Surau
Cerpen: Revandra Ahza Rizkia
Suara angin malam menyelinap masuk ke rumah kami. Malam itu aku sampaikan keinginan kepada Apak untuk sekolah ke Padang karena hanya di kota itu yang ada jurusan yang kuinginkan. Ini bukan yang pertama sebenarnya. Sudah beberapa kali aku sampaikan kepada Apak untuk sekolah ke Padang, tapi Apak belum bersuara. Dia masih diam dan menatap panjang sambil menerawang antara masa depan anaknya dan cita-cita yang diinginkan.
“Waang boleh sekolah di kota, tapi waang harus tinggal di surau,” begitu kata Apak akhirnya. Aku paham, kesulitan hidup membuat Apak sedih karena tidak bisa mengabulkan permintaanku untuk sekolah di Padang. Tapi aku masih bersukur, Apak masih mengizinkan walau dia terpaksa menyarankan aku tinggal di surau karena tidak ada biaya untuk membayar sewa rumah kos.
“Di surau tidak hanya sekadar menghemat biaya sekolah, tapi Waang bisa belajar hidup,” lanjut Apak.
“Terima kasih Pak,” jawabku dengan terharu.
“Ingat, jalani hidup sebaik-baiknya demi cita-cita dan masa depan Waang,” pesan Apak. Itu pesan Apak beberapa bulan yang lalu. Sebelum merantau ke kota Padang demi melanjutkan pendidikan.
Saat ini, aku dikenal sebagai “anak surau” oleh teman-teman sekolah karena tinggal di surau. Mereka bilang tindakanku antimainstream karena jarang anak muda yang ingin tidur di surau. Demi hidup yang lebih baik aku tidak perlu malu menjalani hidup tinggal di surau ini.
Ketertarikanku pada IT memaksaku untuk sekolah di kota, tetapi keluargaku tidak memiliki uang untuk biaya kos. Setelah berbincang dengan Apak, akhirnya ia menyetujuinya, tetapi dengan syarat aku harus tinggal di surau.
Datang ke kota dengan modal nekat. Aku pergi mengelilingi Kota Padang mencari surau untuk ditinggali. Sayangnya, tidak ada surau yang mengizinkanku untuk tinggal di sana. Beribu alasan dikeluarkan agar aku pergi. Sampai akhirnya aku menemukan surau yang tampak tidak terawat. Surau dengan arsitektur yang tidak terlalu megah, catnya sudah mengelupas, lantainya berdebu, dan beberapa potongan kayu seperti sudah dimakan rayap.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, aku harus mencari orang sekitar untuk bertanya apakah aku bisa tinggal di surau itu. Berkeliling komplek itu, aku bertemu dengan kakek tua yang hendak menuju surau. Aku hendak bertanya pada kakek itu tentang surau itu, tapi kakek tersebut tiba-tiba bertanya sesuatu.
“Waang cari tempat tinggal?” tanya kakek tersebut.
“A-anu, iya kek,” jawabku sambil mengangguk.
“Waang mau tidur di surau?” tanya kakek itu sekali lagi.
“Iya kek, Apak saya bilang saya harus tinggal di surau.”
“Baiklah, ikut kakek.”
Kakek itu berjalan menuju surau, lalu dibukanya kunci surau tersebut. Kakek melangkah masuk, lalu mengambil sapu dan memberikannya padaku. “Sapu surau ini dulu!” katanya. Tanpa basa-basi aku langsung menyapu surau itu.
Debu-debu berhamburan kemana-mana. Lima menit menyapu, kini surau tersebut telah bersih. Aku membantu kakek membentang tikar, sebentar lagi waktu Magbrib akan datang. Tiba-tiba terlintas dipikarnku, aku belum kenal kakek ini.
“Kek, kakek garin surau ini?” tanyaku. Kakek itu hanya bergumam. Mungkin saja jawabannya iya.
“Sudah berlama lama kakek jadi garin?” pertanyaanku semakin menjadi. Kini kakek itu angkat bicara,”Sepuluh tahun,” jawabnya.
“Ambo kagum dengan Waang, jarang ada anak muda yang mau tidur di surau. Biasanya mereka memilih tidur di tempat kos, lalu setelah itu pergi ke kafe, dan mereka jarang mendatangi masjid atau surau. Entah apa nasib mereka di akhirat kelak.”
Perkataan kakek itu membuatku tersentak, ingat akan kelakuanku saat masih duduk di bangku SMP, sering bercengkrama dengan teman sebaya, tetapi lupa dengan tuhan sendiri. Mungkin ini maksud Apak menyuruhku tidur di surau.
Waktu Maghrib sudah masuk, kakek menyuruhku mengumandangkan adzan. Awalnya aku menolak, tapi kakek bersikeras. Aku pun mengumandangkan adzan. Tampak beberapa orang datang menuju surau, tidak banyak, hanya lima orang, itupun mereka yang sudah tua. Adzan sudah selesai. Kakek menyuruhku untuk iqomah, setelah itu melaksanakan shalat Maghrib berjamaah.
****
Sudah hampir tiga bulan aku tinggal di surau ini. Banyak hal yang sudah diajarkan oleh Kakek, bahkan silat pun diajarkan olehnya. Hanya saja ada hal yang membuatku sedih. Sedikit sekali orang yang ingin datang ke surau, bahkan hanya untuk sekedar shalat berjamaah. Memang sekarang kondisi masih dalam pandemi, tetapi kebanyakan orang memilih mengunjungi mall atau kafe. Aku pun memutar otak bagaimana cara menarik orang agar mau datang ke surau.
Akhirnya terlintas sebuah ide yang lumayan menarik, mengapa tidak aku adakan saja acara pengajian di surau ini? Pasti surau ini akan ramai didatangi orang. Aku pun memberitahu ide ini ke kakek. Tapi sepertinya ia tidak setuju.
“Dulu juga pernah ada acara pengajian, dan ustadz-nya datang, tetapi orang-orang tidak peduli,” sambungnya.
Awalnya aku berpikir ide ini tidak bisa dijalankan karena pandemi, tetapi ada hambatan lain, yaitu masyarakat sekitar. Kemudian, aku menelpon temanku, Abdul, berharap mendapat ide lain.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumussalam, ada apa?” jawab Abdul.
“Gini, aku ingin memakmurkan surauku, rencananya mau buat acara pengajian, tapi masalahnya akses jalan susah, terus masyarakat sekitar juga tidak mau. Ada usulan lain gak?” tanyaku.
“Hmmm, oke. Aku pikirkan sebentar,” kata Abdul.
Lima menit berpikir, tidak ada ide terlintas di kepalaku.
“Bagaimana kalau pengajian online?” kata Abdul.
“Nah iya, ide bagus itu! Kenapa ndak kepikiran dari tadi?” kataku.
“Jadi nanti siapa aja yang ikut?” tanya Abdul.
“Undang aja beberapa teman, terus aku bakal kasih link ke orang-orang komplek. Lumayan mereka bisa nambah ilmu agama,” kataku.
“Okelah, aku kasih tau yang lain dulu. Assalamu’alaikum,” kata Abdul.
“Waalaikumussalam.”
Sekarang aku harus memikirkan siapa yang akan memberi materi. Tiba-tiba terlintas sebuah ide, “Mengapa tidak aku saja yang memberi materi?” Aku pun mengambil laptop, membuka situs pencarian, mencari materi tentang keutaman shalat berjamaah di masjid, lalu membuat ringkasan materi.
Lima belas menit mencatat, ponselku berdering. Ternyata Abdul yang mengirim pesan. “Nanti siapa yang ngasih materi? Terus kapan?” itu isinya. Dengan pede-nya aku bilang padanya kalau aku yang akan memberi materi. Untuk tanggal pengajiannya aku bilang lusa, yaitu hari Kamis setelah shalat Ashar.
”Hah? Serius? Gak terlalu cepat pengajiannya?” tanya Abdul tidak percaya.
“Tenang saja, InsyaAllah bisa,” jawabku.
****
Sholat ashar telah selesai. Seperti biasa hanya orang tua saja yang datang. Aku mengeluarkan laptop, bersiap untuk acara pengajian online. Link untuk mengikuti pengajian juga sudah aku kirimkan. Kakek tampak keluar surau, tidak ingin mengganggu sepertinya. Aku melirik laptop, sudah ada beberapa orang yang menunggu untuk memulai pengajian. Aku berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan saat menyampaikan materi dan memberi manfaat pada orang-orang yang mendengarkan.
Semuanya tampak sudah masuk, kami pun memulai pengajian. Dimulai dari Abdul yang menjadi moderator, hingga sesi tanya jawab berjalan lancar. Orang-orang antusias mendengar materi. Sepertinya ideku berhasil mengajak orang-orang untuk datang ke surau setidaknya untuk shalat berjamaah. Sebelum mengakhiri acara aku berpesan kepada orang-orang untuk datang ke surau Magrib nanti. Acara pun ditutup oleh Abdul. Aku tersenyum girang, berteriak dalam hati. Tidak sabar untuk melihat orang-orang datang ke surau.
Adzan Maghrib telah dikumandangkan. Kulihat hanya orang tua saja yang datang. Awalnya aku kecewa, tetapi sesaat setelah itu, ada beberapa wajah baru yang datang ke surau. Akupun mengucap hamdalah, setelah itu iqomah dikumandangkan, dilanjutkan dengan shalat maghrib.
****
Biodata
Revandra Ahza Rizkia, lahir di Bogor, 14 April 2007. Ia merupakan siswa SMP Islam Raudhatul Jannah, Payakumbuh. Alamat di Jorong Talaweh, Mungo, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Rantau, Surau, dan Lelaki Minangkabau
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Ketua DPP FLP Sumbar dan Dosen Jurusan Komunikasi UPN Veteran Jakarta )
Saya sudah beberapakali menulis tentang fenomena rantau, surau, dan lapau dalam siklus hidup lelaki Minangkabau. Walaupun sudah sering dibicarakan namun fenomena itu selalu saja menarik untuk dibicarakan. Salah satu tulisan saya yang berjudul “Luka Kultural Lelaki Minangkabau” yang menjadi bagian dari buku Membaca Minangkabau Membaca Indonesia (2016) membahas tentang bagaimana peran rantau, surau, dan lapau itu bagi lelaki Minang.
Tsuyoshi Kato dalam bukunya Nasab Ibu dan Merantau Tradisi Minangkabau yang Berterusan di Indonesia, mengungkapkan bahwa ada 3 ciri utama masyarakat Minangkabau. Menurut peneliti berkebangsaan Jepang yang melakukan penelitian di Minangkabau tahun 1972 ini, ketiga hal itu adalah: Pertama taat kepada agama Islam, kedua berpegang kuat pada sistem kekeluargaan nasab ibu, dan ketiga kecendrungan untuk pergi merantau.
Dalam cerpen “Surau” yang ditulis Revandra Ahza Rizkia salah seorang siswa SMP Raudatul Jannah, Payakumbuh ini kembali pembaca diajak untuk memahami bagaimana arti surau dan rantau bagi lelaki Minang. Cerpen “Surau” bercerita tentang tokoh “Aku” yang merupakan seorang lelaki muda Minangkabau yang ingin melanjutkan sekolahnya ke Padang, karena hanya di kota itu jurusan yang diinginkannya tersedia (sepertinya sekolah SMK).
Tokoh “Aku” hidup dengan latar belakang keluarga sederhana sehingga Apak (Ayah) memintanya untuk tinggal di surau jika memang harus sekolah ke kota Padang. Menurut Apak, tinggal di surau tidak hanya menghemat biaya hidup tetapi juga belajar tentang hidup. Begitulah singkat cerita tokoh “Aku” ini pergi ke Padang, kemudian diceritakan bagaimana perjuangannya untuk bisa tinggal di surau dan perjalanan bagaimana memakmurkan surau lapuk yang menjadi tempat hidupnya yang baru.
Dalam kehidupan laki-laki Minangkabau, suatu hal yang biasa laki-laki pergi merantau dan tinggal di surau untuk menuntut ilmu. Sebelum merantau, kaum laki-laki tinggal di rumah gadang keluarga sebelum dia memasuki usia baligh. Setelah itu, dia akan tinggal di surau sambil menuntut ilmu agama dan adat.
Oleh sebab itu, ketika sudah terbiasa di kampung halaman hidup di surau dengan membekali diri tentu ketika merantau dia tidak canggung untuk tinggal di surau. Tinggal di surau bagi lelaki Minangkabau dia harus memiliki keterampilan sosial. Untuk tinggal di surau seorang laki-laki harus bisa mengaji, dia harus bisa adzan dan iqamat, serta tentunya harus bisa jadi imam shalat berjamaah. Selain itu keterampilan lain sebagai anak surau, dia harus bisa memimpin doa karena biasanya anak surau akan sering diundang untuk mandua (berdoa) untuk acara-acara tertentu di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, seorang anak surau harus punya keterampilan hidup bermasyarakat.
Lalu bagaimana anak surau yang diceritakan di dalam cerpen “Surau” karya Revandra ini? Anak surau masa kini tentu berbeda dengan anak surau di zaman dulu. Dulu mungkin mereka di kampung sudah dibekali berbagai keterampilan hidup itu. Surau tempat belajar silek, belajar pasambahan, belajar pidato adat dan belajar ilmu agama. Sekarang, tentu kehidupan sudah berubah, hampir tidak ditemukan surau-surau yang menjadi tempat tidur anak-anak muda dimana disana mereka juga belajar berbagai keterampilan untuk hidup itu.
Dalam cerpen ini diceritakan anak surau yang sudah modern. Contohnya ketika tokoh “Aku” ingin memakmurkan surau, dia tidak lagi mengadakan pengajian dengan mengundang ustadz ke surau. Kini anak surau bisa mengadakan pengajian online melalui aplikasi yang ada seperti zoom atau google meet. Inovasi dalam berdakwah ini dalam cerpen “Surau” cukup manjur untuk mengajak orang-orang untuk memakmurkan surau.
Begitulah kehidupan anak Minangkabau di rantau. Merantau bagi lelaki Minangkabau pada suatu masa adalah suatu keharusan. Setidaknya merantau untuk menuntut ilmu. Seperti jalan lurus terbentang yang bercabang, satu jalan menuju rantau, satu ke jalan lain yang ujungnya di rantau juga. Rantau adalah ladang semaian tempat lelaki Minangkabau menemukan dirinya.
Sebagaimana pesan tokoh “Apak” dalam cerpen “Surau” ini, seperti terlihat dalam kutipan berikut:
“Waang boleh sekolah di kota, tapi waang harus tinggal di surau,” begitu kata Apak akhirnya. Aku paham, kesulitan hidup membuat Apak sedih karena tidak bisa mengabulkan permintaanku untuk sekolah di Padang. Tapi aku masih bersukur, Apak masih mengizinkan walau dia terpaksa menyarankan aku tinggal di surau karena tidak ada biaya untuk membayar sewa rumah kos. “Di surau tidak hanya sekadar menghemat biaya sekolah, tapi Waang bisa belajar hidup,” lanjut Apak.
Dalam kutipan itu sangat jelas bahwa merantau dan tinggal di surau sejatinya bukan untuk menghemat biasa (urusan pragmatis) akan tetapi juga dalam rangka pendidikan bagi anak-anak Minangkabau yang tentunya tidak akan mereka dapati di lembaga pendidikan formal.
Kembali ke cerpen “Surau” ini, bisa dilihat bahwa tema yang diangkat oleh Revandra ini walaupun sudah banyak yang membahasnya dalam berbagai karya sastra, namun tema tentang rantau dan surau ini masih menarik untuk diolah menjadi karya kreatif. Teman ini tidak akan habis-habis untuk dieksplorasi menjadi cerita baik menjadi cerpen atau bahkan novel. Setidaknya Revandra sudah membuktikannya melalui cerpen “Surau” ini. Walaupun terlihat sangat klise, tetapi tetap saja ada yang menarik dari cerita tentang perjuangan anak Minang untuk merantau dan belajar hidup di surau ini.
Jika dibaca secara seksama cerpen “Surau” ini, memang banyak kekurangan yang harus ditutupi oleh pengarangnya. Contohnya pengarang tidak menceritakan latar kehidupan tokoh “Aku” sebagai dasar cerita, sehingga sepertinya pembaca terburu-buru disuguhkan permintaannya untuk merantau dan pesan Apak (Ayah) untuknya agar tinggal di surau. Latarbelakang cerita ini sangat penting sebagai dasar bercerita bagi pengarang. Hal ini juga akan memudahkan pembaca untuk menikmati cerita agar sesuai dengan logika cerita.
Kelemahan kedua, penulis masih gagap menyusun alur cerita, sehingga harus membuat cerita yang melompat-lompat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Hal ini bisa dimaklumi karena cerita ini tentu adalah bagian dari proses kreatif pengarangnya dalam belajar menulis cerita pendek. Dengan semakin banyak menulis dan diimbangi membaca karya-karya orang lain, tentu ke depan kelemahan ini bisa diatasi dengan baik.
Hal lain yang agak ganjil adalah ketika tokoh “Aku” digambarkan sebagai lelaki dari keluarga kurang mampu dari kampung, kemudian dia memiliki laptop yang mungkin bagi sebagian orang masih merupakan barang mewah. Hal ini terjadi karena pengarang membawa cerita dalam kehidupannya sehari-hari dimana anak-anak SMK atau SMA sekarang sudah terbiasa memiliki laptop sebagai bagian dari alat untuk sekolah.
Tapi pengarang lupa bahwa dia sedang menghidupkan dunia fiksi dalam ceritanya. Hal yang biasa jika pengarang membuat sesuatu yang lebih dramatis seperti ketika temannya menyarangkannya untuk mengadakan pengajian online untuk memakmurkan masjid. Hal ini bisa menjadi titik tolak untuk membuat penghalang bagi tokoh utama untuk mewujudkan niatnya untuk mengadakan pengajian online untuk masyarakat. Dari sini juga bisa dihadirkan solusi contohnya tokoh “Aku” berusaha untuk meminjam laptop pada pihak lain demi mengadakan pengajian online ini.
Demikianlah sebagai sebuah bagian dari proses kreatif pengarangnya, cerita “Surau” ini sudah hadir di tengah-tengah pembaca. Apa pun kesan yang muncul setelah membaca cerita ini hal yang perlu digarisbawahi adalah cerita yang disajikan ini adalah bagian dari proses kreatif pengarangnya dalam berlajar menulis fiksi. Ke depan tentu saja kita tunggu karya-karya yang lebih baik dari pengarang cerita ini. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post