Danau Singkarak
Sibak sore tak tahu malu,
Kali ini riak dan derak ombak memecah
Derak kulit pensi terpijak, menandakan rindu nan pecah.
Igau si pencari pensi nan terlampau oleh sebab garis pantai kian ke dalam.
Ah, payah. Payah sekarang.
Apung jala meriap disapu pelan riak,
Sampan dan Mak Itam tampak menyatu seperti kenyataan yang penuh tanya.
Ikan bilih payah!
Lengang.
Selengang-lengangnya.
Pikiranku lengang, maksudnya.
Sisik bilih dijalin menjadi baju bagi cucu Mak Itam,
Kulit pensi yang berderak tak mau mengurai di pasir,
Pensi dicari bikin kulit punggung kesat seperti celoteh sang dewan
Sampan hendak tiris dua bulan lagi.
Kapan pasir akan menjadi beras?
Ingin membarter batu dengan doa-doa yang baik saja, harapnya.
Hayat sepanjang jala, riak, dan Danau Singkarak.
Apa bisa?
Hidup.
Apa, lah
Tikalak – Tepian Danau Singkarak
1 Oktober 2021
Apa Kabar, Kerinci?
Pendaki gunung memutar lagu favoritnya
Terdengar ranum tumpahan kopinya
Setelah beberapa menit bias rinai mendekap Bumi Kincai.
Kaupun jengahi kesibukan menghabiskan tinta sekapal dan geretak punggung nan lurus tanpa ruas.
Hai,
Apa kabar, Kerinci?
Tuan dan Puan berseringak napas,
Jantung berpukul teguh dan linting kretek nan sombong diselip jemari.
Menanjaki.
Apapun, sampai berpatah lenganpun rindu menjadi undang-undang perjalanan
Alasan terdalam, sedalam Danau Gunung Tujuh
Bagaimana kabarnya, Puncak Inderapura?
Masih tajamkah kautatap Talamau, Marapi, Singgalang, Tandikek dan Talang di utaramu?
Mereka menjadi teman yang menyenangkan, bukan?
Mereka menjadi artis termahsyur, ribuan orang berlomba membawa cangkir kopi dan lagu-lagu kegemaran,
Sampai ambangnya tak menggunung tinggi, setinggi sombong mereka.
Tuhan bersama gunung-gunung itu.
Sekali lagi,
Apa kabar, Kerinci?
Shelter I, Gunung Kerinci – 8 Januari 2022
Mendengar Talang Bercerita
: Cerita Talang dan Rasa
Semuanya adalah nan ranum.
Jejak lelah sudah dan meleleh jadi beberapa keping kenang.
Ada sehelai kelam membungkus panggung malam di Hutan Bukik Bulek.
Dingin mengecup kening dan sedari dulu hanya beberapa episode terbalas.
Ada panggung Danau Talang, Danau Diateh dan Danau Dibawah
Dari punggung Bukit Barisan : tengah berlangsung sebuah pentas malam minggu.
Makanya aku datang.
Ruang murung di tubuh Talang dimaraki beberapa suara sumbang sang kembara.
Warna-warni cerita berderai.
Dalam kidung ketinggian,
Beberapa himpunan alasan
Mereka kembangkan sebagai upaya lari dari nan hiruk dan pikuk.
Tak membantah.
Tapi akhir pekan mestinya syahdu.
Harusnya.
***
Pada rengkahan kepundan Gunung Talang,
Mekar sudah beberapa idiom perjuangan, entah elegi entah ode, nan jelas lirih.
Cuat rayu hutan mati tak bisa membendung bah rindu dari sisir kembara nan panjang.
Terbukti, beberapa lagu yang berputar sebatas dengaran dari dalam tenda.
: tak ada yang lantang. Sendu semua.
Bersama seduh robusta dan bentang mentari jam 8 pagi,
Ia memeluk rindu yang tak kuasa menuai kecamnya.
Semua buku cerita dan beberapa silau kembara tak kunjung usai dan belum menemui akhir.
Pecah,
Bercerai.
Itulah rindu yang harus kusatukan, sayang.
Beberapa potret terbidik mencari beberapa onar dan benar.
Tak peduli ia sedang tinggi di sini.
Sampai di mana obrolan Talang dan didengar, kah?
Sebenar-benar seorang tuan dalam kembara sunyi saja nan meresapi pilu raung Talang.
Sebenar-benar pejalan nan terpicu lagu bahwa gunung tak punya rasa.
Dengar, lah.
Talang juga punya rasa.
Kita yang tak berasa.
Talang Via Bukik Bulek
9 Oktober 2022
Aku dan Telaga Dewi
Langkahku sunyi yang kejam,
Aku tak hiraukan kaki yang runyam,
Napas terancam dan tubuh terpenjara lelah berjam-jam
Telaga Dewi,
Alasan hendak melepas atau sekedar berziarah
Bercangkir kopi sudah kuseduh,
Sepuas dan selepas itu ingin meresapi bahasa rindu satu dan lainnya,
Apa kabar, Telaga Dewi?
Serumpun amarahku melesatkan berjilid-jilid majas,
Seumpama seorang tua nan terpasung napsu kafein : serta mulia setelah menyambangimu
Bergerai pohon-pohon tropis, lumut-lumut hijau, kabut tipis dan itu alasan rindu
Aku dan Telaga Dewi,
Dasar hati terdalam yang ingin kuselami.
Sengaja puisi ini kutulis, semanis matahari bergurau dengan kabut tipis.
Hei,
Doakan aku kembali menyapamu di lain waktu,
Telaga Dewi Gunung Singgalang
24 Mei 2022
Biodata Penulis:
Rozi Erdus lahir di Tikalak, sebuah Nagari di Kecamatan X Koto Singkarak, 8 Juli 1992. Aktif dalam kegiatan konservasi pendakian gunung Sumatera Barat dalam gerakan Trashbag Community Komunitas Peduli Sampah Gunung Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sumatera Barat sejak tahun 2013. Pernah mengikuti Pemilihan Uda & Uni Duta Wisata Kab. Solok 2016 dan meraih gelar Mr. Tourism Popularity Sumatera Barat 2018 dan Winner Best Video Promotion pada ajang Pemilihan Mister Tourism Indonesia Sumatera Barat 2018. Sekarang ia bekerja sebagai Staf Umum Pemerintahan Nagari Tikalak. Menggemari kegiatan alam bebas, menulis, membaca sastra lama, dan menikmati kopi lokal Indonesia. Ia bisa dihubungi melalui Instagram @tuan_kembara
Hayat Sepanjang Riak
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Langkahku sunyi yang kejam,
Aku tak hiraukan kaki yang runyam,
Napas terancam dan tubuh terpenjara lelah berjam-jam
Robert C. Pooley (1992:19) mengatakan bahwa orang yang menutup telinga terhadap puisi akan terpencil dari suatu wilayah yang penuh dengan harta kekayaan berupa pengertian manusia, pandangan perorangan, serta sensitivitas yang menonjol. Suatu kerugian jika masyarakat tidak menikmati serta mengambil nilai dan makna yang terdapat dalam puisi. Memang dibutuhkan usaha untuk menangkap makna dan pesan yang disampaikan oleh penyair namun ada berbagai cara yang bisa dilakukan, salah satunya lewat analisis dan kajian yang mendalam terhadap karya tersebut.
Menurut Fowler (2000), sastra adalah tulisan yang baik, tulisan yang bermakna, tulisan yang mengesankan, tulisan yang hebat (terkenal). Mengingat pendapat Fowler tersebut maka membaca dan menulis puisi sebagai salah satu genre karya sastra tidak melulu merupakan aktivitas orang-orang yang berprofesi di bidang kesenian, namun dapat dilakoni siapa saja, termasuk akuntan, kuli bangunan, pengusaha kuliner, astronot, politikus, atau dokter. Tulisan sastra yang menyimpan kandungan makna akan memperkuat sisi humanisme seorang tenaga medis misalnya sehingga akan lebih meresapi penderitaan pasien dengan empati yang menguatkan semangat hidup dan melakukan tindakan medis dengan lebih manusiawi.
Pada edisi kali ini Kreatika memuat empat puisi Rozi Erdus. Keempat puisi pemuda Singkarak ini berjudul “Danau Singkarak”, “Apa Kabar, Kerinci?”, “Mendengar Talang Bercerita”, dan “Aku dan Telaga Dewi”. Judul-judul puisi ini sangat bernuansa alam.
Puisi “Danau Singkarak” terasa sangat hidup menggambarkan suasana kehidupan di sekitar Danau Singkarak. Ada kerang pensi, ikan endemik bilih, jaring jala untuk menangkap ikan, kereta api pengangkut bara, dan riak-riak danau yang berkecamuk dalam gejolak kegundahan aku lirik. Rozi menulis ‘Derak kulit pensi terpijak, menandakan rindu nan pecah./ Igau si pencari pensi nan terlampau oleh sebab garis pantai kian ke dalam./ Ah, payah. Payah sekarang./ Apung jala meriap disapu pelan riak,/ Sampan dan Mak Itam tampak menyatu seperti kenyataan yang penuh tanya./ Ikan bilih payah!// Lengang./ Selengang-lengangnya./ Pikiranku lengang, maksudnya.’
Keluhan payah dan lengang mencerminkan tekanan perasaan yang disebabkan ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Perasaan lengang biasanya muncul tidak mutlak disebabkan karena keadaan yang sepi tidak ada orang lain. Namun, bisa juga disebabkan karena tidak hadirnya seseorang yang diharapkan ada di dekat kita, atau bisa juga karena ketidakcocokan ide dengan orang-orang lain di sekitar yang mengakibatkan seseorang harus berjalan sendirian tanpa mendapat dukungan. Apalagi Rozi menulis ‘pikiranku lengang’, ini memperkuat kesan kesepian idealisme tersebut.
Selain menulis puisi tentang danau, Rozi juga menulis tentang gunung; kali ini ada tiga gunung yang muncul, yakni Gunung Kerinci, Gunung Talang, dan Gunung Singgalang, yang diwakili oleh Telaga Dewi. Gunung adalah objek yang sangat diakrabi pecinta alam. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang tangguh secara fisik dan psikis karena mesti berhadapan dengan medan yang menantang. Rozi menuliskan peristiwa pendakian gunung dengan alur narasi yang melompat-lompat; pendaki mendengar lagu, lalu minum kopi, kemudian begitu hujan turun, dia pun menulis. Apakah ini representasi diri penyair? Serbuan ide membuat larik-larik menjadi kurang utuh dan padat. Gaya bahasa yang cenderung berlebih-lebihan di beberapa bagian sebenarnya memberi sensasi ketika dibaca, memberi kejutan, namun mengganggu relevansi antarbaris. Pembaca yang kurang dekat dengan medan tema pendakian gunung barangkali akan kesulitan memasuki imaji Rozi ini ‘Pendaki gunung memutar lagu favoritnya/ Terdengar ranum tumpahan kopinya/ Setelah beberapa menit bias rinai mendekap Bumi Kincai./ Kaupun jengahi kesibukan menghabiskan tinta sekapal dan geretak punggung nan lurus tanpa ruas.// Hai,/ Apa kabar, Kerinci?/ Tuan dan Puan berseringak napas,/ Jantung berpukul teguh dan linting kretek nan sombong diselip jemari./ Menanjaki./ Apapun, sampai berpatah lenganpun rindu menjadi undang-undang perjalanan/ Alasan terdalam, sedalam Danau Gunung Tujuh’.
Sejumlah diksi terkesan nyentrik membentuk struktur yang tak biasa. Gaya ini seperti telah menjadi format puisi Rozi. Rangkaian kata yang lazimnya tidak bertemu namun dicoba padukan, seperti bait ‘Beberapa potret terbidik mencari beberapa onar dan benar./ Tak peduli ia sedang tinggi di sini./ Sampai di mana obrolan Talang dan didengar, kah?/ Sebenar-benar seorang tuan dalam kembara sunyi saja nan meresapi pilu raung Talang./ Sebenar-benar pejalan nan terpicu lagu bahwa gunung tak punya rasa.’ Bisa jadi enak bila dinyanyikan dengan irama rap.
Secara umum, sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi utama sebagaimana dikemukakan oleh Horatius dalam bahasa Latin, yaitu dulce et utile (sweet and useful). Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan atau kenikmatan, sedangkan utile (useful) berarti isinya bersifat mendidik (Mikics, 2007:95). Bressler (1999:12) menyebut dua fungsi tersebut dengan istilah to teach ‘mengajar’ dan to entertain ‘menghibur’. Fungsi menghibur (dulce) artinya sastra memberikan kesenangan tersendiri dalam diri pembaca sehingga pembaca merasa tertarik membaca sastra. Fungsi mengajar (utile) artinya sastra memberikan nasihat dan penanaman etika sehingga pembaca dapat meneladani hal-hal positif dalam karya sastra. Sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia sehingga dapat lebih mengenal diri, sesama manusia, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan (Sarumpaet, 2010:1).
Harapan dari membaca puisi-puisi Rozi tentang alam, pembaca lebih peduli dengan lingkungan sekitar, lebih terpanggil untuk merawat alam sebab kelestarian alam sangat penting bagi kehidupan; ‘Apa kabar, Telaga Dewi? Serumpun amarahku melesatkan berjilid-jilid majas,/ Seumpama seorang tua nan terpasung napsu kafein : serta mulia setelah menyambangimu/ Bergerai pohon-pohon tropis, lumut-lumut hijau, kabut tipis dan itu alasan rindu’. Kerinduan alam dalam puisi ini, mudah-mudahan juga bermuara pada rindu semesta yang permai lagi damai. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post