Oleh :Riza Andesca Putra
(Dosen Departemen Pembangunan dan Bisnis Peternakan Unand & Mahasiswa Program Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM)
Pada tulisan sebelumnya (Scientia.id, 30/11/23), penulis mengemukakan partisipasi semu masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi semu tersebut minimal disebabkan oleh lima hal. Pertama, program pembangunan yang dijalankan tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Kedua, kualitas dan kuantitas bantuan yang diberikan tidak standar. Ketiga, tahapan pelaksanaan program tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Keempat, mentalitas aparatur instansi terkait yang formalistik. Kelima, pengalaman buruk kegiatan pembangunan di masa lalu.
Pada bagian ini penulis akan memaparkan solusi yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan partisipasi semu tersebut dari muka bumi pembangunan Indonesia. Solusi pertama, pastikan program pembangunan yang dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat. Ini menjadi sangat penting karena dewasa ini praktik konsep sentralistik masih tetap berlangsung meskipun kebijakan otonomi daerah telah lama disepakati. Konsep sentralistik yang dimaksud tidak hanya terkait keputusan di tingkat nasional versus daerah, namun juga tentang keinginan kepala daerah dan sekelompok elite versus keinginan rakyat. Pada situasi tersebut, biasanya yang menang adalah yang memiliki wewenang lebih tinggi sehingga kegiatan pembangunan yang dilakukan kembali tidak down to earth.
Dengan demikian, tentu saja masyarakat tidak merasa memiliki program pembangunan yang dilakukan di lingkungan mereka. Karena bagi mereka kegiatan tersebut bukan tentang mereka dan bukan menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Kalaupun pada akhirnya mereka ikut berpartisipasi, partisipasi yang dilakukan adalah sebuah formalitas, keterpaksaan, atau bahkan akibat ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan mereka, misalnya keberlangsungan akses terhadap komoditi bersubsidi seperti pupuk dan raskin.
Mestinya kegiatan pembangunan yang dilakukan itu adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Masyarakat yang menjadi salah satu subjek utama kegiatan pembangunan itu sendiri. Mereka diikutsertakan merumuskan apa yang akan dilakukan, dilibatkan dalam implementasi kegiatan, dan diajak untuk ikut melakukan monitoring dan evaluasi secara bersama-sama. Tentu saja partisipasinya dalam berbagai bentuk dan tingkatan sesuai dengan kebutuhan dan situasi lapangan. Dengan begini, masyarakat akan merasa memiliki karena kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut adalah upaya mengurangi/menyelesaikan masalah mereka, sehingga patisipasi aktif akan muncul dan mereka akan dengan senang hati terlibat, menjaga bahkan meningkatkan apa yang telah dilakukan.
Solusi kedua, pastikan kualitas dan kuantitas bantuan yang diberikan harus sesuai dengan standar. Dua isu ini sangat hangat dibicarakan di tengah-tengah masyarakat setiap kali program pembangunan dilakukan. Kualitas dari komoditi/produk bantuan yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat secara nyata bukan di atas kertas. Seperti halnya pada subsektor peternakan di mana kualitas ternak bantuan program pemerintah sering kali lebih kurus, tidak cocok berdasarkan kewilayahan atau mati beberapa saat setelah serah terima bantuan.
Begitu juga dengan kuantitas bantuan, sebagian bantuan yang diberikan ke masyarakat/kelompok masyarakat tidak memenuhi unsur efisiensi. Misalnya sebuah kelompok tani di Kota Padang dibantu oleh instansi terkait berupa ayam joper sebanyak 660 ekor dengan tujuan meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Ayam tersebut dipelihara secara intensif oleh 11 orang anggota pada sebuah kandang. Jarak kandang dengan rumah masing-masing anggota bervariasi di antara 0-4 kilometer. Pemeliharaan yang dilakukan secara bergantian/piket membuat anggota yang domisilinya jauh dari kandang akan kesusahan dan berbiaya tinggi.
Apa yang terjadi kemudian? Ternak bantuan yang diberikan melalui program pembangunan tersebut tidak berkembang, malah mengalami penurunan populasi. Pengelolaan usaha yang tidak efisien membuat manajemen berantakan. Akhirnya, usaha tidak berjalan seperti yang direncanakan. Tentu saja cita-cita meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat tidak akan terwujud.
Mestinya kualitas dan kuantitas bantuan pemerintah harus sesuai dengan standar dan memenuhi unsur kelayakan usaha. Kita semua harus sangat jujur terkait ini, karena kalau ini bermasalah, program pembangunan yang menyertainya dengan sendirinya akan terhenti. Permasalahan secara konsep ataupun perencanaan juga mesti dihindari, apalagi terkait korupsi.
Solusi ketiga, jalankan tahapan atau proses pembangunan dengan baik. Penulis menemukan sebagian kegiatan pembangunan tidak dilakukan sesuai tahapan yang telah ditetapkan. Tahapan persiapan masyarakat dalam menjalankan program pembangunan sering kali menjadi proses yang diabaikan. Pemangku kepentingan sering kali tidak menjalankan tahapan ini secara serius dan substantif. Pada hal, ini adalah tahapan penyamaan persepsi antar stakeholder yang terlibat yang menjadi dasar dalam menjalankan program pembangunan sehingga ketika program berjalan, banyak yang kagok yang memunculkan banyak miskomunikasi yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik.
Mestinya tahapan atau proses dalam program pembangunan tersebut dijalankan dengan tertib karena setiap tahapan memiliki peran khusus dan tak tergantikan. Mengabaikan proses sama saja merencanakan kegagalan, seperti halnya yang dikatakan pepatah lama, “ hasil tidak akan mengkhianati proses ”.
Solusi keempat, perbaiki mentalitas aparatur instansi terkait yang sudah terlanjur formalistik. Sistem administrasi bernegara yang ketat dewasa ini, menuntut para aparat untuk memenuhinya dengan sempurna. Kesempurnaan administrasi tersebut akhirnya mengorbankan substansi yang sebenarnya jauh lebih penting. Praktik ini sudah merajalela di tengah kehidupan bernegara kita. Aparat lebih mementingkan memenuhi syarat administrasi untuk laporan walaupun hasil program biasa saja, dari pada bekerja keras untuk menyukseskan program dan mengeluarkan masyarakat dari permasalahannya, tapi administrasi tidak lengkap.
Mestinya aparat tidak lebih memprioritaskan kelengkapan administrasi dari pada substansi program. Kalau bisa keduanya seimbang akan sempurna, namun jika tidak, keberhasilan program lebih utama dari pada kelengkapan administrasi. Karena keberhasilan program ini terkait dengan penyelesaian masalah masyarakat, keberlanjutan, dan kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah.
Solusi kelima, jaga kepercayaan dan perasaan masyarakat. Sebagai negara yang sedang berkembang dan bertumbuh, banyak sekali dinamika yang sudah dilalui oleh masyarakat dalam kaitannya dengan pembangunan. Dari sekian banyak itu, tidak sedikit yang sifatnya negatif, seperti perasaan kecewa, dibohongi, praktik kolusi, korupsi, nepotisme dan lain sebagainya. Menjaga kepercayaan dan perasaan masyarakat hari ini menjadi sangat urgen karena pada sebagian hati masyarakat sudah mempunyai luka yang membekas.
Ke depan, proses pembangunan mesti dijalani lebih serius, kembali hidupkan semangat gotong-royong yang benar, seperti yang tertera pada falsafah bangsa, Pancasila. Dengan demikian, partisipasi masyarakat akan meningkat, yaitu partisipasi yang berkualitas dan berkontribusi untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi dalam mewujudkan pembangunan Indonesia yang sejahtera.
Discussion about this post