Cerpen: Roma Kyo Kae Saniro
“Nak, apakah kau besok pulang dan dapat mengantarkan kartu keluarga (KK) kita kepada Pak RT? Kata Mpok Leha, kita harus mengumpulkannya agar mendapatkan BLT yang dielu-elukan oleh pemerintah di televisi.”
“Belum, Bu. Sepertinya aku tak bisa pulang. Bagaimana jika Ibu saja yang mengantarkannya?”
“Baiklah, Ibu antar besok”, sembari menutup telepon.
Kubaca pesan grup. Sorak-sorai temanku karena masuk daftar penerima BLT pemerintah. Padahal, hidupnya berkecukupan dan berpendapatan stabil sebagai karyawan perusahaan. Namun, tetap membusungkan dada dan mengulurkan tangan untuk sesuatu yang bukan haknya. Beberapa harinya, kutelepon ibuku dan kutanyakan mengenai kabar BLT tersebut karena di televisi sontak telah memberitakan wajah-wajah penguasa yang tersenyum lebar sedang memberikan sejumlah bantuan sebagai simbolik.
“Kita tidak dapat, Nak.”
Kutahu tarikan napas dan jeda yang ibuku sisipkan dalam perkataannya menyiratkan kekecewaan. Aku, pekerja lepas, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga. Ayahku kabur entah ke mana. Kami hidup mengontrak di ruangan tiga kamar di pinggir kota karena wabah ini sudah dua bulan tak mendapatkan pemasukan, tetapi tidak berhenti untuk pengeluaran.
Kekesalanku membuncah ketika ibuku berkata Mpok Eva, istri polisi yang memiliki rumah mewah di RT kami mendapatkan empat BLT, untuknya, suaminya, dan kedua anaknya. Aneh, tidak sesuai dengan ucapan manis pemerintah. Semakin aneh, Mpok Jenab yang sudah berhaji dan suaminya memiliki lima swalayan lebah merah di kota kami pun mendapatkannya. Lebih aneh, si Ono, PNS di kantor kecamatan kami, tetapi mendapatkan BLT. Usut punya usut, kata Mpok Sape’i, seharusnya ibuku atau aku harus akrab dengan Pak RT agar mendapatkan BLT seperti mereka.
Ibu menolak seperti mereka dan tidak mau menjadi pengemis. Ternyata, akhirat lebih menggiurkan ibuku daripada godaan akibat wabah ini.
Keesokan sorenya, Markonah lewat di depan kamar kosanku.
“Konah, kau belum work from home? Bukankah semua instansi telah libur?”
“Ya, aku baru akan work from home mulai besok. Kau sendiri sudah?
“Tidak, aku hanya buruh lepas. Ya, aku tidak bekerja.”
“Oh, aku sih enak. Seminggu hanya masuk satu hari. Jadi, selama Senin sampai Jumat, aku hanya masuk hari Selasa.”
“Apakah ada pemotongan upah?”
“Tidak. Aku digaji penuh dong. Yang dipotong itu adalah PNS dengan jabatan akselon 3 ke atas”, sambil menunjukkan mata penuh kebanggaan dan senyum yang mengiris hati.
“Oh, ya? Kukira semuanya akan ada pemotongan.”
“Oh, jelas tidak dong. Bahkan, THR-ku diberikan penuh.”
Perempuan itu pergi dari hadapanku dan segera hilang ditelan jarak. Hatiku mendung, wajahku kutekuk, dan darahku mendidih. Wabah sialan. Seharusnya aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Untunglah, masih ada tabungan untuk dua bulan ke depan. Namun, aku tidak tahu bagaimana kisah ibuku dan diriku setelahnya.
Serasa tidak adil. Jujur, aku benci perempuan itu. Cih. Dia tidak pintar. Hanya bermodal wajah dan tubuh molek dan wangi. Pendidikan sebatas ijazah dasar. Cih. Merasa sudah paling di atas awan dan melupakan asal.
Minggu depannya, ibuku membangunkanku yang sedang tidur siang.
“Ndok, Ndok, bangun! Orang yang mendapatkan BLT tiba-tiba muntah darah dan belatung, apalagi di Markonah! Mereka sudah evakuasi dan segera akan dibawa ke rumah sakit.”
“Wabah memang adil, Bu. Biarkan saja. Aku ingin tidur berharap ketika kubangun, Wabah telah selesai.”
Bandung, 30 April 2020
Biodata Penulis:
Roma Kyo Kae Saniro merupakan Dosen di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Memiliki ketertarikan terkait isu gender dan feminis. Tulisannya berfokus kepada studi kesusastraan, baik sastra tradisional maupun sastra modern.