Cerpen: Nayla Annakamiko
Dear Myself …
All failures and disappointments will make you stronger.
Therefore, don’t be afraid.
Pikiran Alyana berkecamuk ketika melihat sebuah link yang dikirim oleh teman sekelasnya. Itu bukan sesuatu yang menakutkan seharusnya. Tetapi, Alyana sudah lebih dulu overthinking. Pasalnya, yang dikirim tersebut adalah tautan untuk bergabung ke grup WA Matematika Wajib. Alyana merasa sangat mual. Guru Matematika Wajib di kelasnya, setahu Alyana bukanlah seseorang yang akan mengabari melalui WA kecuali sesuatu yang mendesak.
Satu hal mendesak yang terpikirkan oleh Alyana sehingga guru matematika wajib membuat grup WA adalah nilai ujian. Baru beberapa hari lalu mereka selesai menghadapi ujian matematika wajib. Alyana mau tak mau bergabung ke dalam grup tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Semoga saja hal yang paling ditakutkannya tidak terjadi. Hanya saja, Alyana tahu harapan itu sia-sia belaka.
Bagaimana tidak?
Alyana terlampau frustasi setelah menghadapi matematika. Satu jam untuk tiga pulu soal. Dua menit untuk satu soal. Sayangnya, kemampuan gadis itu tidak sehebat itu. Alyana tidak bisa berpikir jernih ketika diburu waktu. Bahkan, ia sempat berpikir mungkin akan lebih baik jika ujian menggunakan kertas dan pensil karena setidaknya dengan kertas dan pensil, kekurangan waktu pun masih bisa sedikit ditawar. Atau setidaknya … Bisa diisi melalui firasat saja. Belum lagi, menggunakan aplikasi sangat lemot.
Dari sekian banyak hal, apa yang membuat Alyana begitu takut pada hasil ujian matematika?
Satu, gadis itu hanya mengisi 21 soal dari 30 soal. Jika benar semua, nilainya hanya mencapai 70. Sayangnya segera setelah ujian berakhir Alyana menyadari sebuah kesalahan, ia benar-benar yakin setidaknya ceroboh mengisi satu soal. Bukan mustahil Alyana lebih ceroboh dari itu. Jika begitu, sudah dapat dipastikan nilainya di bawah kkm.
Dua, Alyana selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk. Belajar dari kelas 9, ia tahu kalau nilai harian mungkin akan mempengaruhi karena setidaknya guru matematika pasti menyadari bahwa kemampuannya memadai dan hanya kekurangan waktu. Masalahnya, ini Ujian Mid dan yang akan diisikan adalah nilai asli. Alyana tidak bisa membayangkan betapa kecewanya orang tuanya atau kemungkinan nilai ini akan menjatuhkan semua yang telah dia bangun dengan susah payah.
Ketiga, di hari yang sama sebelum ujian dimulai, Alyana belajar bersama dengan teman-temannya dan mereka memintanya mengajarkan. Kini, gadis itu merasa semua tidak ada artinya. Pujian-pujian yang pernah dilontarkan tentang dirinya yang pintar matematika kini membebaninya dan kalau boleh jujur, Alyana merasa hal tersebut justru akan menjadi bumerang yang akan berbalik menyerangnya.
Keempat, Alyana takut dengan tanggapan guru matematikanya. Terakhir, dia takut pada dirinya sendiri. Pada dirinya yang telah berusaha namun nyatanya hanya sebatas itu kemampuannya. Sejak dulu, kelemahannya selalu saja waktu. Ia belum pernah menemukan solusi untuk itu.
Perasaan takut itu menghantui Alyana berhari-hari. See? Alyana mencemaskan sesuatu yang terkadang menurut sebagian orang tidak penting. Ada orang yang dengan entengnya tersenyum pasrah pada hasil, tetapi Alyana bukan tipe seperti itu.
Alyana takut.
Ia benar-benar takut.
“Terkadang, orang pintar merasa mampu melakukan segalanya. Namun, rasa percaya diri itu mampu membuat jatuh ke dalam kegagalan,” -Akabane Karma.
Bahkan, kutipan singkat yang awalnya ditempel di buku pelajaran sebagai pengingat, kini menghantuinya.
Benar, mungkin rasa percaya diri tinggi yang membuatku jatuh ke dalam kegagalan. Aku percaya aku bisa melakukannya, namun aku justru tersandung oleh waktu. Batin Alyana, tetapi bukankah justru sebaliknya.
Dua per tiga jam menjelang ujian dihabiskannya untuk matematika. Sementara itu, pelajaran lainnya justru terabaikan atau justru karena dirinya benar-benar fokus pada matematika. Kejadian hari itu menyadarkan Alyana bahwa meskipun matematika adalah bidang yang dikuasai dan disukainya, tetapi tidak boleh bergantung hanya pada itu. Ada pelajaran lain yang harus diperhatikan juga. Ada pelajaran lain yang harus diperjuangkan sama kerasnya.
Akan tetapi, jika tidak begitu, di mana letak keunggulan Alyana?
Alyana paham kelemahannya. Dia paham tidak akan bisa unggul dalam fisika atau kimia. Jika bukan matematika, di mana keunggulannya? Apa senjata terbaiknya untuk menjadi yang nomor satu?
Alyana benar-benar takut hingga dia tidak bisa fokus pada apa pun.
Mungkin belum pernah Alyana merasa setakut ini karena ujian.
Alyana menatap soal-soal yang terpampang jelas di layar ponselnya. Masalah matematika saja, bahkan belum selesai. Kini masalah baru timbul. Sebelumnya, ujian fisika tidak ada bedanya dengan matematika. Lagi-lagi, masalahnya ada pada waktu. Satu jam untuk 30 soal fisika yang kaya akan rumus dan angka-angka yang rumit. Lagi-lagi, hanya 21 soal yang Alyana isi. Itu berarti 9 lainnya kosong dan di antara 21 soal pun tidak mungkin betul semua. Lagi-lagi, aplikasi ujian bermasalah dan sangat lemot sehingga membuat Alyana frustasi.
Lagi-lagi, lagi, dan lagi.
Berapa kali lagi aku harus frustasi dengan ujian seperti ini? Batin Alyana.
Tatapan gadis itu terasa kosong. Pikirannya kosong. Ia tidak ingat apa pun lagi tentang materi sejarah. Pikirannya sudah terlalu frustasi akibat matematika dan fisika. Mungkin jika diingat-ingat lagi hanya sekitar lima belas soal yang Alyana yakin tahu jawabannya.
Alyana membenamkan dirinya ke dalam bantal. Baru beberapa menit yang lalu, ayah, ibu, dan adiknya berangkat. Tinggallah Alyana sendiri. Ia ujian shift siang.
Come on, Al. Kamu masih ada ujian nanti … Lupakan dulu yang kemarin …
Berapa kali pun ia berusaha, pikiran mengerikan tentang hasil ujian itu tidak menghilang dari benaknya. Tanpa sadar, air mata Alyana mengalir.
Perasaan apa ini? Kapan terakhir kali air mata Alyana mengalir untuk hal-hal seperti ini? Seharusnya, ambisi Alyana akan menjadi yang terbaik sudah menghilang sejak masa Putih Biru. Sejak ia mengetahui betapa kotornya manipulasi nilai dalam ujian yang sesungguhnya. Atau sejak ia sadar bahwa nilai itu seolah tidak ada artinya lagi.
Nyatanya tekad penuh ambisi itu masih tersisa.
Rasanya seperti mengulang masa lalu, masa di mana jantung Alyana masih berdegup kencang menjelang penerimaan rapor. Bedanya, saat ini mereka bahkan belum selesai ujian.
“Al, tenangkan dirimu,” suara lembut itu menembus indra pendengaran Alyana.
“An? Kamu datang?” gumam Alyana. Ia menatap sosok gadis yang begitu mirip dirinya.
Alyana menghapus air matanya dan mencoba mengembangkan senyum meski sulit. Gadis itu mengomel pada An dengan suara serak.
“Dasar! Aku tanya pun jawabanmu tetap sama. Jadi, aku tidak akan bertanya bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku. Setidaknya jangan mengagetkanku! Aku sendirian di rumah tahu!”
Dirinya yang dulu mungkin akan menganggap hal-hal berbau supranatural seperti ini sesuatu yang mengerikan, tetapi sejak pertemuan pertamanya dengan gadis ini, An, yang kalau dipikir-pikir mirip dengan film horor Kilometer 99 yang pernah tayang di salah satu chanel televisi dulu, Alyana selalu menganggap bertemu dengan An mungkin hanyalah halusinasi belaka ataupun sebuah mimpi yang begitu terasa nyata.
Lagipula, An itu bukan hantu mengerikan seperti di film-film horor. Kalau diingat-ingat lagi, pertemuan pertama mereka tidak begitu mirip dengan film tersebut. Satu-satunya hal supranatural yang berhubungan dengan An adalah, gadis itu selalu dapat menemukan Alyana kapanpun dan di mana pun.
“Ternyata Al takut hantu juga ya,” ujar An sembari tertawa kecil.
“Tidak tuh. Setidaknya rasa takutku terhadap penerimaan rapor lebih besar dibanding rasa takut pada hantu,” ujar Alyana pelan sembari membelakangi An dan berpura-pura fokus pada ponselnya.
Sejenak suasana sunyi.
“Kenapa diam?” tanya Alyana.
“Kamu sendiri? Tidak mau cerita, apa masalanya? Kupikir kamu tidak terlalu peduli lagi tentang menjadi yang terbaik ataupun tentang meninggikan nilai. Bukankah hal-hal seperti itu seolah fatamorgana?” ujar An.
Alyana menggeleng.
“Aku muak dengan tes. Aku tidak mau lagi tes untuk masuk perguruan tinggi,” jawabnya.
“Aku tidak yakin itu alasannya karena di samping cita-cita utamamu, kamu masih punya mimpi lain yang hanya bisa terwujud jika cita-cita utamamu tidak tercapai, kan?” kata An.
Alyana menghela napas, “Kamu tidak akan mengerti, An. Aku tidak bisa menceritakan apa pun karena itu tinggalkan aku. Aku butuh sendiri untuk menenangkan diri,”
“Tidak masalah, kalau tidak mau cerita. Aku tahu segalanya dan aku paham tentang apa yang kamu rasakan,” ujar An.
“Bohong!” tandas Alyana.
“Terserah, Al. Kamu sendiri juga berbohong,” kata An.
“Apanya?” balas Alyana cuek.
“Kamu bukan tipe yang menenangkan diri dengan sendiri. Ada kalanya kamu butuh orang lain untuk menenangkanmu dan itu adalah saat ini,” kata An.
“Kamu sok tahu!” kata Alyana. Lagi-lagi suaranya serak. An berinisiatif memeluk Alyana layaknya seorang saudara.
“Menangis saja. Aku yakin kamu tidak memberitahu semua beban ini pada siapapun kan? Karena tidak akan ada yang mengerti,” kata An.
Memang benar. Memangnya masalah sepele seperti ini bisa dibagi pada siapa? Pada Mama dan Papa? Tidak mungkin! Pada adiknya? Percuma! Pada teman-temannya? Semua menganggap hal itu sekedar candaan.
“Bahkan, diriku pun … hiks … tidak mengerti kenapa sesuatu seperti ini … hiks … menjadi sebuah beban,” ujar Alyana disela isaknya.
“Karena itu aku di sini,” kata An.
An menghapus air mata Alyana.
“Dengarkan aku, Al,”
“Rasa takut akan kegagalan ataupun rasa kecewa pada diri sendiri itu memiliki dua akhir, Al. Keputusasaan yang mendalam atau terlahir kembali menjadi lebih kuat,” ujar An.
“Perasaan seperti itu normal, Al, tetapi kamu harus ingat jangan sampai menempuh jalan yang salah setelahnya,” lanjut An.
“Aku tidak ingin kamu jatuh ke dalam jurang keputusasaan. Aku percaya padamu, Al. Aku ingin percaya semua rasa takut dan rasa kecewamu itu akan membuatmu menjadi lebih kuat. Kamu akan terlahir kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik,” An mengakhiri nasihat panjangnya.
Kedua gadis itu kini menoleh ke arah jam. Sudah pukul 12 lewat. Sejenak kemudian, suara adzan berkumandang. Alyana sudah mulai mengendalikan dirinya. Benar, masih ada hal lain yang harus diperjuangkan. Tidak boleh terpaku pada satu hal saja.
“Sudah waktunya kamu bersiap-siap ke sekolah, Al. Berjuanglah untuk ujian hari ini,” ujar An.
Alyana mengangguk. Gadis itu beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka sekalian berwudhu. Ketika Alyana keluar dari kamar mandi, An sudah tidak ada. Alyana hanya tersenyum simpul. Meskipun masih menjadi misteri bagaiman An bisa datang dan pergi begitu saja, tapi tidak masalah.
Setidaknya kali ini pun An membantu Alyana lagi.
Kali ini Alyana tidak akan takut lagi. Hadapi saja.
Jika gagal, mungkin saja akan menjadi pengalaman berarti yang tak akan bisa Alyana lupakan. Lalu seperti kata An, rasa takut dan rasa kecewa itu akan merubah Alyana menjadi lebih kuat.