Hadirmu Air Mata Surga
Aku telah menunggumu sejak lama
Sejak jiwa biasa merindu
Aku yang kehilangan cahaya selama ini begitu dahaga
Meleleh di tepi gelas malammu
Berharap segera kau tuang dengan pijar
Menyelimuti sandaran jiwa
Berharap mengisi kekosongan yang selama ini menjalar
Pada akar-akar yang buta air mata
Tiada frase yang ingin kutuliskan
Selain bait syukur yang menyeruak dari dasar jiwa
Bersyukur masih diberi kesempatan
Mewarnai lembaran harimu nan surga
Tiada sajak yang pantas kujahit
Selain merenda ayat pada huruf-huruf malam-Nya
Ayat-ayat suci yang selama ini menjerit
Mungkin lupa memajangnya di mana
Kau telah menjelma hariku
Untuk selalu ingat pada Robb-Ku
Sang pemilik raga
Pembasuh luka yang selama ini bernoda
Izinkan aku meratap pada rindu yang membuncah hadirmu
Seperti kata yang tak sempat lagi kuramu
Pada tawa yang berendam di bibir bisu
Hadirmu Ramadhanku air mata surga untukku
Payakumbuh, 11 April 2022
Mendambamu adalah Anugerah
Jika ada yang bertanya tentang bulan paling indah
Maka aku akan menjawab Engkaulah
Tujuh purnama di malam-malam sebelas lainnya
Belum tentu mampu menembus samudera jiwa
Siangmu memancar bumi bernapaskan surga
Malammu menderus peluh bermandikan cinta
Ayat-ayat bergelimang di atas sajadah
Disusun rukuk dibingkai sujud
Ramadanku begitu aku mendambamu
Kehadiranmu rahmat bagi seluruh penjuru
Akan kucumbu hari-hari bersamamu
Sebab Robb-ku telah menakdirkan membelai hati-hati nan beku
Tak ada riuh selain sesal yang tak lagi padam
Menyeret langkah mimpiku ke kubangan suram
Dengan jalan-jalan penuh cinta
Kau tuntun langkahku ke laman surga
Kan kutempatkan kau di tahta tersuci di sudut jiwa terindah
Akan kubiar hati ini menepi di sudut sunyi
Karena ku tak mau menghitung rindu yang memerah
Saat waktu menjemputmu kembali
Payakumbuh, 11 April 2022
Asa yang Tak Kembali
Ia pun berdiri di tepi ceruk pohon-pohon senja
Kala itu mentari hanya bayang-bayang
Camar dan gagak bersulang di ranting bunga-bunga malam
Sambil menikmati mega yang menghitam
Kepada sungai ia berkaca
Lalu diukurnya bayang-bayang itu sepanjang air mata
Yang tak kunjung padam
Yang tinggal hanyalah hitam
Dahan tak terlihat lagi
Ranting terkubur sunyi
Camar dan gagak menangis
Daun-daun senja telah punah
Ranting pun tenggelam bersama mimpi tak abadi
Lalu disudahinya malam dengan mengeja segala rasa
Asa kan sirna
Semua berpulang pada titah-Nya
Payakumbuh, 11 April 2022
Biodata Penulis:
Novi Handra memiliki hobi membaca dan menulis. Beberapa kali jadi pemuncak cipta puisi tingkat Nasional. Ia baru menelurkan sepuluh buku dan beberapa karyanya juga sering dimuat di event-event antologi nasional.
Meleleh di Tepi Malam
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Tiada frase yang ingin kutuliskan
Selain bait syukur yang menyeruak dari dasar jiwa
Bersyukur masih diberi kesempatan
Mewarnai lembaran harimu nan surga
Menurut Aristoteles, kesusastraan adalah imitasi dari kehidupan (Abrams, 1971:11). Kesusastraan adalah sebuah bentuk ekspresi manusia yang mencerminkan pengalaman, ide-ide, dan perasaannya. Bentuk ekspresi tersebut dapat berjarak dari kehidupan sang penulis dan bisa pula refleksi kehidupan personalnya sebagai sosok individu yang memiliki emosi, pikiran, dan alat indra yang berfungsi untuk merespons lingkungan.
Sebagai bagian dari sistem sosial, pengarang, penyair, atau sastrawan menggunakan karya sastra untuk mengungkapkan berbagai macam gagasan dan respons terhadap fenomena sosial. Puisi merupakan suatu karya yang terbentuk atas susunan kata penuh makna yang dibuat oleh penyair sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupan melalui bahasa sebagai media pengungkapannya. Puisi mempunyai unsur pembangun yang secara bersama-sama membentuk kesatuan dan susunan yang indah sehingga dapat dinikmati pembaca. Struktur karya sastra merupakan sebuah totalitas yang saling berhubungan dari unsur-unsur pembangunnya, seperti kata (diksi), bunyi, rima, metafora, gaya bahasa, tema, makna, dan lain-lain.
Struktur batin puisi terdiri dari tema, rasa, nada, dan amanat. Tema merupakan gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya sehingga tema itulah yang menjadi kerangka (landasan utama) pengembangan sebuah puisi. Rasa (feeling) yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Waluyo (1991) mengatakan bahwa dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah memahami tema dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ahli sastra tentang pengertian puisi. Menurut Waluyo (2002:32), puisi ialah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata imajinatif. Altenbernd dalam Pradopo (2010:57) memberikan definisi tentang puisi yaitu pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Menurut Mulyana (2009:27) mengutip definisi puisi dari Groot (1998:249) dalam bukunya yang berjudul Algemene Versieer yang menyatakan bahwa perbedaan pokok antara prosa dan puisi adalah kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi adalah kesatuan akustis. Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu, yang tediri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir, kesatuan ini disebut baris sajak. Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi dari Novi Handra, seorang guru di Kota Payakumbuh. Ketiga puisi tersebut berjudul “Hadirmu Air Mata Surga”, “Mendambamu adalah Anugerah”, dan “Asa yang Tak Kembali”. Puisi-puisi Handra sangat kental dengan perenungan yang kontemplatif. Bait berikut contohnya:
Tiada sajak yang pantas kujahit
Selain merenda ayat pada huruf-huruf malam-Nya
Ayat-ayat suci yang selama ini menjerit
Mungkin lupa memajangnya di mana
Di dalam konteks kehidupan Islami, manusia diberi waktu untuk beribadah kepada Sang Pencipta, Allah SWT,“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Menyembah Tuhan dimaknai dengan tindakan beribadah, sebagai wujud dari melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Mengisi waktu dengan membaca huruf-huruf kitab suci untuk menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan ketakwaan adalah salah satu bentuk ketaatan seorang hamba.
Puisi Handra yang religius ini dibungkus dengan gaya bahasa romantisme seolah sedang bercakap-cakap dengan pujaan hati. Larik-larik yang menyentuh hati, ‘Berharap segera kau tuang dengan pijar/ Menyelimuti sandaran jiwa/ Berharap mengisi kekosongan yang selama ini menjalar/ Pada akar-akar yang buta air mata’. Kata-kata yang terdengar intim tanpa penghalang dalam mengungkapkan harapan dan keinginan. Sangat lembut dan akrab. Harapan aku lirik dapat memancing imajinasi pada sosok manusia namun jika dilihat baris-baris berikutnya makhluk itu lebih kepada kitab suci yang menjadi alat penerang tersebut, seperti larik-larik berikut: ‘Kau telah menjelma hariku/ Untuk selalu ingat pada Robb-Ku/ Sang pemilik raga/ Pembasuh luka yang selama ini bernoda’. Alquran dapat berfungsi sebagai media pengingat, zikir.
Puisi-puisi berikutnya juga berkelindan di ranah spiritual. Puisi kedua tertuju pada bulan suci Ramadan. Dapat ditelusuri dari larik-larik berikut, ‘Jika ada yang bertanya tentang bulan paling indah/ Maka aku akan menjawab Engkaulah/ Tujuh purnama di malam-malam sebelas lainnya/ Belum tentu mampu menembus samudera jiwa’. Ramadan adalah penghulu segala bulan, bulan istimewa yang memberi berkah pahala berlipat ganda. Ramadan adalah bulan yang dirindukan, yang dinanti-nanti. ‘Kan kutempatkan kau di tahta tersuci di sudut jiwa terindah/ Akan kubiar hati ini menepi di sudut sunyi/ Karena ku tak mau menghitung rindu yang memerah/ Saat waktu menjemputmu kembali’. Alangkah beruntung kaum muslimin yang bertemu dengan momen bulan Ramadan dan memanfaatkan sebaik mungkin untuk mencapai derajat takwa.
Puisi-puisi Handra sarat dengan pesan-pesan rohani. Semangat dakwah ini tentu merupakan kreativitas yang positif, meyampaian nasihat kebaikan kepada khalayak pembaca sehingga puisi tak sekadar untaian kata-kata indah yang memabukkan. Sebab, pada akhirnya semua akan mencapai ujung kesementaraan dunia: ‘Dahan tak terlihat lagi/ Ranting terkubur sunyi/ Camar dan gagak menangis/ Daun-daun senja telah punah’. Puisi adalah bisik lirih yang membuat kita terpancing untuk menarik napas panjang, lalu melihat dunia dengan lebih bijak. Terima kasih, Pak Handra![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post