawan2108@gmail.com.
Discussion about this post