Oleh: Nayla Aprilia
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang)
Salah satu film animasi anak yang sedang naik daun tahun 2025 adalah film yang berjudul Jumbo, karya Ryan Adriandhy. Menurut hasil survei, film yang bertemakan keluarga ini tembus 3 juta penonton, “Film Jumbo tembus 3 juta penonton! Luar biasa banget, karena lebih dari 3.000.000 penonton udah jadi bagian dari petualangan Don & Geng Jumbo!” tulis Visinema dikutip dari Instagram @visinemaid, Senin (14/4/2025). Selain telah mencapai angka penonton yang tinggi, film ini juga telah diputar di berbagai negara dengan bahasa yang disesuaikan.
Menariknya, meskipun ditujukan untuk anak-anak, justru film ini mencuri perhatian orang dewasa. Bagaimana tidak, alur dan konflik yang disajikan oleh sang sutradara terbilang kompleks dan emosional. Film yang tampak luarnya berwarna-warni memancarkan kebahagiaan dengan berbagai elemen warna dan visual, menyimpan pesan yang penuh dengan makna mendalam, dan mampu memberikan penggambaran estetika orang dewasa dalam balutan imaji anak-anak.
Pada dasarnya estetika hanya persoalan keindahan. Jika dilihat lebih jauh estetika tidak hanya mengenai keindahan, tetapi juga membicarakan persepsi tentang suatu hal. Bahkan ada yang disebut dengan estetika keburukan. Bagaimana keburukan dipandang sebagai sesuatu yang indah. Dalam hal ini estetika luka berkaitan dengan bagaimana luka akibat kehilangan, terabaikan, dikucilkan yang tercermin dalam setiap tokoh dalam film Jumbo.
Don, menjadi tokoh utama yang mempunyai kisah hidup memilukan. Kedua orang tuanya meninggal. Ia hanya dirawat oleh neneknya yang dipanggil Oma. Karakter Don divisualisasikan sebagai tokoh yang memiliki tubuh gemuk dan menyimpan luka batin tersembunyi. Segala tindakannya merupakan representasi dari luka akibat kehilangan dan pengabaian, misalnya luka sakit kehilangan orang tua dan rasa sedih karena diabaikan teman-temannya sehingga dirinya merasa kesepian dan panggung teater yang dibangunnya menjadi ruang sublimasi trauma, tempat di mana memori, harapan, dan kesepian dikemas dalam bentuk dongeng.
Untuk membangun panggung teater tersebut, ia memakai buku warisan kedua orang tuanya. Di dalamnya dikisahkan, Don menjadi pahlawan. Usaha untuk menampilkan dongeng yang dibuat kedua orang tuanya mendapat banyak rintangan. Atta, teman Don tidak menerima bahwa ia mampu mendaftar dan menjadi bagian dalam pertunjukkan, sedangkan dirinya tidak. Atta menjadi tokoh yang mengacau bagi Don. Jika dilihat lebih dalam, Atta dapat dikatakan sebagai tantangan tokoh Don untuk menghasilkan rasa keberanian, harga diri, dan penerimaan atas diri sendiri.
Selain Atta, ada pula tokoh bernama Nurman dan Mae. Keduanya merupakan teman baik Don, tetapi tidak dengan Atta. Nurman dan Mae memiliki latar belakang yang sama dengan Don. Keluarganya tidak lengkap. Namun, karena sifat kehilangan dan pengabaian yang dirasakan Don terlalu besar, hal itu membuat ia selalu ingin dimengerti sehingga menimbulkan masalah, seperti kehilangan Mery, sosok hantu anak kecil yang sudah membantunya dalam pentas teater. Tak hanya itu, Nurman dan Mae turut menyerah untuk membantu Don.
Oleh karena itu, tak jarang orang dewasa yang menonton film ini justru meneteskan air matanya. Fenomena ini menyerang inner child mereka. Menurut Mitra Keluarga (2023), “inner child adalah sisi kepribadian dalam diri kita yang terbentuk dari pengalaman masa kecil dan memengaruhi bagaimana kita merespon situasi ini.” Pengalaman itu dapat berupa yang baik atau yang buruk. Ketika berada di situasi yang buruk, sistem otak akan mengingat sampai seseorang sudah beranjak dewasa ingatan itu akan terus melekat. Kejadian tersebut akan membuat seseorang memiliki respon menangis. Namun, tidak jarang juga lebih memilih untuk menutupi kesedihannya, tetapi hal demikian justru tidak baik karena emosi tersebut akan menumpuk dan meledak suatu waktu.
Itulah menariknya, pengemasan film Jumbo dengan warna dialog dan warna gambar yang memberikan efek sangat ceria dan diselimuti oleh unsur imajinasi, justru mengandung rasa sakit. Luka batin yang ditutupi secara diam oleh tokoh Don dapat ditunjukkan dengan cara sederhana, polos, dan kekanak-kanakan hingga mampu membuat seorang yang sudah dewasa meneteskan air mata. Estetika semacam ini menjadikan Jumbo bukan sekadar film anak-anak, melainkan karya sinematik yang menghadirkan kontemplasi bagi penonton orang dewasa tanpa harus menghilangkan daya tarik bagi anak-anak.
Dengan kata lain, film Jumbo karya Ryan Adriandhy tidak hanya film anak-anak yang menyajikan cerita seru dan penuh imajinasi, tetapi juga terselip berbagai masalah yang kompleks yang menjembatani dunia anak dan dunia dewasa. Kedua hal tersebut dijembatani dengan estetika luka seperti luka akibat kehilangan, terabaikan, dan dikucilkan. Estetika luka itu dibalut dalam penggambaran film animasi anak-anak dengan kesan lucu dan menggemaskan.