Alkisah
“Nak, pergilah ke tempat tetangga,
di sana nanti mereka bercerita
tentang kitab dan nabi di zaman dahulu.”
“Aku sudah janji dengan pensil alis, Bu,”
sembari bercermin melukis bukit bibir
yang belum juga rampung.
Padang, 2021
Kursi Bekas
Bermula dari rongsokan, sedikit berkarat
Tombol push macet tak bisa turun dan naik
Saat diputar bunyinya “Preeeeeet!”
Busa yang ada pun sudah tak baik
Kulit samping menjuntai robek
Dan ulir roda telah patah dengan kenangan janji masa silam.
Kursi terpajang di toko barang bekas
Sekarang tidak ada yang berani mendudukinya
kecuali tanda jual yang ditulis pedagang!
“Dijual Kursi, masih layak dua periode lagi, Nego tipis.”
“Preeeeeet!”
Padang, 2022
Dari Pagi
Polusi suara dari kamar tetangga
Jam weker digitalnya mengusik
gericik hujan yang akan menyapa
“Serong serong serooong” Bunyinya!
Dan getar jam berdebar hebat dalam hatinya.
Lantas ia bergegas mandi
Membawa harapan demi sebongkah bibir
yang mungkin akan mengecupnya
dan mengucapkan selamat pagi.
Padang, 2021
Bee
Di ujung rumah tua ada sosok usia, menari bersama kepedihan.
Dipatahkan jari-jarinya, diliukkan kaki-kakinya,
tubuh rebah disayat, digerogoti nafsu.
Kelaminnya telah menjadi gantungan kunci.
Di selangkangnya ada daftar nama-nama tuan pusaka.
Namanya besar di jagat lorong.
Ia berpesan pada malaikat maut:
“Omong kosong!”
Bandung, 2020
Biodata Penulis:
Irawan Winata, lahir di Lubuk Linggau, 31 Januari 1991. Karyanya telah dimuat di beberapa media di Sumatra Barat dan telah terbit dalam buku kumpulan puisi penggiat literasi Kabupaten Sumedang “Aku dan Sumedang” (Penerbit Panti Baca Ceria, 2021) dan Buku Kumpulan Puisi Irawan Winata “Kaum Lorong” (Penerbit Panti Baca Ceria, 2022).
Tendangan di Akhir Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Membawa harapan demi sebongkah bibir yang mungkin akan mengecupnya dan mengucapkan selamat pagi.
Membaca puisi mengingatkan saya kepada lukisan yang beberapa waktu terakhir ini cukup sering saya lihat di dinding galeri yang putih dan simetris. Goresan garis dan warna di atas kanvas memancing imajinasi mengaitkan hal-hal lain yang berkelebat di alam pikiran. Mengundang pertanyaan-pertanyaan yang menagih jawaban sehingga tak terasa waktu telah bergerak sementara badan masih terpaku menatap objek rupa di depan mata. Aneka kemungkinan fenomena berkelindan terpantik dari kombinasi titik-garis-warna dari sebidang lukisan yang dinikmati, yang dicermati. Begitu pula teks puisi.
Ketika berhadapan dengan puisi, pikiran akan terangsang untuk mengembara liar mengikuti imaji yang muncul dari struktur kata-kata. Kombinasi paradigma bahasa akan memantik imajinasi tertentu berdasarkan referensi yang terpicu. Puisi menarik pikiran-pikiran sekaligus memanggil emosi.
Azhari (2014) mengungkapkan bahwa proses kontemplasi yang dilakukan penyair dapat membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya. Perenungan yang dimaksud adalah proses batiniah yang dilakukan oleh penyair sebelum menciptakan sebuah karya. Proses merenung sering memunculkan ide-ide yang tak terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Setiap makna selalu memiliki tanda-tanda yang dapat dihubungkan untuk membentuk suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Setiap penyair biasanya mempunyai waktu-waktu tertentu yang digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap makna puisinya.
Kreatika edisi kali ini memuat empat puisi dari Irawan Winata. Ketiganya berjudul “Alkisah”, “Kursi Bekas”, “Doa Pagi”, dan “Bee”. Puisi-puisi Irawan mengambil tema kehidupan sosial yang diperkuat dengan kritik atas fenomena yang terjadi di masyarakat. Ada diksi yang bernuansa kelam dan liar seperti gaya bahasa masyarakat urban marginal yang jauh dari indah aliran romantisme.
Puisi pertama misalnya, “Alkisah” mengandung nuansa ironis tersebut, “Nak, pergilah ke tempat tetangga, / di sana nanti mereka bercerita / tentang kitab dan nabi di zaman dahulu.”/ “Aku sudah janji dengan pensil alis, Bu,” / sembari bercermin melukis bukit bibir / yang belum juga rampung. Puisi yang mirip fragmen ini mempertentangkan keinginan seorang ibu dengan anaknya. Keinginan ibu yang cukup unik yakni anaknya menyimak kisah nabi yang diceritakan di rumah tetangga, justru ditolak si anak yang lebih senang bersolek. Suruhan si ibu pergi ke rumah tetangga sepertinya memiliki dasar kontekstual, lazimnya ibu menyuruh anak belajar tentang kitab dan nabi ke tempat ibadah atau sekolah agama.
Puisi-puisi Irawan Winata memberi kontradiksi di bagian akhir. Ini juga terlihat pada puisi kedua, “Kursi Bekas”. Bagian awal puisi sangat naratif menggambarkan kondisi sebuah kursi dengan detail. Narasi tersebut lalu melompat dengan sinisme yang menyindir kaum penguasa yang cenderung berebut kursi dan tak ingin melepaskan jabatan yang telah dimilikinya: Kursi terpajang di toko barang bekas/ Sekarang tidak ada yang berani mendudukinya / kecuali tanda jual yang ditulis pedagang! // “Dijual Kursi, masih layak dua periode lagi, Nego tipis.”/ “Preeeeeet!”
Esten (1989) menyatakan bahwa karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Ia melukiskan tentang penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Dengan sebuah cipta sastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, ingin menafsirkan tentang hidup dan hakikat hidup. Nurgiyantoro (2010) menyatakan bahwa suatu karya sastra yang memaparkan kritik disebut sastra kritik, apabila yang diungkapkan tentang penyimpangan-penyimpangan sosial masyarakat maka disebut dengan kritik sosial. Kritik sosial adalah sindiran maupun tanggapan yang ditujukan pada sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Kritik sosial dalam sebuah karya sastra merupakan upaya yang dilakukan oleh seorang pengarang, dengan memberikan tanggapan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, yaitu berupa ketimpangan sosial yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial.
Puisi memang dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik. Pola narasi yang memiliki alur peristiwa sangat dominan dalam puisi-puisi Irawan. Puisi ketiga ini contohnya, Polusi suara dari kamar tetangga /Jam weker digitalnya mengusik / gericik hujan yang akan menyapa/ “Serong serong serooong” Bunyinya! / Dan getar jam berdebar hebat dalam hatinya. // Lantas ia bergegas mandi / Membawa harapan demi sebongkah bibir / yang mungkin akan mengecupnya / dan mengucapkan selamat pagi. Jika ini disisipkan ke dalam prosa, tentu tak akan masuk secara padu. Ungkapan ‘getar jam berdebar hebat dalam hatinya’ dan ‘sebongkah bibir yang mungkin akan mengecupnya’ yang cukup menguatkan kepuisiannya.
Irawan menutup Kreatika edisi ini dengan puisi keempatnya yang berjudul “Bee” Di ujung rumah tua ada sosok usia, menari bersama kepedihan. // Dipatahkan jari-jarinya, diliukkan kaki-kakinya, / tubuh rebah disayat, digerogoti nafsu. // Puisi ini terlihat begitu kelam. Seperti pada beberapa baris di awal puisi ini. Puisi ini menceritakan seseorang yang sudah tua, yang hidup dengan penderitaan yang dialaminya. Seseorang yang barangkali “dibungkam” sebagaimana digambarkan penulis dengan menuliskan Dipatahkan jari-jarinya, diliukkan kaki-kakinya, / tubuh rebah disayat, digerogoti nafsu.
Pada bagian selanjutnya, terlihat bahwa penulis ingin menyampaikan gelapnya hidup tokoh yang diceritakannya. Kelaminnya telah menjadi gantungan kunci.// Di selangkangnya ada daftar nama-nama tuan pusaka.// Namanya besar di jagat lorong.//Ia berpesan pada malaikat maut: “Omong kosong!”. Pilihan kata (diksi) yang digunakan memang terkesan kasar, tapi dalam hal ini tentu saja berhubungan dengan tema puisi yang kelam ini. Pilihan kata yang terlihat kasar itu semakin mengesankan kepahitan tokoh yang diceritakan.
Terkait dengan tokoh pada puisi “Bee” ini, bisa dimaknai sebagai perempuan tua yang sepanjang hidupnya dari muda sampai tua memang hidup dalam kepedihan. Menjual diri karena dipaksa oleh penderitaan. Namun, pada penafsiran lain, pembaca bisa memaknai bahwa tokoh yang dihadirkan hanya sebagai perumpamaan semata. Bisa jadi yang dimaksud “sosok usia, menari bersama kepedihan”, adalah sebuah kota atau sebuah negara bangsa. Dugaan ini semakin kuat karena beberapa puisi yang dihadirkan Irawan adalah puisi-puisi kritis yang berisi kritikan terhadap kehidupan. Selain itu, mungkin saja ada penafsiran lain dari pembaca, tentu saja itu adalah sah jika pembaca menafsirkannya. Tidak perlu ditanya pada pengarangnya tentang makna dan maksud puisi ini. Kita bisa berlindung di bawah pendapat Roland Barthes yang mengatakan pengarang mati ketika karya sudah lahir. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post