Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)
Bila saya membawa teman pulang kampung, ibu hampir selalu menyuruh saya untuk mengajaknya ke Talempong Batu. Situs cagar budaya ini adalah ikon kebanggaan bagi masyarakat di nagari kami, Talang Anau. Bagaimana tidak? Talempong Batu adalah benda purbakala yang oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya diperkirakan ditemukan sejak 12 M.
Saya jarang menolak bila teman itu memang ingin mampir ke sana. Bila sudah begitu, saya juga harus bersiap-siap untuk menceritakan kisah tentang Tuanku Nan Ilang. Cerita legendaris yang tidak bisa dipisahkan dengan ditemukannya Talempong Batu. Sebetulnya cerita tersebut sudah terpampang jelas di selembar selebaran besar di lokasi. Namun, tidak mungkin kan, saya menyuruhnya untuk membacanya sendiri? “Di sana, baca saja sendiri!” Bisa-bisa pertemanan kami berakhir detik itu juga.
Akan tetapi, saat ini, saya tidak akan bercerita tentang Tuanku Nan Ilang. Barangkali cerita ini cukup mudah ditemukan bila ada artikel yang menulis tentang Talempong Batu. Saya ingin membahas soal situs cagar budaya tersebut sebagai alat musik.
Talempong Batu tidak banyak ditilik sebagai instrumen musik. Padahal, alat musik dari batu yang biasanya lebih dikenal dengan litofon itu tergolong alat music tua yang unik.
Tiga dekade silam, Louven, seorang professor di bidang musikologi diminta untuk menganalisis rekaman litofon yang hampir tak dikenal dari desa kecil Sumatera Barat. Menurutnya, keenam batu purbakala tersebut menunjukkan spektrum kompleks dengan nada tambahan yang tidak harmonis. Louven juga mengasumsikan bahwa alat musik tua tersebut tidak berevolusi secara kebetulan.
Berdasarkan artikelnya yang bertajuk “The ‘talempong batu’ Lithophone of Talang Anau (West Sumatra) and its Astonishing Tuning System”, Louven berkesimpulan bahwa penyetelan alat musik yang terbuat dari batu di pegunungan Sumatera itu secara akurat sesuai dengan beberapa interval yang dikenal dalam tradisi penyetelan. Selain itu, susunan batu secara keseluruhan juga mencerminkan makna teoretis dari interval dengan sempurna.
Berdasarkan cerita lisan yang beredar, Talempong Batu terbentuk secara alamiah. Namun, sebagai litofon juga memungkinkan enam batu yang berjejer tersebut diciptakan oleh si pembuat yang mengerti tentang musik. Seperti yang dikatakan oleh Louven, jika sistem penyetelan talempong batu memang disengaja, keberadaannya sebenarnya dapat mengatakan banyak hal tentang sumber daya dan keterampilan teoretis dan praktis pembuat serta konteks budayanya di masa silam.
Proses penyeteman Talempong Batu hingga menghasil nada yang harmonis tetap misterius. Sejauh ini, masih belum jelas bagaimana ketepatan penyetelan yang mengejutkan ini dapat dicapai secara praktis. Oleh karena itu, tampaknya lebih masuk akal bahwa budaya pencipta talempong batu memang mengenal alat musik dawai.
Seperti yang dinyatakan Pätzold (2003), talampong batu merupakan instrumen yang unik. Bahkan jika pembuatnya tidak memproduksi instrumen lebih lanjut, masih belum jelas apa yang mungkin terjadi pada karya awal yang digunakan untuk memperoleh keahlian khusus ini. Jadi, orang mungkin bertanya-tanya mengapa tidak ada litofon serupa lainnya yang ditemukan.
Maka, Talempong Batu bukan sekadar peninggalan purbakala yang dipuja karena kisah legendaris Tuanku Nan Ilang. Ia adalah saksi bisu kejeniusan manusia masa lampau dalam menciptakan harmoni dari kerasnya batu, dalam menyusun nada dari sesuatu yang tampak bisu. Ketika enam batu itu dipukul dan menghasilkan denting yang menggetarkan udara, kita sedang mendengar gema masa silam—sebuah warisan musikal yang belum sepenuhnya kita mengerti, tapi pantas untuk kita kagumi dan jaga. Di tengah gempuran zaman, Talempong Batu mengingatkan kita bahwa peradaban besar tidak selalu meninggalkan gedung menjulang, tapi bisa juga berupa suara halus dari gunung, yang hanya bisa didengar jika kita sudi berhenti sejenak dan mendengarkan.