Bahasa sangat penting bagi kehidupan manusia untuk bisa berinteraksi atau berkomunikasi dengan individu lainnya. Sifat bahasa yang dinamis dan konvensional membuat bahasa itu membentuk polanya sendiri berdasarkan penggunaannya di tengah masyarakat. Akibatnya, ada perbedaan antara bahasa yang digunakan dalam situasi formal dan situasi tidak formal. Bahasa dalam situasi tidak formal ini, seperti percakapan sehari-hari yang tidak resmi.
Pada situasi tersebut, pengguna bahasa sering kali tidak memperhatikan kaidah atau tata bahasa yang berlaku, bahkan juga tidak mementingkan kata baku dan tidak baku ketika berkomunikasi. Oleh sebab itu, percakapan sehari-sehari lebih berfokus pada berhasilnya sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang komunikator kepada komunikan secara efektif.
Ada beberapa perbedaan bahasa yang digunakan dalam situasi formal dan tidak formal. Pertama, perbedaan diksi. Salah satu contohnya diksi yang digunakan dalam situasi formal adalah kata sangat dan diksi yang digunakan dalam situasi tidak formal adalah kata banget. Kedua, struktur kalimat. Pada situasi tidak formal, pengguna bahasa cenderung tidak memperhatikan struktur kalimat yang teratur, seperti kalimat Besok saya tidak dating atau Saya tidak datang besok atau Tidak datang saya besok atau Saya besok tidak datang. Secara umum, pesan yang ada dalam kalimat tersebut masih bisa dipahami oleh komunikan. Ketiga, adanya penghilangan bagian kata, frasa, atau kalimat, seperti kata tetapi menjadi tapi, bagaimana menjadi gimana, sudah menjadi udah, saja menjadi aja, dan sebagainya. Begitupun di dalam kalimat Dia pergi ke pasar menjadi Dia ke pasar. Penghilangan bagian ini juga berlaku untuk kata-kata yang berimbuhan, terutama pada awalan me-.
Awalah me- adalah imbuhan aktif yang penggunaannya cukup sering di dalam bahasa Indonesia. Awalan me- yang digabungkan dengan kata dasar memiliki banyak makna, yaitu melakukan aktivitas (seperti membaca, menulis, dan sebagainya), menggunakan alat (seperti menggergaji, menyetrika, dan sebagainya), menghasilkan barang atau sesuatu hal seperti kata dasarnya (seperti menggaris, menggambar, dan sebagainya), bekerja dengan menggunakan bahan seperti kata dasarnya (seperti mengecat), mengonsumsi—termasuk makan, minum, isap (seperti memakan, meminum, merokok, dan sebagainya), menuju suatu tempat atau arah (seperti mendarat, melaut, dan sebagainya), menjadi sesuatu yang sesuai dengan kata dasarnya (seperti mematung, memutih, menggelap, dan sebagainya), dan meniru suara (seperti mengeong, menggongong, dan sebagainya).
Awalan me- ini juga memiliki 6 bentuk alomorf yang berbeda sesuai dengan huruf pertama kata dasar yang mengikutinya. Alomorf dari awalan me- adalah me-, mem-, men-, meny-, meng-, dan menge-. Alomorf me- untuk kata dasar yang huruf pertamanya m, n, ny, ng, l, r, w, dan y (memakan, menanti, manyanyi, dan sebagainya). Alomorf mem- untuk kata dasar yang huruf pertamanya b, f, p, dan v (membuka, memfoto, dan sebagainya). Alomorf men- untuk kata dasar yang huruf pertamanya c, d, j, dan t (mencari, mendata, menjual, dan sebagainya.Alomorf meny- untuk kata dasar yang huruf pertamanya s. Alomorf meng- untuk kata dasar yang huruf pertamanya a,i, u, e, o, g, h, dan k (mengangkat, mengikat, mengulang, mengeja, mengolah, menghilang, dsb). Alomorf menge- untuk kata dasar yang hanya 1 suku kata seperti kata cat, tes, cek, pel, lap, cap, bom, dan sebagainya.
Penggunaan awalan me- ini cukup unik ketika diikuti dengan kata dasar yang huruf pertamanya k, t, s, dan p. Kata dasar yang huruf pertamanya k menggunakan alomorf meng-, huruf pertama t menggunakan alomorf men-, huruf pertama s menggunakan alomorf menye-, dan huruf pertama p menggunakan alomorf mem-. Akan tetapi, huruf-huruf tersebut akan hilang (sebagian ahli bahasa menyebutnya lebur, lesap, atau luluh) ketika ditambah dengan awalan me-. Contoh katanya adalah mengeras bukan mengkeras (huruf k luluh), menutup (huruf tluluh) bukan mentutup, menyapa bukan menyapa (huruf sluluh), dan memakai bukan mempakai (huruf pluluh). Akan tetapi, kaidah semacam ini juga memiliki beberapa ketentuan. Pertama, huruf k, t, s, dan p tidak akan luluh jika hanya 1 suku kata, seperti mengetes (huruf t tetap ada), mengepel (huruf p tetap ada), dan sebagainya. Kedua, huruf k, t, s, dan p tidak akan luluh jika ada konsonan kedua setelah huruf tersebut, seperti mengkritik, mentransfer, mentraktir, mensyaratkan, memproses, memproduksi, dan sebagainya.
Kembali pada pembahasan mengenai bahasa formal dan tidak formal, salah satu perbedaannya adalah penghilangan beberapa bagian dari suatu kata, frasa, atau kalimat, yang pada tulisan ini hanya fokus kepada awalan me- yang digabungkan dengan kata dasar yang huruf pertamanya k, t, s, dan p. Dalam percakapan sehari-hari, kalimat Ayah meminum kopi bisa dituturkan dengan Ayah minum kopi. Awalan me- pada kata minum menjadi hilang. Hal ini biasa terjadi di dalam percakapan sehari-hari, termasuk huruf k, t, s, dan p. Akan tetapi, untuk kata dasar selain 4 huruf tersebut, tidak akan mengalami perubahan kata ketika awalan me- hilang. Ini berbeda dengan huruf k, t, s, dan p. Konsep yang ada di dalam percakapan sehari-hari yang menghilangkan awalan me-, tidak mengembalikan kata-kata dasar dengan huruf k, t, s, dan p ke bentuk aslinya. Contoh pertama adalah huruf k. Kata mengopi memiliki makna ‘meminum kopi’ atau ‘menyalin (meniru sesuai dengan bentuk aslinya)’.Kata dasarnya adalah kopi yang sudah luluh sehingga menjadi mengopi. Dalam percakapan sehari-hari, awalan me- akan hilang sehingga yang tersisa hanya ngopi. Kita sering sekali mendengar tuturan Ayo kita ngopi di sana!Kata ngopi tidak kembali ke bentuk asalnya yaitu, kopi.Begitu juga dengan kata-kata seperti mengerjakan menjadi ngerjain tidak kembali ke bentuk kata dasarnya yaitu kerja. Hal ini juga terjadi dengan kata-kata kipas (mengipas) menjadi ngipas, titip (menitip) menjadi nitip, tanya (menanya) menjadi nanya, satu (menyatu) menjadi nyatu,pasang (memasang) menjadi masang, pakai (memakai) menjadi makai, tukar (menukar) menjadi nukar, tambah (menambah) menjadi nambah, setrika (menyetrika) menjadi nyetrika, dan sebagainya. Oleh sebab itu, di dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar kata-kata seperti ini.Ini adalah bentuk perubahan luluhnya huruf k, t, s, dan p, setelah ditambah dengan awalan me- dan dituturkan secara tidak formal.
Fenomena ini, ternyata mempengaruhi beberapa kata yang secara kaidahnya cukup sulit untuk ditemukan sistem penggunaannya. Di dalam percakapan sehari-hari, kita kemudian mendengar kata-kata ngantor yang bermakna ‘pergi ke kentor’ meskipun kata mengantor tidak baku (tidak ada di dalam KBBI). Kemudian, ada kata ngampus yang bermakna ‘pergi ke kampus’. Selanjutnya, dalam penggunaan pola yang sama kita kemudian mengenal kata nyalon yang dimaknai ‘mencalonkan diri’. Kata ini sering terdengar pada saat-saat pemilihan anggota legislatif, seperti dalam kalimat Pak Budi nyalon. Sesungguhnya kata nyalon tersebut bisa hadir karena ada kata salon. Hal ini sama dengan kasus kata ngantor dan ngampus. Kata nyalon tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi digunakan oleh masyarakat. Kata nyalon ini memiliki kata dasar calon kemudian berubah menjadi nyalon karena ada persamaan bunyi dengan kata salon. Hal serupa juga terjadi dengan kata nyuci. Di dalam tuturan, ada kalimat Ibu lagi nyuci di belakang. Kata nyuci dianggap sama dengan mencuci. Padahal sesungguhnya, menyuci(kan) memiliki kata dasar suci bukan cuci karena huruf c menggunakan alomorf men-, bukan meny- sehingga ketika ada kata menyucikan, sudah pasti kata dasarnya adalah suci karena ada huruf s yang luluh. Ini terjadi karena adanya kemiripan bunyi antara suci dan cuci. Kata nyalon dan nyuci berbanding terbalik dengan kata nyontek. Kata nyontek berasal dari proses gramatikal menyontek dengan kata dasar sontek yang kemudian dianggap sama dengan kata contek. Oleh sebab itu, ketika ada kata salat, banyak orang Indonesia yang masih bingung ketika menambah awalan me-. Apakah akan menjadi menyalatkan atau mensholatkan. Apakah konsonan di awal kata itu hanya satu atau dua. Di dalam KBBI, kata bakunya adalah salat (bukan sholat, solat, atau shalat). Ketika ditambah dengan awalan me-, bentuk bakunya akan menjadi menyalatkan. Lalu, mengapa kita tidak pernah mendengar kata nyalat dalam percakapan sehari-hari? Hal ini disebabkan karena masih banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa kata tersebut adalah shalat atau sholat. Jadi, tuturan tidak formal yang digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah dengan cara menghilangkan imbuhan, termasuk awalan me-. Akan tetapi, kebiasaan ini ternyata membentuk kata-kata baru yang tidak kembali ke bentuk asalnya, yang terjadi pada kata dasar berhuruf pertama k, t, s, dan p. Sesungguhnya, memang cukup sulit untuk menemukan kaidah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari karena salah satu sifat bahasa itu adalah arbitrer.
Discussion about this post