
Padang, Scientia.id – Lintang sudah tidak memberikan respons. Ayah dan bundanya sudah menangis sambil memegang tangan anaknya. Kakek Lintang sudah mengabari keluarga via WA dan telpon. Mohon doa agar Lintang segera sadar. Kami yang berada di rumah, berkali-kali berdoa agar Lintang yang masih berusia enam tahun ini segera bangun.
Dalam pemeriksaan beberapa tahun terakhir, dokter mendiagnosis Lintang terkena asma. Penyakit turunan dari orang tuanya. Namun, kondisi tubuh Lintang memang sangat lemah sejak kecil. Dalam sebulan, Lintang bisa beberapa kali ke dokter, bahkan beberapa kali ke rumah sakit. Konon katanya, Lintang memang tidak diberikan imunisasi.
Saat ini edukasi mengenai imunisasi memang beragam. Orang tua generasi 1950—1970-an, mewajibkan anak-anaknya mendapatkan imunisasi. Namun, orang tua muda, generasi 1980—2000-an, yang kini rata-rata sudah menamatkan studi S-1, banyak yang memilih tidak memberikan imunisasi. Alasannya ada yang subjektif, seperti tidak tega melihat tubuh kecil mereka disuntik; hingga alasan objektif karena sudah membaca banyak artikel yang menyatakan bahwa imunisasi tidak wajib, yang kadang didukung dengan pemberitaan dan kasus anak-anak meninggal dunia setelah imunisasi. Keluarga Lintang meyakini kedua alasan tersebut karena sudah ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia setelah seminggu melaksanakan imunisasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Bahasa, 2025), imunisasi merupakan upaya pengebalan (terhadap penyakit) melalui penyuntikan vaksin agar tubuh membuat antibodi untuk mencegah penyakit tertentu. Banyak kemungkinan penyakit yang dapat dihindari. Misalnya, agar tidak tertular campak, tidak terkena difteri, tidak lumpuh permanen karena mendapat imunisasi polio, luka yang dialami tidak menjadi infeksi parah karena mendapatkan imunisasi tetanus, serta terhindar dari batuk rejan ‘batuk yang keras dan menular pada anak-anak yang berusia 2–6 tahun’.
Hal ini amat berbanding terbalik dengan anak-anak yang tidak imunisasi. Mereka bisa terkena radang paru-paru. Anak-anak yang terkena difteri bisa mengalami sesak nafas dan gagal jantung. Sementara itu, yang tidak polio, bisa tidak berjalan seumur hidup; yang terkena tetanus, bisa mengalami kejang otot dan sulit bernapas; dan yang terkena batuk rejan, bisa mengalami henti nafas. Risiko terberat dari semua penyakit tersebut adalah kematian.
Paparan risiko yang dikemukakan oleh Kementerian Kesehatan, juga oleh Unicef (United Nations Children’s Fund) yang fokus pada perlindungan terhadap anak-anak di dunia, masih belum mampu mengubah cara berpikir orang-orang tua muda yang sudah terlanjur meyakini bahwa imunisasi itu tidak penting. Padahal, kematian anak-anak pasca seminggu imunisasi bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, anak-anak memiliki penyakit bawaan atau infeksi lain yang tidak terdeteksi atau waktu yang kebetulan yang berdekatan, padahal penyebabnya bukan karena imunisasi.
Dalam istilah medis, kondisi ini disebut dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). WHO dan Unicef sudah menyatakan bahwa kematian akibat vaksin sangat kecil atau hampir mencapai nol. Orang tua yang curiga dan merasa kematian anak karena vaksin, sesungguhnya dapat mengajukan investigasi menyeluruh (bahkan autopsi) untuk mencari penyebab, apakah benar anak mereka meninggal karena vaksin. Prosedur ini merupakan rangkaian medis yang boleh dilakukan agar tidak menyebabkan kesalahpahaman terhadap tim medis dan dunia kesehatan.
Dari kasus-kasus yang pernah terjadi, penyebab kematian anak pasca seminggu operasi adalah infeksi berat, seperti sepsis ‘adanya mikroorganisme atau racunnya dalam jaringan atau aliran darah’ dan pneumonia ‘penyakit radang paru-paru’; masalah jantung dan neurologis bawaan, serta gizi buruk berat. Artinya, vaksin bukan menjadi penyebab kematian seorang anak pasca-imunisasi.
Bagaimana jika anak-anak sudah terlanjur tidak mendapatkan imunisasi hingga usianya lebih dari lima tahun? Padahal, masa seorang anak mendapatkan imunisasi secara lengkap adalah saat usia kurang dari lima tahun. Sebenarnya orang tua tidak perlu khawatir. Mereka masih bisa memberikan imunisasi.
Slogannya, Ke Kote, Jangan Tunda! alias Kejar, Konsultasi, Tes, Jangan Tunda lagi!
Anak-anak bisa mendapatkan catch-up immunization atau imunisasi kejar, yaitu program khusus bagi anak yang sudah terlewat masa pemberian vaksin. Beberapa vaksin bisa disesuaikan, seperti pemberian DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) hingga usia remaja; campak-rubela hingga usia sekolah; hepatitis B dan polio dengan jadwal khusus tergantung usia anak sekarang; serta HPV (human papillomavirus) untuk anak usia 9 tahun ke atas, khususnya anak perempuan untuk pencegahan kanker serviks.
Caranya, orang tua harus segera konsultasi ke dokter atau puskesmas. Dokter akan membuatkan jadwal imunisasi berdasarkan usia dan kondisi kesehatan anak. Jika orang tua ragu, apakah anak pernah mendapatkan atau belum, bisa mengajukan tes antibodi (serologi).
Ingat, yang terpenting, Jangan tunda lagi! Semakin cepat anak mendapatkan imunisasi, akan semakin baik. Memberi imunisasi bukan sekadar melindungi anak sendiri, tapi dapat membentuk kekebalan lingkungan sosial karena imunisasi dapat memutus mata rantai penyebaran penyakit menular, seperti diare, campak, dan radang paru-paru.
Mengenai Lintang, saat ini kondisinya sudah membaik. Lintang segera siuman setelah mendapat perawatan medis. Melalui edukasi imunisasi tadi, orang tua Lintang, kerabat kami, pelan-pelan sudah membangun kepercayaan bahwa imunisasi itu penting. Imunisasi sesungguhnya bukan untuk Lintang saja, tetapi juga untuk membangun kekebalan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang kebal akan membantu anak-anak terhindar dari kejadian luar biasa (KLB), yaitu kondisi meledaknya suatu penyakit di suatu daerah karena kurangnya imunisasi di tempat tersebut. Lintang dan teman-temannya berhak mendapatkan perlindungan kesehatan melalui imunisasi. (Ram)