Oleh:
Ofika Rahmat Julias, S.H.,CFP.
(Wakil Seketaris Komisi Keuangan KNPI Sumbar)
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta telah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo semenjak tanggal 29 April 2019. Sejalan dengan itu, Presiden Jokowi telah memutuskan akan melakukan pemindahan Ibu Kota Negara Baru (IKNB) dari DKI Jakarta ke luar Pulau Jawa. Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo secara resmi melakukan pidato lansung mengumumkan pilihan Ibu Kota Negara dan menetapkan Wilayah Provinsi Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara Baru (IKNB).
Perihal pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara sebelumnya pernah menjadi wacana dari era Presiden Soekarno dan era Presiden Soerharto namun wacana tersebut masih belum terealisasikan sampai saat ini. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto hampir saja terealisasikan yang diinisiasi dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1997 di mana terpilih Wilayah Jonggol Jawa Barat sebagai kandidat Ibu Kota Negara Baru yang berjarak tidak terlalu jauh dari DKI Jakarta, yaitu berkisar 50 Kilometer dengan luas wilayah sebesar 30 ribu hektare.
Namun, perpindahan Ibu Kota Negara ke Wilayah Jonggol terpaksa dihentikan karena diselimuti oleh isu dan indikasi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sebelum Keppres ditandatangani, pemerintah telah menunjuk konsorsium PT. Bukit Jonggol Asri sebagai pihak usaha yang melakukan pembangunan. Perusahaan tersebut dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo sang putra ketiga Presiden Soeharto.
Menyiasati perihal tersebut, Presiden Joko Widodo melakukan langkah strategis untuk melakukan percepatan perpindahan Ibu Kota Negara yang belum dituntaskan oleh era Presiden terdahulu. Pembangunan Ibu Kota Negara Baru ke wilayah Penajam Paser Utara Kalimantan Timur menjadi program prioritas nasional yang telah masuk kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
Menurut data Kementerian PPN/Bappenas, pemindahan Ibu Kota Negara harus dilakukan keluar pulau Jawa karena alasan beberapa faktor pendukung. Pertama, Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk tertinggi sekitar 57 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di pulau Jawa. Kedua, kontribusi ekonomi Pulau Jawa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai 58,49 persen. Ketiga, ada krisis ketersediaan air di Pulau Jawa terutama wilayah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Keempat, konversi lahan terbesar terjadi di Pulau Jawa. Kelima, pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi dengan konsentrasi penduduk terbesar di DKI Jakarta dan Jabodetabekpunjur. Keenam, meningkatnya beban DKI Jakarta sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi.
Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo telah mengungkapkan bahwa pembangunan Ibu Kota Negara membutuhkan waktu kurang lebih 15-20 tahun melalui proses dan tahapan pembangunan dan pemindahan administrasi Ibu Kota Negara. Dilansir dari data PPN/Bappenas, pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan melalui periodesasi dan tahapan pembangunan susuai Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan (Rakortekrenbang). Tahapan pertama, periode 2022-2024 fokus pembangunan infrastruktur dan kekuatan pokok minimum. Tahapan kedua, periode 2024-2035 fokus pada penyelesaian pemindahan pemerintah dan mengembangkan pusat inovasi serta ekonomi. Tahapan ketiga, periode 2035-2045 fokus terhadap pembangunan seluruh infrastuktur serta pemantapan konektivitas antarprovinsi dan dalam kota.
Pembangunan Ibu Kota Negara berlansung pada tahun ini dan dilanjutkan ground breaking atau peletakkan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo sebagai tahap awal pembangunan Ibu Kota Negara Baru (IKNB). Hal tersebut diperkuat dari pengesahan Rencana Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara Baru menjadi Undang-Undang (UU) yang merupakan titik balik pembangunan Ibu Kota Negara Baru karena selama ini pembangunan awal Ibu Kota Negara Baru masih berjalan tanpa dukungan aspek legalitas dan legitimasi sehingga menyebabkan pembangunannya berjalan secara tersendat-sendat.
Adanya keberadaan UU IKN menjadi bukti bahwa perpindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur menjadi nyata. Sebagian peneliti berpendapat bahwa pengesahan UU IKN terkesan terburu-buru sehingga belum dibahas secara mendalam dan komprehensif terhadap megaproyek Ibu Kota Negara Baru tersebut. Senada dengan ini, juga diakui oleh Ketua Pansus RUU IKN, sampai disetujui pada rapat paripurna di DPR RI terbilang cepat semenjak dibentuk Tim Pansus IKN pada tanggal 7 Desember 2021 dengan alasan agar UU IKN menjadi payung hukum bagi para investor yang ingin terlibat mendanai pembangunan Ibu Kota Negara Baru.
Hadirnya UU IKN atas pembangunan megaproyek Ibu Kota Negara Baru juga disoroti oleh beberapa tokoh ekonom yang dinilai masih belum layak untuk dilakukan percpatan pembangunannya saat ini karena Indonesia sedang mengalami krisis global terkait pemulihan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Masalah ini membuat negara tidak fokus dalam menangani percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19 yang mengakibatkan rakyat kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinan semakin bertambah.
Ditambah lagi besaran biaya pembangunan dan perpindahan Ibu Kota Negara Baru yang membutuhkan dana tidak sedikit. Dilansir dari ungkapan Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan Ibu Kota Negara akan membutuhkan dana sebesar 35 miliar dollar Amerika Sarikat (AS) atau setara dengan Rp 501 triliun. Dana pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara diperkuat dengan adanya legalitas UU IKN memakai dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dikutip dalam halaman situs ikn.go.id bahwa pelaksanaan pembangunan megaproyek IKN mayoritas akan menggunakan dana APBN dengan perincian 53,5 persen menggunakan APBN dan 46,5 persen menggunakan dana lain dari skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan swasta. Perihal jumlah ini sangat jauh berbeda dalam peningkatan penggunaan APBN dibandingkan pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya. Pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya hanya akan menggunakan dana APBN sebesar 19,2 persen untuk pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan. Skema ini sebelumnya telah dirincikan oleh pemerintah pusat menggunakan anggaran APBN hanya dengan porsi 19,2 persen atau sekitar Rp 89,472 triliun, melalui swasta dengan porsi 26,2 persen atau sekitar Rp 122,092 triliun dan KPBU dengan porsi 54,6 persen atau sekitar Rp 254,436 triliun.
Dengan besarnya beban biaya yang dikeluarkan oleh pembangunan IKN, tentu akan memakan biaya APBN yang menyerap kas negara tanpa adanya penyelesaian proses anggaran yang masih dinilai kurang memadai. Terlebih lagi saat ini Softbank Group yang merupakan salah satu kandidat kuat sebagai investor pembangunan IKN telah mengumumkan pembatalannya melakukan penanaman dana ke proyek tersebut. Tentu peluang pembangunan IKN memperoleh investasi berkisar 30-40 miliar dolar Amerika Sarikat (AS) dari grup asal jepang menjadi pupus.
Tanpa adanya investor yang masuk ke dalam megaproyek ambisius itu maka tidak diherankan lagi bahwa APBN akan dikorbankan untuk menyelesaikan pembangunan IKN. Hal itu terlihat dari upaya Menteri Sri Mulyani yang akan mengalihkan 12 persen anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ke dalam pembangunan IKN yang dinilai bagian dari turunan percepatan pemulihan ekonomi nasional bagi Indonesia.
Dilihat dari kondisi keuangan saat ini, Indonesia mengalami defisit anggaran berdasarkan outlook 2021 yang diperkirakan mencapai Rp 961,49 triliun atau sekitar 5,82 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan pemerintah telah mengungkapkan hingga akhir November 2021 utang pemerintah telah mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84 persen dari PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkonfirmasi bahwa hutang pemerintah meningkat saat pandemi karena pendapatan negara anjlok, sedangkan belanja negara harus terus dilakukan bahkan diperbesar nilainya. Namun, sampai saat ini, pemerintah selalu berlandaskan pembangunan IKN akan menjadi pendorong dari faktor ekonomi dan sosiologisnya walaupun pada kenyataan pembangunan megaproyek IKN terlihat dipaksakan dengan kondisi keuangan yang belum stabil dan roda ekonomi serta kesehatan masih belum pulih. Oleh sebab itu, dasar asumsi untuk kebutuhan masyarakat tanpa menjelaskan lebih lanjut masyarakat mana yang dimaksud, sebenarnya pembangunan megaproyek IKN ini untuk siapa?
Jika dilihat proses dan tahapan pembangunan IKN yang begitu panjang dan membutuhkan banyak waktu dan biaya padahal pemindahan IKN dinilai hanya memicu 0,02 persen terhadap ekonomi nasional. Dampak yang sangat signifikan hanya akan dirasakan oleh Provinsi yang bersangkutan saja dengan pertumbuhan sekitar 3,14 persen. Apabila pembangunan megaproyek IKN terlalu dipaksakan tanpa persiapan yang matang, akan berdampak lebih besar dan kemungkinan akan terjadi mangkrak dalam pembangunan IKN ini serta sarangnya praktik KKN dalam pembangunan megaproyek.
Pada situasi dan kondisi saat ini, harus ada pertimbangan antara keharusan dan keinginan terkait prioritas fiskal. Prioritas yang menjadi keharusan kebijakan fiskal meliputi penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, sedangkan posisi pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara hanya merupakan suatu keinginan yang masih belum urgent untuk dipaksakan secara cepat. Dalam perihal ini, jangan sampai suatu keinginan mengalahkan yang sifatnya keharusan untuk dilakukan.
Discussion about this post