Oleh: Adinda Zaleyka Az Zahra S
(Mahasiswa Prodi Akuntansi dan Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 Universitas Andalas)
Di era digital, perubahan besar telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Perubahan ini juga memicu terciptanya inovasi layanan keuangan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus berkembang. Salah satu inovasi yang berkembang pesat adalah layanan Buy Now Pay Later (BNPL). Metode pembayaran ini memungkinkan konsumen membeli barang terlebih dahulu dan melunasi pembayaran di kemudian hari. Meski menawarkan kemudahan, metode ini juga membawa tantangan finansial yang perlu diperhatikan. Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK, 2024), pembiayaan Paylater di Indonesia meningkat tajam dengan pertumbuhan sebesar 63,89% menjadi Rp8,41 triliun. Hal cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan survei Katadata, kelompok usia Gen Z merupakan pengguna terbesar layanan ini dengan persentase mencapai 26,5%.
Masalah utama yang dihadapi bukan hanya tingginya penggunaan layanan Paylater, tetapi juga rendahnya kebiasaan menabung di kalangan Gen Z. Berdasarkan hasil penelitian Finder, sebanyak 31% Gen Z tidak memiliki tabungan sama sekali. Bahkan, bagi mereka yang memiliki tabungan, jumlahnya jarang melebihi 10 juta rupiah. Ketergantungan pada layanan Paylater untuk memenuhi gaya hidup konsumtif menjadi salah satu penyebab utama yang membuat generasi ini sulit dalam membangun kestabilan finansial.
Buy Now Pay Later adalah sistem pembayaran berbasis cicilan yang memungkinkan pengguna membeli barang sekarang dan membayar nanti tanpa perlu menggunakan kartu kredit. Layanan seperti melalui Shopee Paylater, Kredivo, atau GoPayLater menjadi solusi praktis, khususnya bagi Gen Z yang sering kali belum memiliki kartu kredit atau penghasilan tetap. Proses aplikasi yang mudah dan cepat, ditambah dengan berbagai promo menarik, seperti diskon dan cashback, membuat layanan ini memberikan kemudahan akses sekaligus fleksibilitas yang luar biasa. Hanya dengan satu klik, Gen Z mendapatkan barang impian mereka, mulai dari pakaian, perangkat elektronik, hingga tiket konser, tanpa perlu membayar di muka. Inovasi ini tidak hanya menjawab kebutuhan mereka, tetapi juga memberikan pengalaman berbelanja yang cepat dan memuaskan, selaras dengan gaya hidup serba instan yang mereka jalani.
Namun, di balik kenyamanan ini, terdapat potensi risiko yang tidak bisa diabaikan. Bunga yang dikenakan pada layanan ini dapat mencapai 2-3% per bulan sehingga total pembayaran bisa jauh lebih besar dibandingkan harga awal barang. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang membeli laptop seharga Rp5 juta dengan cicilan 12 bulan melalui aplikasi, tanpa harus melalui pengajuan kartu kredit yang rumit, akan dikenakan bunga sebesar 3% per bulan. Pada akhirnya, total pembayaran menjadi sebesar Rp6,8 juta, yaitu 36% jauh lebih tinggi dibandingkan harga awal. Lebih lanjut, ketidakmampuan untuk melunasi cicilan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang serius. Salah satu di antaranya adalah merusak riwayat kredit yang berpotensi menghalangi Gen Z untuk mengakses pinjaman penting di masa depan, misalnya untuk kredit rumah atau kendaraan. Masalah ini dapat menjadi penghambat besar dalam mencapai kestabilan finansial yang baik.
Dari sudut pandang ekonomi perilaku, PayLater memanfaatkan kecenderungan Gen Z untuk mencapai kepuasan instan (instant gratification). Iklan digital, seperti video pendek di TikTok atau Instagram, secara efektif memperkuat dorongan konsumtif dengan menampilkan gaya hidup modern yang sulit diabaikan. Selain itu, tekanan psikologis untuk memenuhi gaya hidup tersebut juga berperan penting, karena PayLater menawarkan kemudahan dalam mendapatkan barang seperti gadget atau tiket konser tanpa perlu membayar di muka. Fleksibilitas ini dirasakan Gen Z, terutama ketika mereka dihadapkan pada keterbatasan finansial.
Menabung menjadi tantangan besar bagi Gen Z karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu alasan utamanya adalah rendahnya literasi keuangan. Berdasarkan survei OJK tahun 2024, literasi keuangan di Indonesia hanya mencapai 65,43%, sehingga membuat Gen Z lebih rentan terhadap perilaku konsumtif. Banyak dari mereka belum memahami konsep dasar pengelolaan keuangan, seperti pentingnya memiliki tabungan darurat atau cara mengelola utang dengan bijak. Akibatnya, mereka sering kali melakukan belanja impulsive tanpa memahami memperhitungkan dampaknya di masa depan, seperti penumpukan beban cicilan PayLater. Kondisi ini semakin diperparah oleh fenomena doom spending, yakni perilaku belanja impulsif yang terjadi sebagai respon terhadap stres atau perasaan tidak berdaya. Hasil survei Nielsen tahun 2024 menunjukkan bahwa 43% Milenial dan 35% Gen Z terjebak dalam siklus doom spending, terutama di kalangan individu dengan pendapatan yang tidak stabil. Selain itu, riset Snapcart tahun 2025 juga mengungkapkan mayoritas Gen Z melakukan pembelian non-esensial yang berujung pada penyesalan setelah pembelian (post-purchase regret).
Sistem pembayaran PayLater turut berkontribusi dalam memperkuat pola perilaku konsumtif. Berdasarkan penelitian dari Journal of Fundamental Management, penggunaan PayLater memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku konsumtif mahasiswa di Jakarta, dengan kontribusi mencapai 42%. Siklus berbahaya ini dimulai dari aktivitas belanja, pembayaran cicilan, hingga belanja kembali untuk mengatasi rasa bersalah, yang pada akhirnya menguras tabungan. Selain itu, struktur ekonomi dan tekanan sosial semakin memperburuk situasi ini. Banyak Gen Z, yang mayoritas berstatus pelajar atau pekerja pemula dengan penghasilan terbatas di bawah 3 juta rupiah per bulan, yang merasa terbebani untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup modern. Tren flexing (pamer gaya hidup) di media sosial mendorong mereka untuk memprioritaskan pengeleruaran konsumtif dibandingkan menabung. Kehadiran media sosial juga memperkuat rasa fear of missing out (FOMO), sehingga membuat Gen Z merasa perlu memiliki barang-barang terbaru, seperti smartphone atau pakaian bermerek, demi diterima di lingkungan sosial. Akibatnya, tabungan menjadi prioritas terakhir, sementara utang terus bertambah.
Tantangan ini memang tidak mudah, Gen Z dapat mengambil langkah strategis untuk lepas dari jebakan PayLater dan mulai membangun kebiasaan menabung yang sehat. Salah langkah penting yang dapat dilakukan adalah meningkatkan literasi keuangan dengan memanfaatkan sumber-sumber terpercaya, seperti webinar dari OJK, kanal YouTube yang berfokus pada edukasi keuangan, atau aplikasi seperti Ajaib. Langkah sederhana seperti belajar membuat anggaran bulanan juga dapat membantu menghindari jebakan finansial. Sumber-sumber tersebut memberikan pengetahuan praktis yang berguna dalam mengelola keuangan. Selain itu, metode pengelolaan keuangan 50-30-20 bisa menjadi pilihan yang efektif. Dalam metode ini, 50% dari pendapatan dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti makan, transportasi, dan sewa, 30% digunakan untuk keinginan seperti nongkrong dan hiburan, dan 20% sisanya disisihkan untuk tabungan serta investasi.
Kemudian, perilaku belanja impulsif dapat dikurangi dengan membatasi paparan terhadap iklan di media sosial. Salah satu caranya adalah mematikan notifikasi dari aplikasi belanja seperti Shopee dan Tokopedia, serta mengurangi waktu untuk scrolling di platform seperti Tiktok dan Instagram. Jika stress menjadi pemicu belanja impulsif, alternatif seperti olahraga, menulis jurnal, atau berbincang dengan teman bisa menjadi solusi yang efektif. Di sisi lain, penggunaan layanan seperti PayLater perlu dilakukan dengan bijak. Ajukan cicilan hanya untuk kebutuhan penting, seperti buku kuliah, perbaikan laptop, atau biaya kesehatan. Pastikan untuk membaca syarat bunga dengan cermat sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu.
Buy Now Pay Later menawarkan kenyamanan yang sulit untuk diabaikan. Namun, tanpa literasi keuangan yang memadai, Gen Z berisiko terjebak dalam siklus utang yang melemahkan kondisi finansial mereka. Rendahnya literasi keuangan, ditambah dengan perilaku boros seperti doom spending, dan tekanan sosial fear of missing out (FOMO), menjadi tantangan besar dalam membangun kebiasaan menabung. Untuk menghadapi tantangan ini, Gen Z perlu meningkatkan literasi keuangan melalui sumber-sumber terpercaya, menerapkan metode penganggaran seperti 50-30-20, serta mengendalikan FOMO yang sering kali mendorong pengeluaran konsumtif. Penggunaan fasilitas keuangan juga harus dilakukan secara bijak. Langkah-langkah ini dapat membantu menciptakan fondasi keuangan yang kuat untuk masa depan. Sebagai Langkah awal, jadilah generasi yang menguasai dompet, bukan yang dikuasai oleh tren. Mulailah kebiasaan kecil dengan menyisihkan Rp10.000 per hari. Dalam satu tahun, jumlah tersebut akan berkembang sehingga dapat memiliki tabungan darurat yang berguna unuk menghadapi situasi mendesak. Dengan pendekatan ini, Gen Z dapat mengelola keuangan mereka lebih baik dan mulai menata masa depan yang stabil.