Beberapa kata atau istilah mempunyai kepopuleran tersendiri pada suatu masa, seperti halnya kata toksik. Kata toksik berasal dari bahasa Inggris, yaitu toxic yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi toksik. Kata toksik cukup populer digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Kata toksik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘racun’ dan juga ‘berkenaan dengan racun’.
Dalam perkembangan selanjutnya kata toksik menjadi populer digunakan di media sosial. Kata ini digunakan untuk menyebut hubungan yang tidak sehat. Hubungan tidak sehat bisa terjadi pada pasangan kekasih, suami istri, pertemanan, keluarga, bertetangga, hubungan di dunia kerja, dan sebagainya. Sumber hubungan toksik ini bisa muncul dari mana saja.
Penggunaan kata toksik yang paling mudah dilihat adalah melalui curhatan-curhatan yang ada di media sosial dan juga dari komentar-komentar warganet. Contoh yang paling nyata dari hubungan toksik di media sosial adalah sikap julid atau iri dengki dengan cara mengeluarkan komentar buruk dan negatif terhadap status atau foto seseorang. Komentar negatif tersebut bisa dalam bentuk rasis, celaan, pembulian, penghinaan, merendahkan, dan meragukan kemampuan orang lain. Beberapa artis dan selebritis yang menjadi korban dari perilaku toksik di media sosial menutup kolom komentar untuk menjaga privasi dan kesehatan mental mereka.
Lalu apa sesungguhnya toksik itu? Dikutip dari Alodokter.com., toksik adalah hubungan tidak sehat yang membuat seseorang merasa tidak dipahami, tidak didukung, atau merasa direndahkan. Hubungan toksik ini dapat dilihat melalui tujuh ciri-ciri berikut: 1) Selalu dikontrol oleh pihak yang memicu hubungan toksik, seperti pacar, suami/istri, keluarga, teman, atasan di tempat kerja, dan sebagainya, 2) Sulit menjadi diri sendiri dan tidak percaya diri karena terlalu dikontrol, 3) tidak mendapatkan dukungan dan selalu dikritik untuk tindakan yang dilakukan, 4) selalu dicurigai dan dikekang saat melakukan hal apa pun, 5) sering dibohongi, dan 6) sering menerima kekerasan fisik, seperti dipukul, ditendang, ditampar, dan sejenisnya. Hubungan toksik menyebabkan korbannya stres, depresi, terganggu secara mental dan kejiwaan, serta tidak bahagia menjalani kehidupan.
Kata toksik ini bukan hanya populer sebatas cuplikan-cuplikan curhat yang lalu lalang di media sosial, melainkan juga digunakan sebagai judul berita atau judul artikel, seperti beberapa contoh di bawah ini.
- 7 Ciri-ciri Hubungan Toxic, kenali biar nggak terjebak (CNN Indonesia, 13 Desember 2022)
- Basmi Sifat Toxic dalam Diri (DJKN Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Oktober 2023)
- Identifikasi Ciri Orang Toxic yang Perlu Diketahui (Koran Tempo, 02 Februari 2023)
- Toxic Adalah Sikap yang Menyusahkan Orang Lain, Kenali Ciri-Ciri dan Cara Mengatasinya (com, 10 Mei 2023)
- Apa itu Toxic? Berikut Ciri-ciri, Penyebab, dan Cara Menghilangkannya (com, 9 September 2022).
Penulisan kata toksik dari semua judul-judul artikel di atas masih menggunakan bentuk dari bahasa Inggris atau belum menggunakan bentuk yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Istilah toksik sebenarnya bukan istilah resmi yang digunakan dalam bidang psikologi, seperti yang dituturkan oleh Rose Mini Agoes, pakar psikologi Universitas Indonesia (cnn.indonesia.com, 13 Desember 2021). Istilah yang lebih tepat untuk menyebut hubungan toksik dalam psikologi adalah codenpendent relationship atau hubungan yang tidak memiliki identitas, minat, atau nilai pribadi di luar hubungan yang sedang dijalani oleh seseorang dengan orang lain.
Istilah toksik biasanya digunakan oleh masyakarat awam atau masyarakat pada umumnya untuk menyebut hubungan buruk seperti racun dalam kehidupan. Istilah ini populer karena banyak orang mulai menyadari bahwa hubugan toksik tidak baik untuk kesehatan mental. Banyak orang mulai berpikir untuk menjaga kesehatan mental (mental health). Banyak orang mulai menyadari bahwa kesehatan mental adalah bagian yang penting untuk mencapai kebahagiaan hidup. Karena kesadaran pada kesehatan mental semakin tinggi, semua hal yang berkaitan dengan hubungan toksik berubah menjadi isu global yang sering menjadi pusat perhatian. Hal itu berefek pada tingginya penggunaan kata toksik dan membuat kata tersebut populer di masyarakat. Kepopuleran sebuah kata berbanding lurus dengan situasi dan kondisi masyarakat karena bahasa adalah representasi dari realitas sosial seperti yang dikatakan linguis, Halliday (Halliday & Hasan, 1976). Fenomena ini juga dapat kita lihat dari populernya kata covid-19 dua-tiga tahun yang lalu saat pandemi covid-19 melanda dunia. Covid-19 adalah realitas sosial yang ada pada saat itu.
Kemudian, dari kata toksik, muncul bentuk-bentuk turunannya yang lain. Beberapa bentuk kata yang merupakan turunan dari kata toksik, di antaranya toxic people adalah orang dengan perilaku buruk dan suka menghancurkan mental orang-orang lain, toxic positivity adalah orang dengan obsesi untuk selalu berpikir positif yang berlebihan sehingga bisa menghancurkan diri sendiri, toxic game adalah perilaku yang timbul akibat cyberbullying terhadap kesehatan mental anak-anak yang suka bermain game online, toxic waste adalah gerakan bersih-berish atau menghancurkan semua sampah (plastik) beracun yang menyebabkan kerusakan lingkungan, dan toksik-toksik lainnya.
Selain kata toksik, ada kata lain yang mempunyai arti mirip atau bersinonim dengan kata toksik, yaitu kata virulen. Kata ini memiliki dua arti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Pertama, kata virulen diartikan sebagai sesuatu yang beracun ganas dan memiliki sifat mematikan. Arti tersebut secara harfiah dapat mengacu pada virus sebenarnya yang beracun dan mematikan, seperti virus yang menyebabkan penyakit tumor dan kanker. Kedua, kata virulen berarti ‘jahat atau menghasut’, seperti hasutan-hasutan beracun dan jahat yang disebarkan melalui pamflet. Arti kata virulen yang kedua ini mengacu pada perilaku atau sikap manusia.
Kata toksik dan virulen sama-sama memiliki arti yang mengacu pada sikap, tindakan, atau perilaku buruk atau beracun dari manusia. Akan tetapi, kata virulen beda tingkat kepopuleran dari kata toksik meskipun keduanya mempunyai arti yang hampir sama. Kata virulen tidak sepopuler kata toksik. Tingkat penggunaannya masih terbatas. Hal itu dapat dibuktikan melalui mesin pencarian google. Kata virulen masih digunakan pada sebatas arti pertama dan belum digunakan untuk mewakili perilaku atau tindakan manusia. Contoh-contohnya dapat dilihat pada judul-judul artikel dari hasil pencarian google di bawah ini.
- Identifikasi Gen Virulen dan Gen Penyandi Resistensi Antibiotika pada Bakteri Salmonella Enteritidis Asal Peternakan Layer dan Broiler di Pulau Jawa (Repository.ipb.ac.id, 2019).
- Koleksi Virus-Virus Virulen terhadap Jamur Fosarium Oxysporum (opac.perpusnas.go.id, 2009)
- Faktor Virulen Drofilaria Immitis pada Jaringan Tubuh Manusia (ejournal.uki.ac.id, 2007)
- Faktor Virulen Streprococus Mutans Penyebab Timbulnya Karies Gigi (adj.fkg.unand.ac.id, 2014).
- Pengaruh Virus Newcastle Disease Isolat Virulen terhadap Gambaran Histopatologi Otak dan Berat Embrio Ayam (ojs.unud.ac.id, 2017).
Dari judul-judul artikel di atas yang semuanya judul artikel ilmiah hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kata virulen tidak sepopuler kata toksik. Kata virulen hanya digunakan dalam arti harfiah untuk menjelaskan jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh virus. Kata tersebut saat ini tidak digunakan untuk menyebut perilaku beracun atau perilaku jahat yang merepresentasikan sikap manusia seperti halnya kata toksik. Bukan tidak mungkin, suatu saat kata virulen juga populer seperti halnya toksik dan covid-19 jika ada realitas sosial dari masyarakat pengguna bahasa yang menjadi pemicunya. Demikian ulasan kata toksik dan virulen yang beda tingkat kepopulerannya dalam bahasa Indonesia.
Discussion about this post