Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Suatu hari, salah seorang sanak saudara berkunjung ke rumah saya. Ia berkunjung bersama anak perempuannya. Ketika itu, ia membawa kabar bahwa anak perempuannya yang berusia 10 tahun itu tengah menstruasi. Itu bukanlah kali pertama, yang artinya ia mendapat haid lebih cepat. Saya yang mendengar kabar itu merasa bahagia dan berencana bercerita banyak hal tentang haid dengan keponakan saya itu., tetapi ayahnya kemudian berkata, “Apa ini normal? Kok cepat sekali? Dia tidak sedang diguna-guna, kan? Saya curiganya begitu”.
Pernyataan itu ia ucapkan berkali-kali meskipun saya dan ibu mengatakan menstruasi yang datang lebih cepat sangatlah normal. Terlebih keponakan saya telah berusia 10 tahun, usia yang sangat wajar untuk haid. Sebab, menstruasi kali pertama umumnya dialami oleh perempuan di usia 10 hingga 15 tahun. Ia pun memiliki siklus haid yang normal dan teratur sejak pertama kali mengalaminya.
Rupanya mitos-mitos tentang menstruasi tidak dengan mudah bisa ditinggalkan. Sejak lama, menstruasi diidentikkan dengan simbol-simbol mitos. Darahnya misalnya, dalam anggapan sejarah dianggap tabu. Istilah yang terkait dengan peristiwa biologis ini juga beragam, seperti “datang bulan”, “tanggal merah”, “sedang kotor”, “kedatangan tamu”, “sedang libur”, “lagi dapet”, dan lain sebagainya.
Pada salah satu artikel berjudul “Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci” yang ditulis Nasaruddin Umar, kata ‘tabu’ yang sering dikaitkan dengan menstruasi memunculkan “menstrual taboo”. Hal itu kemudian menjadi salah satu cikal-bakal langgengnya patriarki. Konsep menstruasi, bahkan dianggap sebagai kutukan dan berasal dari sesuatu yang gaib.
Dalam lintasan sejarahnya, sebagian kepercayaan mengamini bahwa darah menstruasi muncul bersamaan dengan terjadinya peristiwa dosa. Hal itu terkait pelanggaran yang dilakukan Hawa/Eva di surga yang mengakibatkan wanita akan menanggung 10 penderitaan, salah satunya ialah siklus menstruasi.
Namun, di dalam Al-Qur’an, terdapat pandangan yang optimis terkait haid. Bila sebelumnya perempuan haid tidak diperbolehkan berkumpul bersama keluarganya, bahkan masakannya tidak boleh dimakan, dalam Islam Nabi justru bersabda, “lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”. Hal yang sebelumnya dianggap tabu bergeser menjadi hal yang dianggap alami.
Sebetulnya, saya tidak begitu yakin bila anggapan guna-guna terkait menstruasi yang dilontarkan ayah keponakan saya itu sebagai sisa-sisa dari kepopuleran menstrual taboo di masa dulu. Namun, tidak bisa dimungkiri pula bahwa menstrual taboo menimbulkan akibat yang mengakar dalam masyarakat. Mitos tertentu seringkali menyertai perempuan yang sedang haid. Ketika saya di sekolah menengah, saya menjumpai narasi bahwa aroma tubuh perempuan akan berbeda antara saat sedang haid atau tidak. Anehnya, aroma itu dipercaya hanya akan diketahui olah anak laki-laki.
Di sekolah dasar, adakalanya pula menstruasi dianggap sebagai penyakit yang menular. Anggapan itu menyebabkan anak laki-laki menjauhi teman perempuannya yang ia duga sedang haid. Di sekolah-sekolah biasanya siswi perempuan dikumpulkan secara khusus untuk menerima penyuluhan terkait reproduksi perempuan. Siswa laki-laki tidak diikutsertakan seolah mereka tidak perlu (boleh) tahu. Akibatnya, anggapan mereka yang keliru tentang menstruasi yang dialami teman perempuannya sulit diluruskan.
Discussion about this post