Oleh: Nada Aprila Kurnia, Nadia Mustika P. Faathir Tora U., Septia Rahmi, Natasya Yuli P.
(Mahasiswa Kelas Stilistika Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Gaya bahasa (style) menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa untuk menghadapi situasi tertentu (Keraf, 2019). Majas merupakan salah bentuk dari gaya bahasa yang digunakan oleh penulis atau penyair dalam karya sastra. Penggunaan majas dalam puisi sangat penting karena dapat memperindah dan memperkuat makna yang ingin disampaikan oleh penyair. Majas yang sering digunakan dalam puisi di antaranya adalah majas sarkasme. Majas sarkasme merupakan gaya bahasa yang mengandung sindiran tajam dengan maksud menyampaikan kritik atau ketidakpuasan terhadap suatu hal.
Salah satu buku kumpulan puisi yang banyak mengandung majas sarkasme adalah buku Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba. Buku ini merupakan kumpulan puisi karya Hardi Abu Rafa yang dikenal dengan nama asli Prof. dr. Hardisman. Buku yang terbit pada tahun 2022 oleh Penerbit Bintang Semesta Media, Yogyakarta merupakan buku seri ketiga dari buku sebelumnya Tafakur 1 terbit pada tahun 2012 dan Tafakur 2 terbit pada tahun 2016. Buku Tafakur ini merupakan perenungan atas ayat-ayat ilahiyah yang tersurat dan tersirat. Beberapa puisi di dalamnya menyebutkan ayat dan surat dalam Al Quran yang menjadi sumber rujukan.
Ada 66 puisi yang dibagi menjadi empat bagian dalam buku Tafakur 3. Bagian I tentang tauhid dan spiritualisme, bagian II tentang cinta dan kasih sayang, bagian III tentang nasionalisme kebangsaan, dan bagian IV tentang motivasi dan kritik sosial. Di antara puisi-puisi tersebut, beberapa puisi mengandung majas sarkasme, seperti Senandung Para Hipokrit; Jumud yang Mematikan; Hati yang Berpenyakit; Mulutmu Terkunci; Islamku; Sunnah Basa Basi; Komentator Agama; Mendorong Mobil Mogok; Indonesiaku; dan Kita Satu.
Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani, yaitu sarkasmos. Lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berati “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan”. Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya, sedangkan sinisme diartikan sebagai suatu sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sarkasme merupakan suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat bersifat ironis, tapi dapat juga tidak. Jelasnya, gaya bahasa ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar (Keraf, 2019).
Dalam buku Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba karya Hardi Abu Rafa n majas sarkasme digunakan untuk menggambarkan kritik sosial. Penyair mampu membuat emosional pembaca merasa dimainkan ketika membacanya. Berikut puisi-puisi yang mengandung sarkasme dalam buku tersebut. Puisi Senandung Para Hipokrit
Tersebar berita di media kini,
bintang tersohor di negeri ini,
tontonan mesum yang tidak terpuji,
wanita cantik yang dipanggil polisi,
lalu, tanpa tau fakta yang terjadi,
Kau hujat dia berkali-kali,
sumpah serapah pun kau bagi-bagi,
bahkan kau kutip ayat suci,
seolah yang kau lakukan tuk memperbaiki.
Mungkin kau lupa dakwah yang murni,
yang penuh hikmah dan akal budi,
inilah agama Islam yang hakiki,
kata yang bijak tidak menghakimi,
namun mengajak dan memperbaiki.
Namun diam-diam punya cerita,
hanya batin mu yang tahu ini rahasia,
dia yang kau hujat di berbagai media,
zina yang haram tempatnya neraka,
namun krasak-krusuk kau cari tontonannya,
kau nikmati sendiri apa yang kau hina,
bahkan kau simpan sebagai koleksi rahasia.
Lain lagi ceritamu dulu,
terlihat menangis kau tersedu,
sedih kau terlihat pilu, gundah wajah yang sendu,
seakan kebaikan ada di wajah mu,
namun hanya topeng pemuas nafsu.
Melihat saudara sakit yang tertimpa malang,
sembunyi-sembunyi kau bertepuk senang,
melihat kawan seolah pecundang,
lalu di dalam badan kau tertawa riang,
dalam diri kau melonjak girang,
karena kau merasa jadi pemenang,
paling hebat dan tidak terhalang
Pada puisi Senandung Para Hipokrit, majas sarkasme digunakan untuk menyindir sifat orang-orang yang suka menghakimi orang lain dengan alasan untuk kebaikan padahal dirinya sendiri belum tentu lebih baik, seperti larik berikut: kau hujat dia berkali-kali/sumpah serapah pun kau bagi-bagi, bahkan kau kutip ayat suci/seolah yang kau lakukan tuk memperbaiki.
Penyair menggunakan kata seolah yang menandakan bahwa tindakan menghujat dan juga mengutip ayat suci sebenarnya bukan bertujuan untuk memperbaiki, melainkan menghakimi dan mencaci maki. Cara seperti itu dilakukan oleh orang-orang yang penuh dengan kemunafikan atau hipokrit, terutama mereka yang tampil dengan citra religius dan bermoral tinggi. Dalam diamnya, mereka justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka serukan. Puisi lain yang mengandung sarkasme adalah Jumud yang Mematikan
Mengetahui kisah dari satu arah, lalu bersikukuh dengannya, kadang jauh lebih berbahaya daripada tidak mengetahui apa-apa.
Mendengar cerita dari satu sumber berita, lalu tidak mau mendengar sudut pandang berbeda, melahirkan keangkuhan semata, berlagak paling ahli ketika bicara, padahal yang terlihat hanya kebodohan yang nyata.
Membaca satu berita, mendengar kisah dari satu arah, lalu merasa paling benar sejagad daya, ibarat memasak rendang yang ada hanya kelapa, tanpa bumbu dan rempah-rempah, lalu berkoar rendangnya paling enak sedunia.
Puisi Jumud yang Mematikan menyindir orang-orang yang tertutup pikirannya terhadap hal lain dan kesombongannya yang lahir dari informasi sepihak. Bait kedua, yaitu pada larik berlagak paling ahli ketika bicara, padahal yang terlihat hanya kebodohan yang nyata. Mereka merasa paling benar dengan hanya berlandaskan informasi terbatas. Mereka yang menganggap dirinya ahli, tapi justru menunjukkan kebodohan yang sebenarnya. Penyair menyoroti bagaimana kebodohan yang sesungguhnya justru datang dari mereka yang merasa dirinya paling tahu.
Puisi Hati yang Berpenyakit mengkritik seseorang yang mudah menilai orang lain, tetapi tidak pernah mencoba untuk introspeksi diri. Bait pertama pada larik lalu kau hanya butuh dua-tiga menit melihat kekurangan padanya melakat, bahkan dari penampilan nya, kau memfonis orang itu ahli maksiat. Penyair menyindir orang-orang yang hanya butuh waktu sebentar untuk menilai dan menghakimi seseorang dari penampilan luarnya. Ini mengecam orang sok suci yang merasa paling baik dari orang lain, padahal bisa jadi orang yang dihakimi itu lebih baik daripada yang menghakimi. Penyair juga menggambarkan hati yang sakit dalam puisi ini sebagai keadaan seseorang yang sibuk mencari kesalahan orang lain sambil mencari pembenaran atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri.
Puisi Mulutmu Terkunci menggunakan sarkasme pada larik Meski mulut dihimpit berlapis sumbatan, dan semua yang zalim akan dimusnahkan, merupakan sebagai alat untuk kritik sosial bagi mereka yang tahu akan kebenaran, tetapi memilih diam karena terikat jabatan, imbalan, atau tekanan dari atasan. Penyair dengan tegas menyindir orang-orang yang tampil di depan publik dengan berani, tetapi sebenarnya hanyalah pengecut dalam membela kebenaran. Meskipun tahu mana yang benar dan salah, mereka tetap bungkam demi menjaga kepentingannya. Puisi ini menyiratkan bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap juga. Nurani yang terus memberontak akan menemukan jalannya. Mereka yang berbuat zalim akan mendapat balasan.
Puisi Islamku juga mengandung sarkasme, terutama pada larik manjadi angkuh dalam mazhab-mazhab muncul riya dan syirik dalam lembaga, menyindir dengan tajam tentang lembaga-lembaga keagamaan yang bisa berubah menjadi ajang kesombongan bahkan menyekutukan Tuhan. Puisi ini menegaskan bahwa Islam bukan hanya sekadar identitas kelembagaan, tetapi juga ketundukan hati dan jiwa kepada Allah. Penyair mengkritik orang-orang yang terlalu sibuk memperdebatkan kelompok mahzab sendiri sehingga melupakan keihklasan beribadah dan hubungan langsung dengan Allah SWT.
Puisi Sunnah Basa Basi menyoroti sikap sebagian orang yang hanya mementingkan nafsu syahwat dalam beribadah. Seolah-olah itu adalah satu-satunya sunnah yang perlu dilakukan. Padahal, ada ibadah lain, seperti membaca Al-Qur’an yang bisa dilakukan. Sarkasme pada larik Tetapi kau hanya sibuk dengan urusan syahwat saja dan padahal berdalih dengan tanpa ilmu dan hujjah, hanya nafsu syahwat yang ada di kepala. Penyair menegaskan pemahaman agama yang sempit dan hanya mementingkan sunnah berkaitan dengan kesenangan pribadi sehingga mengabaikan sunnah lain yang jauh lebih bermanfaat.
Puisi Mendorong Mobil Mogok juga mengandung majas sarkasme pada bait kedua, yaitu pada larik tak perlu budi yang penting banyak yang suka, tak perlu prestasi yang penting jadi juara. Melalui larik ini, penyair menyindir sistem pemilihan pemimpin yang tidak lagi berdasarkan moral, kebijaksanaan, ataupun prestasi, melainkan hanya pada popularitas semata. Hal ini menunjukkan bahwa calon pemimpin tidak perlu memiliki etika yang baik asalkan mampu menarik perhatian dan simpati masyarakat. Sarkasme dalam puisi ini adalah kritik terhadap kemenangan dalam pemilu yang lebih ditentukan oleh strategi pencitraan daripada kualitas kepemimpinan.
Selain itu, bait ketiga pada larik demi terpilih kadang perlu mencari muka juga mengandung majas sarkasme karena menyindir praktik politik ketika calon pemimpin rela melakukan tindakan tertentu demi mendapatkan dukungan. Mencari muka dapat diartikan tindakan menjilat, berpura-pura baik, atau membangun citra demi kepentingan pribadi. Artinya, calon pemimpin tidak benar-benar tulus dalam mendekati rakyat, tapi hanya berusaha untuk mendapatkan suaranya saja.
Demikian beberapa puisi yang mengandung majas sarkasme dalam puisi Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba karya Hardi Abu Rafa yang dapat kita jadikan pembelajaran dalam kehidupan. Penulis menyampaikan kritik terhadap berbagai praktik sosial yang menyimpang. Puisi yang mengandung sarkasme bertujuan untuk memberi kesadaran kepaada pembaca terhadap hal-hal yang tidak benar dalam kehidupan. Sejatinya, kehadiran puisi bukan hanya untuk dinikmati, melainkan juga untuk memperkaya hati.