Oleh: Elly Delfia
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Maroko ialah sebuah solusi saat saya rindu. Maroko bukan sebuah nama negara yang terletak di Afrika Utara. Akan tetapi, sebuah nama restoran yang sering menyelamatkan saya di kala lapar dan rindu masakan Indonesia. Masakan Maroko rasanya gurih dan agak sedikit asin, seperti masakan Padang. Bedanya masakan Maroko tidak pedas. Nun jauh di salah satu pinggiran Kota Busan, di sanalah Restoran Maroko itu berdiri. Tepatnya di Namsan-ro, Distrik Geumjeong, Kota Busan, Korea Selatan.
Restoran itu dikelola oleh seorang perempuan Maroko yang ramah. Ia seorang ‘ibu’ mixed marriage yang bersuamikan orang Korea. Kami orang-orang Indonesia biasa memanggilnya Ummi. Ia senang dengan panggilan tersebut. Ia ramah dan sering memberi pelukan hangat ketika bertemu pada waktu shalat di ruang lantai tiga Masjid Al Fatah. Masjid Al Fatah berada persis di samping restoran Maroko. Masjid itu satu-satunya rumah Allah yang bangunannya milik sendiri dan bukan gedung sewaan. Hal itu berbeda dengan beberapa masjid lain yang ada di Kota Busan yang dibangun dengan menyewa gedung milik warga setempat.
Maroko membuat rasa rindu pada kampung halaman terobati. Saat pergi ke sana, saya bertemu dengan teman-teman Indonesia. Mereka makan, berkumpul, dan mengobrol sembari menikmati teh khas Maroko yang hangat. Mereka berbicara dan bercanda dalam bahasa Indonesia. Rasa bangga menyelinap ke dalam hati saya saat mendengar mereka berbicara dalam bahasa Indonesia. Keberadaan mereka membuat saya tidak merasa sendirian di perantauan.
Saya mengenali beberapa orang di antara mereka. Mereka memanggil saya ”Uni” sebagai panggilan untuk kakak perempuan karena saya berasal dari Padang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang berasal dari Sulawesi, Madura, Banyumas, Banjarnegara, Yogyakarta, Semarang, Tegal, Subang, Bogor, Jakarta, Padang, Tanjung Pinang, Medan, dan Aceh.
Para diaspora Indonesia itu memiliki profesi yang beragam. Ada yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia, ada yang sedang kuliah dan berstatus mahasiswa S1, S2, S3, dan ada ditugaskan perusahaan di Indonesia untuk bekerja di sana. Sesekali, ada wisatawan Indonesia yang sedang jalan-jalan mampir ke Maroko.
Yang membuat bangga adalah mendapati kenyataan bahwa para diaspora itu berasal dari daerah yang berbeda-beda, tetapi disatukan oleh bahasa Indonesia. Ternyata selain sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia juga berfungsi menyatukan para diaspora Indonesia yang ada di perantauan. Meskipun sedang berada di negeri orang, mereka tidak berbahasa Inggris ataupun berbahasa Korea saat bertemu, tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, sepengetahuan saya mereka semua cukup fasih berbahasa Inggris ataupun berbahasa Korea karena syarat untuk bekerja di Korea adalah harus menguasai salah satu bahasa asing tersebut.
Discussion about this post