Senin, 16/6/25 | 17:31 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Refleksi Pemikiran Hamka dalam Karya Fiksinya

Minggu, 21/7/24 | 10:19 WIB

Oleh: Armini Arbain
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)


Pengantar

Membicarakan karya fiksi Hamka, berarti mengkaji dunia pengalaman dan pemikiran Hamka yang tergambar di dalamnya. Seorang pengarang tidak hanya menyajikan kehidupan, tetapi juga intuisi dan tafsirannya tentang kehidupan. Terkait dengan ini,  Said (1994, 23-24) berpendapat bahwa  karya sastra yang ditulis oleh seorang pengarang selain merupakan sebuah imaginasi kreatif atau interpretatif, juga merupakan  bahagian dari kebudayaan dan imperium. Pengarang sangat terlibat dengan sejarah mereka, membentuk dan dibentuk oleh sejarah serta pengalaman sosial mereka dengan kadar yang berbeda-beda.

BACAJUGA

Cerpen Lelaki Tampan yang Membawaku Pergi

Cerpen Lelaki Tampan yang Membawaku Pergi

Minggu, 20/10/24 | 16:56 WIB
Luka Hati

Luka Hati

Minggu, 28/7/24 | 09:37 WIB

Pendapat Said di atas juga berlaku dalam kepengarangan Hamka. Hamka merupakan  putra Minangkabau yang telah berlanglangbuana ke berbagai daerah di Indonesia dan juga ke negara lain, namun secara kultural, Hamka tidak bisa dipisahkan dari lingkungan Ranah Minang. Minangkabau yang memiliki sistem kekerabatan yang unik yakni mengambil keturunan dari garis ibu atau yang disebut dengan sistem Matilineal memberikan segudang inspirasi bagi Hamka dalam malahirkan karya fiksinya. Secara umum, karya fiksi yang dikarang Hamka mengambil alam Minangkabau dengan segala problematika yang dialami masyarakatnya.

Hamka dapat dikatakan sebagai manusia yang multi talenta. Menurut Ahmad Syafei Maarif dalam kata pengantar buku Adicerita Hamka:Visi Islam Sang penulis Besar untuk Indonesia (2017: x) Lima kualitas yang dimiliki Hamka yakni, sebagai pengarang, pemikir, sastrawan, sejarawan publik, dan mufasir (ahli tafsir) menyatu dalam pribadi Hamka. Artinya, seorang Hamka tidak saja sebagai seorang sastrawan namun juga sebagai pemikir, penulis, mufasir dan sekaligus sejarawan.

Penyatuan lima kualitas seperti  di atas tentu saling mengisi satu sama lain. Dengan demikian, ketika Hamka mengarang novel, kualitas dirinya sebagai pemikir. penulis, mufasir  dan sejarawan akan terakumulasi ke dalam karya fiksinya. Jadi, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam karya fiksi Hamka terlihat sejumlah pemikiran yang bernas dan sangat bermanfaat pada pembaca sehingga karya fiksi Hamka memiliki unsur didaktis yang diperlukan masyarakat. Dengan demikian, dari sudut pandang ini dapat dipastikan bahwa dalam karya fiksi Hamka terdapat sejumlah pemikiran yang bernas.

Hamka mulai menulis karya fiksi sejak tahun 1928. Namun karya pertama yang berjudul si Sabariyah ini ditulis dalam bahasa Minangkabau. Karya fiksi pertama dalam Bahasa Indonesia diterbitkan  pada tahun 1936 yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (selanjutnya ditulis DBLK). Pada tahun berikutnya lahirlah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, (selanjutnya ditulis TKV). Tahun 1939 terbit novel Dijemput Mamaknya 1930 (selanjutnya ditulis DM)  dan Keadilan Ilahi (selanjutnya ditulis KI). Tahun 1940 terbit Merantau ke Deli (selanjutnya ditulis MkD)  dan Terusir. Semua karya ini memiliki latar tempat dan budaya Minangkabau dan latar waktu pada zaman penjajahan.

 Refleksi Pemikiran Hamka  dalam Karya Fiksinya

Keenam karya fiksi di atas menganbil latar budaya  Minangkabau. Namun demikian, peroalan yang diangkat dalam cerita tersebut mencerminkan hal yang terkait pada masalah nasionalisme, diskriminasi, dan eksistensi perempuan. Dari karya fiksi Hamka tersebut  terlihat sejumlah pemikiran Hamka. Pemikiran tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial kehidupan Hamka. Sejatinya, semua pemikiran tersebut tertuang dalam sejumlah karya tulisnya yakni dalam Tasauf Modern, Kenang-Kenangan Hidup, Ayahku, dan lain-lain. Sementara pemikiran Hamka yang terekspresi ke dalam karya fiksinya adalah sebagai berikut:

1. Nasionalisme

Karya fiksi Hamka di atas ditulis pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Sejak awal abad ke xx, bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa  perlu persatuan dalam usaha mengusir penjajahan Belanda. Hal inilah yang mengelorakan semangat nasionalisme para pemuda ketika itu, termasuk Hamka. Puncak dari perjuangan tersebut melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi tiga ikrar pata tanggal 28 oktober  1928.

Terkait dengan rasa nasionalisme yang dimiliki Hamka, mulai muncul ketika ia telah mengembara meninggalkan kampungnya. Menurut Syarif ( dalam Noer, 2001: 65) Semula Hamka sangat mengagung-agungkan daerah dan adat Minangkabau, namun setelah ia mengembara dan memiliki kematangan,  Hamka mulai mengeritik adat Minangkabau. Dapat dikatakan bahwa terdapat keseimbangan dalam diri Hamka antara kebanggaan terhadap kampungnya dengan menghargai daerah atau suku lain. Hal inilah yang memumculkan rasa nasionalisme dalam diri Hamka.

Dalam kondisi demikian, semangat nasionalisme juga mendorong Hamka untuk mempersatukan bangsanya. Realitas sosial yang menginginkan persatuan antaretnis di Indonesia dilahirkan Hamka melalui karya fiksinya dengan cara  mempertemukan tokoh-tokoh dalam ikatan perkawinan dan pencintaan. Walaupun Hamka mengambil latar cerita Minangkabau namun dalam karya-karyanya, Hamka tetap mengelorakan semangat nasionalisme.

Hamka mengelorakan semangat nasionalisme tersebut dengan cara mempersatukan tokoh-tokoh yang berasal dari etnis yang berbeda dalam sebuah perkawinan. Perkawian antara Leman (Minang) dan Poniem (Jawa) dalam dalam MKD,  tokoh Azhar (Minang) dan Mariah (Sunda) dalam novel Terusir, Hubungan Percintaan antara Hayati (Minang) dan Zainuddin ( ibu Makasar dan ayahnya orang Minang) dalam TKV.

Mempertemukan dua anak manusia dari etnis yang berbeda ini memperlihatkan pemikiran Hamka bahwa walaupun manusia dilahirkan dari etnis atau suku yang berbeda namun mereka bisa saja menjalin hubungan. Artinya, tidak ada diskrimanasi antara satu etnis dengan etnis lainnya. Semua etnis tersebut sama. Hal ini sebagai bentuk keinginan Hamka untuk mewujudkan rasa kebhinekaan, berbeda tapi tetap satu. Semula pasangan tersebut bahagia. Namun, setelah pihak keluarga besar (Minang) mencampuri hubungan tersebut, semuanya menjadi kandas.

Untuk menegaskan pentingnya  rasa  Nasionalisme itu, Hamka dengan sengaja membuat hubungan yang telah terjalin itu kandas. Kandasnya hubungan tersebut karena ada pengaruh atau dorongan dari pihak keluarga jadi bukan dari keinginan mereka. Ketiga pasangan di atas sengaja dibuat sengsara dan kemudian berpisah. Setelah berpisah muncul penyesalan. Penyesalan itu muncul dalam diri tokoh yang memutuskan hubungan yakni tokoh Leman, Azhar, dan Hayati.

Pasangan Leman dan Poniem dalam MkD, bercerai karena ada hasutan dari keluarga Leman. Keluarga Leman membujuk Leman, agar Leman menikah lagi dengan gadis kampungnya. Keluarga mengatakan bahwa Leman dianggap belum menikah jika belum menikah dengan orang kampungnya. Permintaaan tersebut diterima Leman tanpa berpikir panjang. Lemanpun bersedia menikahi Mariatun, gadis yang berasal dari kampungnya. Akibatnya pernikahan kedua tersebut tentu berdampak pada istri pertamanya. Hubungan antara Leman dan Poniem menjadi rusak sehingga menimbulkan konflik dan akhirnya mereka bercerai. Beberapa tahun setelah perceraian itu, muncul rasa penyesalan yang mendalam pada diri Leman sehingga ia minta maaf pada Poniem. Sebagai hukuman pada Leman yang telah mengkhianati perkawinan dengan Poniem, Leman menjandi miskin dan menderita seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

“Sebaliknya, bagi Leman dia datang ke stasiun tidaklah sebagai datangnya ketika dia pulang  di zaman yang sudah-sudah. Barangnya yang sedikit, dia sendiri yang mengagkat. Mukanya muram saja. Mariatun agak pucat. Leher anaknya penuh biring keringat.” (MKD, 1984: 156)

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Leman dibuat menjadi sengsara, sementara Poniem yang dikhianati Leman digambarkan bahagia setelah menikah Jono.

Selanjutnya dalam novel Terusir, rumah tangga antara Azhar dan Mariah yang semula bahagia dan telah mereka arungi selama sepuluh tahun juga kandas karena fitnahan dari orang tua Azhar. Tanpa menyelidiki permasalahan yang sebenarya, Azhar juga lansung mengusir istrinya dan sekaligus menceraikan Mariah. Cerita diawali dengan sebuah surat yang dikirimkan Mariah pada suaminya, Azhar, agar suaminya menyelidiki fitnahan tersebut. Mariah juga menuliskan perasaan sedihnya ketika malam itu diusir oleh suaminya, Ia harus meninggalkan rumah, termasuk meninggalkan buah hatinya Sofyan (Terusir, 2007: 1-7).

Isi surat tersebut tidak digubris oleh Azhar karena ia termakan hasutan ibunya. Azhar merasa dikhinati oleh istrinya. Ia mendapati istrinya sedang berdua dengan lelaki lain di kamar tidurnya. Azhar sangat marah. Azhar tidak mengetahui bahwa peristiwa tersebut telah direncanakan oleh ibu dan adiknya. Hal ini dilakukan ibunya karena ia tidak merestui perkawinan Azhar dan Mariah seperti yang terlihat dalam nasehat tokoh Abdul Halim pada Azhar dalam kutipan berikut ini:

“Kalau itu bukan kesalahannya, lambat- laun akan kelihatan juga, sehingga engkau ketahui bahwa orang itu masuk ke dalam kamarmu atas suruhan orang lain yang benci akan perhubungan dengan istrimu. Engkau harus tahu, bahwa kaum kita masih rendah budinya, dan amat busuk tipu dayanya. Saya sendiripun pernah dibuat orang begitu, istriku dtuduh mencuri cincinnya, lalu disampaikan padaku dengan bukti yang “cukup” syukurlah aku tidak mempercayai kata-kata mereka. Bertahun-tahun saya selidiki apa benarkah istriku seorang yang “cepat tangan” tangan, kiranya fitnah semata. ” ( Terusir, 2007: 11).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pihak keluarga laki-laki  (Minang) tidak menyetujui perkawinan putra mereka dengan perempuan di luar etnis mereka. Berbagai cara dilakukan oleh keluarga laki-laki agar anaknya menceraikan istrinya yang bukan berasal dari Minangkabau.

Azhar yang telah terlanjur mengusir dan menceraikan istrinya dikemudian hari menyesali keputusannya, dan ingin mencari istrinya kembali namun ketika kesadaran itu muncul, Mariah sudah tidak ada di kota itu dan Azharpun tidak bisa menemukan Mariah. Sebagai rasa penyesalan, sampai tua, Azhar tidak menikah lagi. Ia bertemu dengan Mariah ketika putranya sudah dewasa dan menjadi pengacara seorang mantan pelacur dan ternyata pelacur yang dibela Syofyan tersebut adalah Mariah, ibu kandung Syofyan. Azhar meninggal dalam penyesalan telah mengusir istrinya.

Selanjutnya, dalam novel TKV diceritakan hubungan percintaan Hayati dan Zainuddin juga kandas karena keluarga Hayati tidak mau menerima pinangan Zainuddin. Laki-laki yang hanya sebagai anak pisang di Minang ( Ayahnya lelaki Minang, namun ibunya dari etnis Bugis). Keluarga Hayati menerima pinangan Azis (Minang) untuk suami Hayati.  Ternyata dalam perjalanan perkawinan mereka, Azis tidak dapat membahagiakan Hayati dan kemudian Aziz bunuh diri. Sementara di lubuk hati Hayati, ia masih mencintai Zainuddin. Ia masih berharap bisa membina perkawinan dengan Zainuddin. Hayati amat menderita, cintanya pada  Zainuddin tidak pernah padam.

Dari gambatan di atas terlihat bahwa perkawinan atau percintaan tokoh antara dua etnis tersebut kandas. Penyebab kandasnya  hubungan tersebut bukan karena keinginan mereka melainkan disebabkan keluarga besar mereka (dalam hal ini dari etnis Minang) yang  menganggap bahwa perkawinan antara orang Minang dengan mereka yang berasal dari etnis lain tidak semestinya terjadi. Mereka menganggap bahwa negeri mereka yakni Negeri Minangkabau adalah negeri yang beradat  Hal ini menunjukkan bahwa rasa nasionalisme yang dimiliki oleh keluarga Minangkabau dalam cerita Hamka ini tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.

Untuk memperlihatkan pemikiran Hamka tentang ketidaksetujuannya terhadap sikap tokoh  yang demikian, Hamka menghukum tokoh-tokoh yang telah memutuskan perkawinan dan hubungan percintaan tersebut. Tokoh Leman, Azhar, dan Hayati, menjalani kehidupan dalam sebuah penyesalan sehingga hidup mereka menderita.

Rasa sesal yang dialami tokoh ini merupakan gambaran bahwa mereka yang anti terhadap rasa nasionalisme akan mengalami penyesalan sepanjang hayatnya. Artinya, menurut pemikiran Hamka, setiap manusia di bumi Nusantara ini harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Jika diteliti lebih jauh, di samping mengelorakan semangat nasionalisme, sebenarnya Hamka mengamalkan atau menerapkan ajaran agama Islam. Dalam Alquran surat Al Hujarat ayat 13 dijelaskan bahwa manusia memang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan mereka harus saling mengenal.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang diekspresikan Hamka dalam karya fiksinya bertalian dengan semangat nasionalisme. Hamka  mengkritisi masyarakat yakni masyarakat Minangkabau  yang  menganggap bahwa etnisnya adalah etnis yang memiliki adat yang tinggi. Anggapan terlihat dalam hal perkawinan. Menurut orang Minang perkawinan antara dua etnis adalah perkawinan yang tidak ideal. Navis ( 1984: 195) mengatakan bahwa perkawinan dengan perempuan  luar dipandang sebagai perkawinan yang akan bisa merusak struktur adat mereka. Oleh karena itu, perkawinan dengan orang di luar etnis Minangkabau tidak direstui keluarga.

2. Diskriminasi

Sesuai dengan latar belakang sosiologis kehidupan Hamka sebagai seorang mufasir, Hamka memahami sekali bahwa dalam Al Quran dilarang membeda-bedakan manusia.  Dalam Al Quran dijelaskan bahwa kedudukan semua manusia sama dihadapan Allah, hanya takwa terhadap Allah yang membedakan mereka. (Quran al Hujarat, 14 )

Berdasarkan pada ajaran al Quran tersebut, Hamka mengkritisi kondisi masyarakat  Minangkabau yang masih banyak memandang manusia dari harta. Tokoh Hamid dalam DB LK, Musa dalam DM, Adnan dalam KI dan Zainuddin dalam TKV. merupakan tokoh yang miskin sehingga dalam pergaulan keseharian mereka sering mendapat perlakuan yang tidak semestinya, sering direndahkan dan diremehkan sehingga mereka tidak mampu  memperjuangkan cinta mereka.

Tokoh Hamid Dalam DLK, tidak mau menyatakan cintanya pada Zainab apalagi untuk meminang Zainab pada keluarga Zainab karena ia merasa tidak pantas bersanding dengan Zainab. Walaupun ia mengetahui kalau Zainab menaruh hati padanya. Kemiskinanlah yang membuat ia menahan diri melamar Zainab. Akibatnya, Hamid memendam perasaannya dan pergi jauh meninggalkan Zainab. Di depan Ka’bah ia bersimpuh mencurahkan segala perasaanya pada Allah.

Berbeda dengan sikap tokoh Hamid, tokoh Musa dalam DM, berusaha mempertahankan keutuhan keluarga. Walaupun didera kemiskinan, suami istri itu hidup dengan bahagia. Namun, mereka tetap tidak kuasa, tak mampu bertahan ketika mamak Rahmah menjemput Rahmah dan membawanya pulang ke kampung. Keluarga Rahmah tidak bersenang hati ketika mengetahui Musa dan Rahmah hidup dalam kemiskinan sehingga Rahmah dibawa mamaknya pulang kampung. Musa juga tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi keinginan keluarga Rahmah, begitu juga Rahmah, terpaksa harus meninggalkan suami yang dicintainya.

Tokoh Adnan dalam KI, juga diputuskan hubungan pertunangannya dengan    Syamsiah  karena ia juga miskin. Sadar  akan kemiskinan yang dideritanya, Adnan pergi merantau untuk mencari nafkah agar dapat menikahi tunangannya. Ia berusaha keras untuk mengumpulkan uang namun ia tetap tidak dapat memenuhi janjinya untuk  pulang pada tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya, pertunangnya diputuskan oleh keluarga Syamsiah dan Syamsiah dikawinkan dengan lelaki  kaya yang bernama Marah Husen. Akibatnya, Adnan menderita dan kemudian meninggal. Ia meninggal karena menangung rindu pada tunangannya yang diputus karena kemiskinannya (Keadilan Ilahi, 2008, 100-102)

Ditolak pinangannya karena tidak memiliki Harta juga dialami oleh Zainuddin dalam TKV. Lamaran Zainuddin ditolak oleh keluarga Hayati tidak saja karena  Zainuddin anak pisang orang Minangkabau, namun  juga karena Zainuddin adalah pemuda miskin. Hal inilah yang mendorong Zainuddin untuk meninggalkan Ranah Minang dan pergi mencari penghidupan  ke Surabaya sehingga ia berhasil dan menjadi terkenal.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa perkawinan dan pertunangan dapat diputus oleh keluarga perempuan karena sang pria miskin. Hamka sangat menentang diskriminasi tersebut. Untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap praktik diskriminasi tersebut Hamka menjadikan tokoh perempuan menderita sehingga dengan penderitaan yang dialami  tokoh permpuan tersebut tentu menimbulkan penyesalan dalam  keluarga besar mereka.

Untuk memperlihatkan bahwa diskriminasi itu tidak baik dan tidak disukai Allah,  Hamka sengaja menjadikan tokoh-tokoh yang miskin tersebut sebagai tokoh yang berserah diri pada Allah dan mereka meninggal ketika mengingat Allah. Tokoh Hamid, meninggal di depan Ka’bah dengan mengucapkan shahadat. Tokoh Hayati dan Zainuddin juga meninggal setelah mengucapkan shahadat. Tokoh Adnan meninggal setelah dibacakan surat Yassin oleh Syamsiah.

Meninggal di depan Ka’bah dan meninggal dalam keadaan membaca shahadat serta  meninggal ketika mendengarkan pembacaan surat Yassin merupakan  kematian yang dicita-citakan setiap muslim karena dalam hadist dijelaskan bahwa seseorang yang meninggal seperti itu akan  masuk syorga. Berkenaan dengan ini terlihat filosofi hidup Hamka bahwa tokoh yang menjalani kemiskinan dengan tetap berserah diri pada Allah akan memperoleh syorga. Penciptaan tokoh ini dimaksudkan Hamka untuk memberikan pengajaran pada manusia agar manusia hidup dengan segala ketabahan dan selalu berserah diri pada Sang pencipta.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa perlakuan diskriminasi dalam masyarakat harus dihapus. Diskriminasi terhadap manusia bisa berakibat fatal. Hal tersebut dimaksudkan Hamka untuk memperingatkan pembaca agar tidak melakukan diskriminasi. Lebih jauh Hamka ingin mengatakan bahwa dalam menjalani hidup,  manusia senanntiasa harus tabah dan menjadikan Allah sebagai tempat menggantungkan nasib sehingga di akhirat akan memperoleh syorga.

3. Eksistensi Perempuan

Dalam bukunya  Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan , Hamka menyatakan bahwa  diri manusia pada hakikatnya adalah satu, kemudian dibagi dua, satu menjadi laki- laki dan menjadi perempuan. Oleh karena asalnya satu, terasalah bahwa yang satu tetap membutuhkan yang lain. Hidup  belumlah lengkap jika keduanya belum dipertemukan kembali (2017:2). Pendapat ini dinyatakan Hamka berdasarkan penafsirannya terhadap surat An, Nisaa’ ayat 1.

Pernyataan Hamka di atas dapat ditafsirkan bahwa antara laki-laki dan perempuan kedudukannya sama di hadapan Allah. Dengan demikian, keberadaan perempuan dan laki-laki sama, mereka saling membutuhkan. Jika telah  dipertemukan dalam  sebuah perkawinan mereka akan saling melengkapi.  Lebih jauh, Hamka mengatakan bahwa posisi laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang sama. Hanya saja yang  membedakan keduanya, adalah medan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing (Nizar, 2008: 97)

Merujuk pada pendapat Hamka tersebut  terlihat bahwa Hamka menghormati perempuan. Sikap dan pemikiran Hamka tersebut terlihat pada karya fiksinya. Hamka mengkritisi sikap suami atau lelaki yang tidak menghargai keberadaan istrinya. Suami yang berbuat semena-mena terhadap istrimya yang setia akan mendapat celaka dan penyesalan yang berkepanjangan seperti apa yang dialami Leman yang jatuh miskin karena mengkhianati Mariatun dalam MKD, tokoh Azhar yang  tega mengusir istrinya sehingga ia menyesali diri sepanjang hidupnya dalam Terusir , dan tokoh Marah Husen dalam KI. Mengalami kematian yang menggenaskan karena ia tega meracuni Syamsiah, bekas istrinya.

Selanjutnya, secara umum Hamka menampilkan watak perempuan yang setia dan penuh cinta. Cinta mereka kandas karena dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Mereka menjalani perkawinan karena terpaksa, dipaksa oleh kaum kerabat sehingga pada akhirnya mereka juga bercerai seperti yang dialami oleh Hayati dalam TKV, Syamsiyah dalam KI.  Hamka mengkritisi masyarakat Minangkabau yang memaksa anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Melalui kedua  tokoh tersebut Hamka memperlihatkan bahwa perkawinan yang dipaksakan berakibatkan penderitaan pada anak perempuannya.

Untuk memperlihatkan bahwa cinta anak manusia itu murni, Hamka mempertemukan hayati dan Zainuddin kembali, namun pertemuannya terjadi ketika mereka dalam sakratulmaut. Hayati dan Zainuddin bertemu dan mengetahui bahwa mereka masih saling mencintai ketika Hayati akan meninggal. Begitu juga Syamsiah dalam KI menyatakan cintanya pada Adnan ketika Adnan akan menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara cinta  Zainab pada Hamid juga cinta yang murni sehingga zainab  menolak menikah dengan kemenakan ayahnya. Zainab memendam kerinduan pada Hamid sampai ajal menjemputnya. Kesetiaan  perempuan terhadap laki-laki yang dicintainya juga dimiliki oleh Tokoh Rahmah dalam DM. Rahmah  selalu mencintai suaminya, walaupun ia hidup melarat di rantau orang. Ketika Rahmah dipisahkan oleh mamaknya dengan suaminya Musa, ia bersikukuh untuk tetap hidup dengan  suaminya, namun ia tidak kuasa menolak keinginan mamaknya. Tokoh Hayati dalam TKV berani mempertanyakan kepada mamaknya tentang alasan mamaknya mengusir Zainuddin. Hayati juga dengan gamblang menjelaskan pada  mamaknya bahwa hubungannya dengan zainuddin suci. Sementara tokoh Zainab dalam DLK dengan tegas  menolak calon suami yang dijodohkan keluarganya. Artinya, kedua tokoh perempuan yang kasihnya tidak sampai tersebut telah memperjuangkan cintanya. Mereka telah berusaha menyuarakan suara hati dan keinginannya. Namun semua itu kandas karena adat yang keras.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya Hamka diciptakan sebagai perempuan yang dapat menyuarakan suara hatinya.. Hal ini digambarkan Hamka untuk memperlihatkan bahwa tokoh perempuan adalah tokoh yang mampu memperlihatkan eksisitensi dirinya.

Sementara itu, tokoh perempuan yang telah menikah atau berstatus istri juga digambarkan sebagai perempuan yang sudah memperlihatkan eksistensi dirinya. Tokoh Syamsiah dalam KI dengan tegas minta cerai pada suaminya karena tidak suka dengan perlakuan suaminya yang kasar dan pelit. Iapun dengan tegar menerima resiko perceraian. Sementara tokoh Mariah dalam Terusir menjelaskan pada suaminya kalau dia difitnah namun suaminya tidak mendengarkan penjelasan istrinya sehingga Mariah tetap diusir dan harus meninggalkan keluarganya. Tokoh Rahmah dalam DM, juga sudah menjelaskan pada mamaknya bahwa ia bahagia hidup dengan suaminya walau hidup dalam kemiskinan, namun mamaknya tetap membawanya pulang kampung, memisahkannya dengan Musa, suami yang amat dicintainya.

Dari gambaran di atas terlihat  bahwa  Hamka ingin menjelaskan kalau perempuan memiliki hak untuk bicara tentang keinginannya, perempuan memiliki hak untuk membela dirinya jika ia  dizalimi  atau diperlakukan tidak adil. Hal ini memperlihatkan sikap dan pemikiran Hamka tentang perempuan. Menurut Hamka,  perempuan perlu mendapat pendidikan seperti halnya laki-laki. Perempuan adalah guru pertama dalam mendidik anaknya kelak. Dengan demikian, perempuan harus mampu memperlihatkan eksistensi dirinya. Eksistensinya sangat berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian dan persiapan pendidikan anak (Nizar, 2008: 95).  Pemikiran inilah yang ingin disampaikannya pada masyarakat luas melalui karya fiksinya.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam karya fiksi (novel) Hamka terdapat sejumah refleksi pemikiran Hamka. Sesuai dengan realitas sosial yang ada di sekeliling Hamka dalam kehidupannya sehari-hari, yakni kehidupan bangsa Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Ketika suatu etnis (Minangkabau) masih menganggap adat budayanya lebih tinggi dari etnis lain. Oleh Hamka dikritik dengan cara mengelorakan semangat nasionalisme dan  menyuarakan  antidiskriminasi dalam kehidupannya berbangsa. Di samping itu, sebelum abad XX, pendidikan perempuan termarginalkan. Menurut pemikiran Hamka, pendidikan perempuan harus disetarakan dengan laki-laki. Pemikiran tersebut terekspresi dalam karya fiksi Hamka

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang terdapat karya fiksi Hamka merupakan pemikiran yang bertalian dengan semangat nasionalisme, anti diskriminasi, dan eksistensi perempuan. Hal ini membuktikan bahwa karya fiksi yang dikarang oleh Hamka merupakan sebuah pemikiran yang besar dan ditulis dengan tujuan yang besar seperti apa yang disampaikan oleh James R. Rush.

 

                                                                                                Padang, Media 2024

Tags: #Armini Arbain
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Slow Living: Mencari Ketenangan dalam Kehidupan yang Serba Cepat

Berita Sesudah

Menyadari Keterbatasan Tidak Selalu Buruk

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah
Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Menyadari Keterbatasan Tidak Selalu Buruk

Discussion about this post

POPULER

  • Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Koto Padang Dharmasraya Swadaya Perbaiki Jembatan Gantung yang Ambruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fungsi Kata “yang “ dalam Bahasa Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aliansi OKP se-Dharmasraya Minta Polres Dharmasraya Tingkatkan Pengawasan Keamanan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PMII Undhari Soroti Kepadatan Lalu Lintas, Desak Pemasangan Rambu di Gerbang Sport Center dan Kampus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024