Suluah Jo Siampa
Cerpen : Linda Tanjung
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Dedaunan merasakan kedinginan ditimpa hujan dan malu-malu meneteskan airnya. Rintikan hujan itu seperti tangisan yang tak pernah reda. Menghantui jiwa yang lemah karena dendam angkara
Ilham menarik selimutnya semakin dalam, malam yang dinginpun telah melelapkannya setelah seharian berjibaku di kampusnya. Laptop, diktat, flashdisk dan ponselnya berserakan di atas tempat tidurnya. Keadaan ini harus ditaklukannya. Proposal skripsi ini harus dilihat Bu Mirna sebagai pembimbing satunya dan Pak Hendra, pembimbing kedua. Tidur Ilham terganggu karena kedua pembimbingnya bertentangan seperti timur dan barat, utara dan selatan. Tidur adalah jawaban dari kelehan Ilham dengan malam yang dirintiki hujan.
Hampir enam tahun dia kuliah, kesibukannya sebagai aktivis kampus membuat kesempatannya menyelesaikan studi mengalami kendala dan keterlambatan. Ilham begitu asyik, rapat, demo dan menjadi panitia-panitia setiap kegiatan. Baik skala daerah bahkan sampai skala internasional. Baginya nikmat hidup dalam organisasi yang dikutinya, kuliah adalah hobi dan organisasi cita-cita sebagai semboyan hidupnya. Sampai akhirnya ultimatum itu tercetuskan, membuat Ilham berada dalam dilema. Malam ini, dia berjibaku dengan tugas akhirnya sampai akhirnya tertidur dengan kamar yang berantakan.
***
“Pokoknya, Mamak tak mau tahu. Kau harus selesaikan kuliahmu tahun ini juga. Aku tidak ada uang untuk membiayai kuliahmu terus. Sampai kapan Norma menunggumu. Yang akan gantikan aku nanti siapa. Pikirlah Ilham.” Mamak Sudir mengajaknya bicara karena terlalu lama kuliah. Itulah sebuah ultimatum, harus.
Mamak Sudir berharap Ilham mampu mengurus yayasan yang dipimpinnya. Yayasan pendidikan itu adalah miliki keluarga sapasukuan Ilham. Mamak Sudir ingin, Ilham berdua dengan anak gadinya melanjutkan mengurus yayasan ini. Mereka sudah dijodohkan. Hidup Ilham sudah diatur oleh nasibnya sendiri. Balas budi dengan ninik mamak yang sudah tanggung hidupmya selama ini. Keluarga jauh Ilham yang diangkat menjadi pemimpin adat sapasukuan mereka.
“Beri aku waktu tahun ini, Mamak. Aku usahakan selesai semua tugas akhir ini,” katanya mengucapkan janji.
Norma. Nama itu lain cerita dalam kamus kehidupan Ilham. Gadis teman sepermainannya, karena anak gadis Mamak Sudir yang beda suku dengan Ilham. Mereka dijodohkan dari kecil. Bagi Ilham dan Norma tidak masalah karena mereka sudah saling mempunyai ketertarikan masing-masing. Cinta sejoli.
Kampung Ilham menggunakan adat matrilineal. Keturunanya menurut suku ibu. Suku ibu Ilham Chaniago, sama dengan Mamak Sudir. Hubungan Ibu Ilham dengan Mamak Sudir saudara sepupuan jauh. Ibunya Norma adalah orang jauh yang tidak sekampung dengan Ilham, istri Mamak Sudir.
***
Ilham panik. Tadi siang dia dimarahi pembimbingnya. Jadwal untuk seminar proposal tinggal minggu ini. Pembimbingnya menyuruh ulang semua yang telah dia buat. Bu Mirna tidak setuju dengan kajiannya yang dilakukannya, Pak Hendra sangat mendukung. Ilham pusing tujuh keliling. Belum lagi ancaman Mamak Sudir yang tidak menyubsidi uang kuliahnya lagi jika masih berleha-leha. Padahal Ilham adalah mahasiswa aktif, bersemangat dan pintar. Kendalanya hanya tugas akhir yang tak selesai karena asyik di komunitasnya, organisasinya, teman-teman diskusinya.
Ilham pun melampiaskan penat hati dan pikiranya pergi ke rumah Uwonya. Rumah Uwo, keluarga ayahnya berada di pinggir pantai. Ayah Ilham, orang pesisir yang dekat kehidupan kerja keras seorang nelayan. Ilham pun menikmati keindahan pantai malam hari dengan lambu bagan di batas cakrawala. Lampu itu terlihat indah menghiasi langit malam. Mata Ilham yang tak berkedip memadang lautan, memandang lampu bagan tiba-tiba menangkap cahaya di tengah lautan. Serperti api obor yang berada di kejauhan. Api itu bergerak-gerak menari dan menampakkan wujud yang menakutkan, sekilas hanya sekilas. Jika di kampung Ilham namanya adalah suluah.
Pandangan Ilham tertumpu pada cerita masa kecilnya dulu. Bulu kuduknya pun merinding, dia ingat cerita tentang hantu suluah yang ada di lautan. Ilham pun jadi merinding. Laut yang tadi indah di malam hari katanya, jadi menakutkan. Ilham pulang ke rumah yang jaraknya 500 meter dari bibir pantai dengan kaki bergegas. Anehnya lagi dia melihat juga suluah itu ada di balik pohon di samping rumahnya. Ilham semakin pucat pasi. Suluah itu seperti mengikutinya. Kembali suluah menari-nari menampakan wujud yang berubah-ubah seperti menatap ilham dengan tatapan tajamnya. Ilham sedikit berlari sampai sandal jepit pemuda itu putus. Pemimpin demo itu, rapat dan pembicara pada diskusi-diskusi dalam forum ilmiah dan nonilmiah itu ketakutan. Wajahnya pucat pasi.
“Kenapa kau, ilham. Kenapa wajahmu pucat pasi begitu kata Uwo.” heran melihat cucunya bergegas masuk kamar dan langsung berkemul dalam kamar.
“Ada hantu suluah di laut dan di luar Uwo,” jawabnya.
“Kamu bukan anak kecil lagi Ilham,” kata Uwo geleng kepala.
Uwo memang sering menceritakan tentang suluah itu, semasa ilham kecil. Cerita itu dikarang Uwo agar ilham tidak main ke luar rumah pada masa kecilnya.
Uwo menyebutnya dengan hantu suluah. Hantu yang tinggal dan bersemayam di perbukitan dan rumpun-rumpun bambu. Jumlahnya tidak sedikit tetapi banyak dan dia muncul setelah azan magrib sampai subuh. Api suluah itu akan mengejar anak-anak yang suka main di luar. Begitu cerita Uwo agar Ilham kecil tidak main di luar rumah. Cerita Uwo ini masuk ke dalam alam bawah sadar Ilham, ketika dia panik dan banyak pikiran, hantu suluah akan mengejarnya.
***
Ilham terlelap, namun tiba-tiba ada makhluk gelap, hitam, tubuhnya tinggi besar dan bertaring, matanya berwarna merah, berusaha menghimpitnya, menindihnya, tangannya berusaha mencekik Ilham, dadanya terasa sesak. Ilham berteriak dengan suara keras namun suaranya tersekat di tenggorokan. Ilham tak sanggup melawan makhluk itu.
Bibirnya lamat berujar “Allah!” namun suara tak juga keluar. Badan ilham pun sudah penuh dengan peluh. Ilham gelisah, kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, tak tentu arah.
“Ilham! Ilham! Bangun nak!” tangis Uwo dan Ibu membangunkannya. Badannya berkeringat, tubuhnya panas tinggi, kegelisahannya kala tidur membuat ibu dan Uwo bersedih. Ilham sudah satu bulan kondisinya seperti itu, orang yang selalu ketakutan. Tidur sebentar tetapi kemudian ketakutan mnghantuinya. Kembali makhluk besar tinggi, bewarna hitam dengan mata merahnya itu kembali terasa menghimpit, menindih dan mencekiknya. Ilham kembali tak mampu berteriak, padahal dia sudah mengeluarkan semua suaranya, namun hanya sampai kerongkongan saja.
***
“Kirimkan terus untuk Ilham itu Suluah jo Siampa, Datuak. Aku tidak mau menikahkan dia dengan Norma. Aku tidak ingin yayasan itu jatuh ke tangannya.” kata Mamak Sudir pada Tuak Maliah, tukang tenun di kampung itu.
“Sakit hatiku pada ibunya belum habis sampai hari ini. Aku hanya terikat janji. Jika dia sakit maka tak akan ada yang bisa diharapkan darinya,” katanya lagi dianggukkan Tuak Maliah.
***
Mamak Sudir tidak mau sebenarnya yayasan yang dipimpinnya jatuh ke tangan Ilham begitu juga dengan anak gadisnya. Dia melakukan itu semua karena Ibu Ilham pernah mengancam Mamak Sudir akan melaporkannya pada adat karena telah berbuat tidak senonoh di kampungnya. Mamak Sudir yang suka mengintip perempuan berganti pakaian di sawah setelah mereka bebersih badan di aliran sungai di samping sawah kampung dan malah lebih fatal lagi. Agar masalahnya tidak berlarut, maka Sudir harus mengikuti semua keinginannya, membiayai pendidikan Ilham.
***
Dangau-dangau pada saat itu sedang sunyi. Sudir berusaha memperdaya seorang wanita yang meronta, berusaha lepas darinya. “Tolong! Tolong!” teriaknya.
Suara teriakan itu terdengar oleh Niar, ibu Ilham. Niar yang sedikit mempunyai kemampuan sdikit silat kampung langsung menghajar Sudir yang berbuat kurang ajar.
“Jangan kau bawa juga perangai parewamu di kota itu ke kampung ini, Sudir.” Kata-kata Niar membuat Sudir tersentak.
“Tolong jangan kau sampaikan pada orang kampung, Niar, “ pinta Sudir.
“Aku akan menutup mulut, asal kau biayai anakku sekolah setinggi-setingginya. Suamiku tidak bisa membiayai anaknya dari pekerjaanya sebagai nelayan yang hanya menarik pukat tepi,” jelas Niar.
Maka perjanjian pun mulai berlaku dari hari itu. Niar selalu meminta semua keperluan anaknya untuk menutup mulut. Ilham pun diangkat sebagai kemenakannya, meski hubungan kekerabatan mereka jauh. Niar, ibu Ilham yang pintar menurun pada anaknya yang juga pintar.
Namun, kenapa akhir-akhir ini ada yang berubah pada diri Ilham. Dia biasa menjadi pribadi yang kuat dan mampu bersilat lidah, cerdas dan mampu mengontrol emosi. Tetapi sekarang menjadi pribadi yang gelisah dan ketakutan.
***
“Tolong! Tolong!” teriakan itu kembali tersekat di tenggorokan Ilham. Tubuhnya kembali terhimpit, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Semua obat sudah dicoba ibunya, Niar. Namun anaknya dibawa ke medis tidak ada tanda-tanda mempunyai penyakit serius. Ketakutannya mengecewakan ibunya karena tidak selesaikan waktu perkuliahanya. Percekcokannya dengan pembimbingnya. Begitu menghantuinya.
Setiap dia pergi ke kampus dan berada pada malam hari, di sekitar kampusnya yang berada di atas bukit. Dia sering melihat begitu banyaknya api yang berdatangan, setiap dia tanya pada temannya, tidak ada satupun yang melihatnya. Ilhampun pernah mengeluarkan air seni di celananya lantaran ketakutan.
“Kenapa banyak sekali api yang ada di balik pohon ya, Rif?” tanya Ilham pada Arif,
“Aku tidak melihat apa-apa?” tanya Arif heran.
Wajah Ilham memutih, celananya basah, untung hari malam dan celananya berwarna hitam. Arif pun tidak memperhatikan.
Sampai di rumah Ilham berteriak-teriak marah, “Pergi kalian! Jangan ganggu aku! Aku muak!!”” dilemparnya semua benda yang ada di dalam kamarnya. Semua jadi berantakan. Ilham mengamuk. Dia marah dengan ketakutan bodoh yang menghantuinya. Hari ini amukannya sangat berbahaya dan dapat melukai orang lain.
Sudir, ayah Ilham dan orang-orang memegangi Ilham. Mereka tidak sanggup mengatasi Ilham yang mengamuk maka semuanya membawa Ilham ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Ilham diikat agar tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
***
Sudir pun kembali menemui Tuak Malih, “Lanjutkan mengerjai anak Niar ini, Tuak!”
“Aku ingin menjadikan dia gila agar dia tidak menguasai apa yang sudah aku perjuangkan. Cerita masa kecil Uwonya ini terus menakutinya,” lanjutnya.
“Haha!” Sudir tertawa terbahak-bahak bahagia.
“Aman Sudir, asal bayar aku dengan biaya sepatutnya,”jawab Tuak Malih dengan licik.
“Niar, tidak bisa dihancurkannya secara langsung, tetapi ia akan kuhancurkan melalui Ilham. Pemuda sombong, sama dengan ibunya, sok mengubah dunia ini. Hahaha.” Wajah Sudir semakin bengis.
Payakumbuh, 2021
Biodata Penulis:
Linda Tanjung adalah nama pena Lindawati, guru di SMP Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh. Ia lahir di Medan pada 14 Januari dan berdomisili di Kota Payakumbuh. Ibu empat orang putra-putri ini berbahagia dan bercengkrama bersama anak-anak. Tulisannya dimuat dalam Kumpulan Cerita Anak Indonesia “Kata Bapak di Sungai Ada Buaya” UNSApress, Januari 2018 dan Kumpulan cerita horor, Antologi Pemenang LMCBUA #7 “Tentang Sesuatu Yang Akan Dikembalikan Pada Asalnya” Penerbit WR, Desember 2017. Linda dapat dihubungi pada FB: Linda Wati, Instagram lin_tanjung.
Siasat, Adat, dan Orang Keramat
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Jakarta)
Siasat, Adat, dan Bangsa Keramat
Membaca cepen “Suluah jo Siampa” karya Linda Tanjung yang merupakan nama pena dari Lindawati ini mengingatkan kita pada tiga hal yang saya pilih menjadi judul untuk tulisan ini, yaitu tentang intrik dan siasat-siasat tingkat dewa walau dimainkan oleh rakyat jelata. Selain itu, ada persoalan adat yang belum tuntas dan tidak jernih dalam memandangnya. Hal lain yang ada dalam cerpen ini juga terkait dengan orang-orang keramat seperti dalam ucapan “lauik sati rantau batuah” yang di ranah matrilineal ini walaupun sudah zaman facebook dan instagram, orang keramat masih berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Linda Tanjung membuka ceritanya dengan kegalauan seorang anak muda bernama Ilham yang menjadi tokoh sentral dalam cerita ini. Ilham mahasiswa tingkat akhir sebuah perguruan tinggi di Kota Padang. Selain cerdas, Ilham juga seorang mahasiswa yang aktif dalam organisasi di kampusnya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir dan juga aktivis yang super sibuk, Ilham kadang harus berbagi waktu namun tak jarang ada hal yang terabaikan. Dalam hal ini, Ilham diceritakan bermasalah dengan skripsinya.
Tekanan tugas akhir seperti menjadi musabab lain yang membuat Ilham mengalami depresi. Ketakutan akan “putus kuliah” membuat masalah psikologis dalam diri Ilham. Ditambah lagi desakan Mak Sudir agar Ilham segera lulus dan biaya kuliah yang ditanggung Mak Sudir ini tidak membengkak. Selain itu, Mak Sudir juga mendesak Ilham lulus kuliah agar bisa menikahi Norma, anak mamaknya itu.
Di sinilah kelindan cerita itu. Dari sisi adat Minangkabau yang menganut tradisi matrilineal, seorang lelaki tidak hanya bertanggung jawab pada anaknya, tapi juga pada kemenakannya, kehadiran Mak Sudir dalam cerita ini seolah-olah sebagai simbol lelaki Minangkabau yang ideal. Mak Sudir bisa memerankan diri sebagai seorang ayah untuk Norma, anaknya dan juga bisa memerankan diri sebagai seorang mamak untuk Ilham. Hal tersebut terlihat dari biaya kuliah Ilham yang ditanggung oleh Mak Sudir itu.
Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata Mak Sudir sedang tidak memerankan diri sebagai mamak ideal. Dia hanya terperangkap dalam skenario Niar, Ibu Ilham. Mak Sudir terpaksa membiayai pendidikan Ilham, bahkan sampai perguruan tinggi karena Niar saudara perempuan “sepesukuan” dengannya memegang kartu truf Mak Sudir. Pernah suatu waktu dalam hidup mereka, Niar memergoki Sudir melakukan tindakan asusila terhadap seorang perempuan.
Takut boroknya dibongkar Niar, Sudir bersedia memenuhi perjanjian dengan Niar agar Sudir membiayai pendidikan Ilham sampai perguruan tinggi. Sudir tidak punya pilihan. Di balik itu, bahkan Sudir berniat menjodohkan Ilham dengan Norma, anaknya. Dalam perjalannya, Sudir menolak kalah dari Niar, dia ingin balas dendam dan tidak ingin warisannya nanti jatuh pada Ilham jika Ilham menikah dengan Norma.
Mak Sudir menyewa orang keramat untuk mengguna-gunai Ilham sampai Ilham dianggap gila. Dengan demikian, Mak Sudir punya alasan untuk membatalkan perjodohan Ilham dengan Norma dan sekaligus bisa membalaskan sakit hatinya pada Niar. Begitulah persoalan siasat, adat, dan orang keramat dalam cerpen ini. Mak Sudir menganggap Ilham yang sudah gila karena keberhasilan orang keramat yang disewanya, sementara dari awal, penulis sudah memberi dasar cerita bahwa Ilham sedang dalam tekanan psikologis karena skripsinya bermasalah dan juga tertekan karena didorong untuk cepat lulus.
Persoalan mitos dan hal-hal lainnya dalam karya sastra memang tidak hanya dalam cerita Linda Tanjung. Sudah banyak penulis-penulis Indonesia yang mengeksplorasi mitos dalam karya mereka. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Galuh Farah Rahma Yunita dalam tulisannya berjudul “The Myth Study inside of ‘Aroma Karsa’ Novel By Dewi Lestari Perspective of Culture Ecology” yang dimuat pada Jurnal Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya Vol. 9 No. 2 tahun 2019.
Galuh menyampaikan bahwa mitos menjadi salah satu bagian dari cerita rakyat (folklor) yang selalu muncul dalam budaya masyarakat di manapun. Lebih jauh, Galuh menyampaikan bahwa lingkungan budaya masyarakat yang berperan dalam menciptakan mitos-mitos, yang kemudian dieksplorasi oleh pengarang menjadi karya sastra (novel). Mitos-mitos yang hidup berdampingan dengan masyarakat diperlukan untuk mencari kejelasan seputar fakta alam lingkungannya dan sejarah masa lampaunya.
Mitos yang dihadirkan dalam cerpen “Suluah jo Siampa” ini adalah terkait dengan cerita rakyat tentang hantu suluah yang berupa percikan api yang biasanya muncul setelah magrib. Sementara itu, Siampa adalah hantu hitam besar yang bisa memakan anak manusia. Dua cerita rakyat ini pada dasarnya adalah cerita yang dibuat oleh orang tua untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak lagi bermain setelah magrib.
Cerita-cerita yang dikonstruksi itu akhirnya menjadi mitos dalam diri anak-anak yang masa kecil mereka dijejali dengan cerita-cerita menakutkan itu. Begitulah yang dialami Ilham, sejak kecil dia ditakut-takuti dengan cerita Suluah dan Siampa itu. Ketika psikologisnya dalam kondisi terendah, ketakutan akan putus kuliah dan ketakutan akan tekanan Mak Sudir menjelma menjadi ketakutannya pada Suluah jo Siampa yang merupakan bagian masa kecilnya.
Sementar pada sisi lain, Mak Sudir sangat yakin, Siampa yang dikirimnya melalui orang keramat telah mampu membuat Ilham gila dan dengan demikian itulah kemenangannya atas Niar dan konflik masa lalui mereka yang penuh siasat dan intrik. Inilah cerita Suluah jo Siampa ini, yang dihadirkan Linda Tanjung yang pada dasarnya merupakan kelindan antara siasat, adat, dan sisa-sisa orang keramat yang masih ada di dunia modern ini.
Kelebihan dan Kekurangan Cerita
Dari sisi tema dan bagaimana Linda Tanjung merajut tema tentang intrik, adat, dan juga mitos dalam masyarakat Minang ini, tentunya cerita perlu diapresiasi. Linda Tanjung berhasil menyuguhkan cerita yang menarik dan juga sedikit rumit. Bagaimana usaha penulis untuk merasionalisasi mitos perlu dipuji. Linda dalam ceritanya walaupun tidak tuntas ingin mengatakan bahwa Ilham menjadi depresi bukan karena ulah Siampa yang dikirim oleh Mak Sudir melalui orang keramatnya. Akan tetapi, Ilham menjadi depresi karena persoalan kuliahnya dan perasaan gagal membalas budi pada Mak Sudir.
Hal tersebut merupakan perlawanan atas keyakinan Mak Sudir bahwa ia berhasil membuat Ilham gila karena telah membayar orang keramat untuk mengirimkan Siampa pada Ilham. Pola-pola rasionalisasi mitos ini tentu menjadi menarik bagi penulis-penulis muda seperti Linda Tanjung dan juga pembaca-pembaca milenial ini. Mereka bisa masuk dalam cerita dengan pemikiran mereka yang rasional itu.
Sebagai sebuah karya, tentunya cerpen “Suluah jo Siampa” memiliki kekurangan. Salah satunya adalah bagaimana cara penulis mencitrakan tokoh dengan frontal. Kadang, hal itu tidak akan ditemukan dalam dunia realitas sekalipun. Contohnya bagaimana ucapan Mak Sudir pada Ilham berikut:
“Pokoknya, Mamak tak mau tahu. Kau harus selesaikan kuliahmu tahun ini juga. Aku tidak ada uang untuk membiayai kuliahmu terus. Sampai kapan Norma menunggumu. Yang akan gantikan aku nanti siapa. Pikirlah Ilham.” (Linda Tanjung, 2021).
Dari potongan cerita di atas, dapat dilihat bahwa Linda kurang memahami bagaimana seorang tokoh (seorang mamak) berbicara dalam tradisi Minangkabau. Kata-kata yang “kasar” itu tidak akan keluar dari mulut seorang Mamak meskipun sedang marah. Biasanya, mereka akan bicara dengan berbagai kata kiasan. Dalam hal ini barangkali penulis perlu memperhatikan karakter sosiologis tokoh yang diciptakannya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.