Baganti jo Kain Hitam
Karya: Athifaleaa
Di tengah udara yang hangat, di sebuah desa di Minangkabau, kehidupan terasa penuh suka cita. Suara talempong terdengar bergema mengiringi tarian randai, menyambut sebuah acara besar, acara yang dinanti nanti –hari baralek gadang, pesta pernikahan yang meriah. Semua persiapan telah sempurna, semua orang didesa telah berkumpul, sanak saudara pulang ke kampung ikut menyambut kebahagiaan yang akan segera dimulai. Namun, bagi seorang gadis bernama Nabila, hari itu bukanlah hari yang penuh kebahagiaan seperti yang diharapkannya.
Nabila berdiri dibalik tirai, mengenakan pakaian adat pengantin berwarna merah yang begitu indah, dipenuhi sulaman benang emas dan manik manik yang berkilauan. Ia memandang keluar, kea rah keramaian yang menggembirakan. Semuanya tampak sempurna—semuanya, kecuali hatinya yang terasa kosong.
Ia tahu, harusnya hari ini menjadi hari bahagianya bersama sang kekasih, Akbar. Tapi entah mengapa hatinya terasa sangat tidak enak pagi hari ini. Acara akan dimulai sebentar lagi. Orang orang makin sibuk dengan persiapan acara. Salah satu sahabat Nabila masuk ke dalam kamar, memanggilnya untuk bersiap karena sebentar lagi Akbar akan tiba dan acara akan segera dimulai.
Nabila hanya mengangguk mengiyakan. Hatinya terasa makin tak enak, ketakutan terbesit dihatinya “ada ap ini…?” tanyanya dalam hati, ia hanya diam menatap keramaian yang justru terasa kosong di depannya, menunggu Akbar datang.
Tiba tiba, keramaian yang semula mendadak menjadi sunyi, ketukan ketukan talempong berhenti, menyisakan sunyi, seorang kerabat datang tergopoh gopoh dengan wajah cemas membawa sebuah berita besar, meminta izin untuk masuk ke kamar pengantin menemui Nabila yang sudah siap dengan pakaian pengantin dan suntiang dikepalanya.
“ada apa? Apa seseuatu terjadi di luar, Da? “ tanya Nabila pada kerabat yang datang membawa berita. Sahabat sahabat dekat Nabila mendekat, memeluk Nabila, membuatnya bingung. “ada apa?” tanya Nabila, hatinya makin tak enak.
“Akbar pergi, Nabila….” ucap laki laki itu pilu. Membuat Nabila terkejut, ia menatap kedua sahabatnya yang kini memeluk lengannya sambil menahan tangis. “maksudnya? Kemana Uda Akbar?” tanya Nabila dengan suara bergetar.
“Akbar kecelakaan saat menuju kesini tadi…” ucap Siti, sahabat Nabila.
Nabila menggelengkan kepalanya, membuat sunting berwarna kuning emas dikepalanya bergoyang. “tidak..tidak mungkin…” tubuh Nabila nyaris luruh ke lantai, kedua sahabatnya berusaha membantu menopang Nabila yang sedang terguncang hatinya. Nabila merasa seluruh dunia runtuh dihadapannya. Ia terdiam, tak tau harus berbuat apa. Pakaian pengantin yang seharusnya dikenakannya dengan kebahagiaan kini terasa begitu berat, menjadi symbol kehilangan yang mendalam. Tangan marisa gemetar menyentuh kain hitam yang kini menggantikan pakaian pengantin ditubuhya. Hari yang harusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan dan menjadi perayaan penting dalam hidupnya, berubah menjadi hari yang penuh dengan ratap tangis.
Di alek gadang yang semual akan diisi dengan tawa bahagia, kini terdengar suara ratap tangis yang memilukan. Nabila berdiri, menatap pelaminan yang kini kosong, tempat dimana seharunya ia duduk bersanding dengan Akbar. Semuanya telah berubah menjadi sebuah upacara pemakaman, bukan lagi perayaan cinta. Para tamu yang semula mengenakan pakaian indah, kini mulai berkumpul dengan wajah muram, tak mampu menyembunyikan kesedihan mereka. Mereka semua datang dengan niat untuk merayakan cinta, namun yang mereka temui adalah perpisahan yang mendalam.
“bapisah kito…sabalun basanding…” suara Nabila terdengar lirih menyanyikan sepotong bait dari sebuah lagu, kata kata itu keluar begitu berat dari bibirnya, Akbar telah pergi, ia harus menerima kenyataan pahit ini.
Dengan Langkah gemetar, Nabila melangkah menuju tengah rumah, tempat orang orang berkumpul melingkari jasad Akbar yang terbujur kaku, setiap langkahnya terasa semakin lemah, tubuhnya tak sanggup menahan rasa sakit yang begitu mendalam. Tubuhnya seaakan mati rasa, ia sudah tak punya kekuatan untuk melangkah.
“Uda…bangun…” bisik Nabila lirih.
Nabila menatap wajah Akbar yang tenang, matanya terpejam rapat, tak akan pernah terbuka lagi. Satu satunya yang ia pikirkan sekarang hanyalah Akbar, wajahnya yang penuh harapan, senyuman manis yang selalu menghiasi wajahnya. Namun kini senyum itu telah hilang, tak akan pernah ia lihat lagi. Tangan Akbar yang dulu menggenggamnya hangat, kini terlipat kaku, menjadi kenangan yang tak bisa ia raih Kembali. Ia merasakan cinta mereka yang indah berubah menjadi kenangan yang tak akan pernah terwujud.
Kain hitam yang kini membalut tubuhnya terasa seperti ikatan tak kasat mata, membuat Nabila sesak. Semua yang sudah direncanakan kini berubah menjadi upacara pemakaman yang tak terduga. Para kerabat yang semula datang ingin merayakan cinta, kini hanya bisa terdiam mengiringi Akbar menuju pemakamannya.
Nabila terdiam dalam bayang bayang Akbar, tenggelam dalam bayangan sebuah acara arak arakan yang harusnya mereka jalani bersama, berjalan mengelilingi kampung dengan senyuman, musik tradisional yang mengalun menambah kemeriahan. Tapi sekarang ia justru berjalan beriringan dengan Akbar menuju pemakaman, bukan mengelilingi kampung seperti yang selama ini ia harapkan.
“bapisah kito…” bisik Nabila lirih, ia sudah tak mampu membendung tangisnya, ia menangis tersedu sedu menatap jasad Akbar yang mulai diturunkan ke liang lahat. “bapisah…sabalun basanding…” bisiknya lagi. Sahabat sahabatnya memeluk erat, memberi kekuatan, “sabar, Nab…” bisik Maya pada Nabila yang bergetar karena isak tangis, tak kuasa melihat tubuh Akbar mulai dikuburkan.
Dengan Langkah semakin goyah, Nabila melangkah menjauh dari keramaian. Tubuhnya terasa lemah, setiap Langkah terasa semakin berat, namun hatinya terasa semakin hampa. Ia tahu, taka da lagi yang bisa merubah semua kenyataan pahit ini. Akbar telah pergi, dan ia harus menghadapinya seorang diri. Sebelumia merasakan manisnya cinta, ia harus merasakan pahitnya kesedihan karena perpisahan dengan Akbar. Di alek gadang yang semula penuh kebahagiaan itu, kini hanya ada ratap tangih yang menyelimuti.
Dan di saat Nabila menatap makam Akbar, ia tahu, bahwa perpisahan ini adalah takdir yang harus ia terima. Namun, cinta untuk Akbar takkan pernah padam. Seperti dendang yang terus bergema, kenangan tentang cinta mereka akan terus hidup, meskipun raga mereka telah dipisahkan oleh alam yang berbeda. (*)
Tentang Penulis
Azalea Athifatul Azima, biasanya lebih dikenal dengan nama pena Athifalea adalah seorang siswi SMA IT ICBS Payakumbuh, lahir pada tanggal 03 Desember 2007. Kepingan Puzzle Yang Hilang merupakan cerpen pertama yang berhasil diselesaikan pada umur ketujuh belas tahun. Jika ingin mengenal lebih jauh tentang penulis silahkan menghampiri sosial media @athifalea
Tempelan Kearifan Lokal dalam Cerpen Baganti jo Kain Hitam
Oleh: M. Adioska
(Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Kearifan lokal adalah sumber inspirasi yang sangat kaya untuk menciptakan karya sastra yang unik dan autentik. Dengan menggali kearifan lokal, kita dapat menciptakan karya yang memiliki identitas dan karakteristik yang kuat. (Ayu Utami, 2017, Sastra dan Kearifan Lokal)
Nilai-nilai budaya, tradisi, serta cara hidup yang diwariskan turun-temurun bisa menjadi bahan cerita yang menarik, menciptakan latar, tema, dan karakter yang unik. Dengan menggali lebih dalam kearifan lokal, seorang penulis dapat menghadirkan kisah yang mencerminkan identitas suatu daerah sekaligus memperluas wawasan pembaca tentang kehidupan sosial dan filosofi masyarakatnya. Contohnya, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tradisi ronggeng menjadi elemen penting yang membentuk karakter dan konflik dalam cerita. Begitu juga dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka, budaya Minangkabau yang kental dengan adat istiadatnya memperkuat nuansa cerita.
Selain memperkaya cerita, kearifan lokal juga berperan penting dalam menjaga budaya di tengah arus globalisasi. Seperti yang dikatakan oleh Quaritch Wales dalam The Making of Greater India (1974), budaya yang memiliki kearifan lokal mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Dalam sastra, hal ini membuat cerita tetap relevan dan menarik bagi pembaca dari berbagai generasi. Banyak kisah rakyat seperti Lutung Kasarung atau Malin Kundang yang sarat akan pesan moral dan masih memiliki makna dalam kehidupan saat ini.
Keunikan sebuah karya sastra juga semakin menonjol saat kearifan lokal dipadukan dengan bahasa, ungkapan khas, dan simbol budaya yang melekat di dalamnya. Hal ini memberikan warna yang khas dibandingkan karya yang hanya mengandalkan imajinasi tanpa akar budaya yang kuat. Contohnya, dalam Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, tradisi dan bahasa Minangkabau menjadi unsur penting yang memperkuat karakter dan cerita. Dengan demikian, kearifan lokal bukan sekadar inspirasi, tetapi juga elemen kunci dalam menciptakan karya sastra yang tidak hanya unik dan autentik, tetapi juga memiliki makna mendalam dan mampu melestarikan budaya.
Pada ulasan kali ini, kreatika akan membahas cerita pendek dengan judul Baganti Jo Kain Hitam karya Athifaleaa. Cerpen ini mengisahkan tragedi memilukan yang terjadi di tengah kebahagiaan. Di sebuah desa Minangkabau, suasana pesta pernikahan yang meriah berubah drastis menjadi lautan duka bagi Nabila, sang pengantin perempuan. Seharusnya hari itu menjadi momen bahagianya bersama Akbar, kekasih yang akan ia nikahi. Namun, firasat buruk yang ia rasakan sejak pagi terbukti ketika kabar mengejutkan datang—Akbar mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju acara pernikahan mereka.
Kegembiraan berubah menjadi kesedihan mendalam. Nabila, yang sebelumnya mengenakan pakaian pengantin berwarna merah dengan suntiang megah di kepalanya, kini harus menggantinya dengan kain hitam, simbol kehilangan yang tak terelakkan. Acara yang seharusnya penuh dengan tawa dan suka cita berubah menjadi upacara pemakaman. Semua tamu yang datang untuk merayakan pernikahan kini berkumpul dengan wajah muram, menyaksikan kepergian Akbar untuk selamanya.
Nabila tak kuasa menahan tangis saat melihat jasad Akbar terbujur kaku, semua kenangan tentang kebersamaan mereka seketika menjadi bayangan yang menyakitkan. Dengan langkah lemah, ia mengikuti prosesi pemakaman, berjalan bukan sebagai pengantin yang diarak keliling kampung, melainkan sebagai seseorang yang harus merelakan orang yang dicintainya pergi selamanya. Di hadapan makam Akbar, Nabila menyadari bahwa meski mereka harus berpisah sebelum bersanding, cinta dan kenangannya bersama Akbar akan tetap hidup dalam hatinya.
Secara umum, cerpen Baganti jo Kain Hitam menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu, memungkinkan pembaca untuk tidak hanya memahami emosi yang dialami Nabila, tetapi juga menangkap konteks yang lebih luas dari peristiwa yang terjadi. Alur cerita berkembang secara bertahap, dimulai dengan penggambaran suasana penuh kebahagiaan sebelum akhirnya berujung pada tragedi yang mengguncang kehidupan tokoh utama. Penulis memperkaya narasi dengan melibatkan detail visual dan simbolis, seperti suntiang dan talempong, yang tidak hanya memberikan nuansa estetika tetapi juga memperkokoh identitas budaya dalam cerita. Teknik repetisi, seperti dalam ungkapan “bapisah kito… sabalun basanding…”, juga berperan dalam mempertegas nuansa kehilangan yang mendalam serta memperkuat efek dramatik dalam cerita.
Dari segi tema, kisah berupa kematian calon mempelai sebelum hari pernikahannya dengan segala penyebabbya sudah banyak dinukil oleh pengarang sebelumnya, baik oleh penulis terkenal maupun pemula. Sebut saja cerpen Malam Sebelum Pernikahan oleh Arswendo Atmowiloto (1979), cerpen Pernikahan yang Tidak Terwujud oleh Motinggo Busye (1982), Kisah Cinta yang tak Terwujud oleh Dewi Lestari (2004), dan banyak cerita lainnya. Dari kenyataan tersebut, mengangkat cerita dengan tema yang sama akan memberikan tantangan baru bagi penulis untuk menawarkan alternatif pilihan serta menawarkan nilai keunggulan yang lain dalam ceritanya.
Terkait dengan hal tersebut, cerpen Baganti jo Kain Hitam tampaknya berupaya menonjolkan kearifan lokal sebagai nilai tambah dalam ceritanya. Cerpen ini dengan jelas menyajikan suasana adat Minangkabau dalam latar dan bahasa. Namun disisi lain, masih kurang dalam mengeksplorasi nilai-nilai kearifan lokal yang lebih dalam. Penanda kearifan lokal yang dimunculkan pada kisah ini baru sebatas penggunaan istilah Minangkabau, seperti talempong, baralek gadang, suntiang dan istilah lainnya. Sebab bagaimanapun, sebuah acara pernikahan dari setiap daerah di negeri ini pasti memiliki ciri khas tertentu dengan nama yang beragam pula. Maka yang menjadi kearifan lokal yang sesungguhnya bukan istilah adat dan bukan nama asesoris yang digunakan, tetapi lebih kepada nilai filosofi yang terkandung pada setiap ritualnya.
Elemen-elemen berupa nama atau istrilah adat Minangkabau tersebut lebih banyak berperan sebagai latar belakang cerita, bukan sebagai inti yang memperkuat pesan moral atau sosial khas budaya Minangkabau. Upacara pernikahan hanya digambarkan sebagai acara besar tanpa menjelaskan bagaimana adat Minang memperlakukan konsep pernikahan sebagai simbol kesatuan dua keluarga besar.
Sebagai alternatif, dalam pernikahan adat Minangkabau contohnya, ada banyak ritual yang bisa digambarkan, seperti malam bainai (malam sebelum pernikahan untuk memberi restu pada pengantin wanita) atau prosesi arak-arakan yang lebih dari sekadar perjalanan simbolis. Jika salah satu tahapan ini digambarkan lebih mendalam, cerpen ini bisa lebih mencerminkan nilai budaya yang lebih kuat tanpa harus mencantumkan secara eksplisit kepada pembaca bahwa cerita ini terjadi di Minangkabau; “Di tengah udara yang hangat, disebuah desa di Minangkabau, kehidupan terasa penuh suka cita”
Barangkali beberapa cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan unsur kearifan lokal dalam cerpen ini agar kesan kearifan lokalnya tidak hanya tempelan adalah menggali lebih dalam nilai adat Minangkabau, bukan hanya mengganti istilah bahasa Indonesia ke dalam bahasa Minang, menampilkan adat dan filosofi Minangkabau secara lebih eksplisit, misalnya bagaimana keluarga dan masyarakat menghadapi tragedi ini dalam perspektif adat dan memasukkan interaksi sosial yang lebih khas Minangkabau, seperti peran niniak mamak, bundo kanduang, atau tokoh masyarakat dalam menghadapi peristiwa ini.
Merangkum ulasan diatas, cerpen Baganti Jo Kain Hitam diceritakan dengan bahasa dan narasi yang baik. Cerpen ini menawarakan kearifan lokal sebagai unsur pendukung ceritanya, meskipun pada pengembangannya kearifan lokal yang dimaksud baru berupa penggunaan atau penggantian istilah tanpa menyentuh nilai filosofi tentang kearifan lokal itu sendiri.
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com