Cerpen: Otriramayani
Aku menatap amak, menghindar dan menarik napas untuk kesekian kalinya. Sulit. Benar-benar sulit untuk menjawab pertanyaan Amak. Menjawab ya, berarti aku akan berlawanan pendapat dengan kedua kakakku. Sebaliknya, jika menjawab tidak, aku akan membuat beliau kecewa.
“Kenapa harus kita, Mak?” Pertanyaan itu yang kemudian keluar dari mulutku.
Amak menatapku, mungkin ia heran dengan pertanyaanku. “Karena memang hanya kita yang dipunyai Mak adang
Aku mengernyitkan dahi. “Maksud Amak?”
Amak menatapku tidak senang. Aku membalas tatapan itu lembut, berharap beliau memaafkan jika aku bersikap lancang.
“Kamu tahu, hanya kita dunsanak Mak Adang. Ia satu-satunya mamakmu setelah Mak Etek meninggal.”
Aku terdiam. Bermacam-macam argumen yang telah kusiapkan setelah aku mengetahui penyebab amak memanggilku pulang ingin kukeluarkan. Situasi yang kuhadapi tidak memungkinkan. Jika terus memaksakan diri menyampaikan pendapatku tidak tahu apa yang bakal terjadi. Amak bukan tipe orang yang bisa diajak berdiskusi apalagi harus berbeda pendapat dengan anak-anaknya.
Diam. Amak menatap dinding. Tatapan yang juga penuh kegundahan. Aku merasa tidak enak melihat amak harus berada dalam situasi seperti ini.
“Si Eni dan Si Edi bersikeras tidak mau menerima Mak Adang-mu, karena itu Amak mengharapkan jawabanmu. Kau mau menerima Mak Adang atau tidak? Kalau kau setuju Amak akan menampung Mak Adang di sini” suara amak terdengar sedikit memaksa, “Amak yakin kau bisa memberi pengertian pada kakak-kakakmu itu.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari dinding rumah yang semakin gelap dimakan zaman.
“Mereka keberatan menerima Mak Adang, mungkin mereka pikir Amak akan membebankan pada mereka. Kalau kamu? Kamu kan tidak akan terganggu dan terbebani. Kamu tidak tetap di sini, pulangmu saja hanya sekali-sekali.” Amak melanjutkan ucapannya. Suara amak datar, namun mampu menekan batinku cukup keras. Di satu sisi amak benar, aku hanya pulang sesekali. Namun, aku tidak pernah bisa menyaampaikaan pada amak sisi lain, kenapa aku begitu. Seperti sebelum-sebelumnya aku selalu hanya menyimpan sendiri. Sama seperti hatiku memahami keberatan Ni Eni dan Da Edi. Setiap hari Ni Eni mengajar. Pulang sekolah, selain harus melakukan banyak tugas rumah tangga dan mengurus kedua anaknya sendirian, dia juga masih harus bekerja membantu suaminyaa di ladang. Ladang yang tidak begitu luas itu cukup membantu keuangannya selain honornya menjadi guru. Walau tidak tinggal satu rumah dengan amak, jika mak adang di rumah kami tetap akan mengganggunya. Ni Eni tidak akan tega melihat amak sibuk sendiri. Sementara itu, Da Edi, dia memang tidak perlu membantu menyediakan makanan Mak Adang atau mencuci pakaiannya, tapi sepulang berdagang keliling ia butuh waktu untuk istirahat. Bagaimana ia bisa istirahat jika Mak Adang di rumah. Belum lagi ia harus menambah uang belanja untuk amak.
“Yul, kau yang sering mengatakan pada Amak bahwa kita harus saling memperhatikan dan membantu. Mak Adang itu keluarga kita, ia saudara kandung Amak.”
“Mak…” Aku menarik napas. “Yul, tahu maksud Amak baik. Ni Eni dan Da Edi pun pasti tahu. Tapi…, itu bukan kewajiban Amak, bukan kewajiban kita.” Kuturunkan nada suaraku di kalimat terakhir. Aku tetap kuatir amak akan tersinggung dan marah. Lega, amak tidak bereaksi seperti yang kukuatirkan. Ia kembali menatap ke arah dinding. “Mak Adang itu masih punya istri dan anak. Kewajiban anak-anak dan istrinya untuk merawatnya.”
Kutunggu reaksi amak. Lama. Amak kemudian berdiri dari kursi yang sedari tadi didudukinya. Tanpa menoleh padaku amak melangkah ke belakang. Aku Cuma bisa melongo. Perasaan sedih menguasai seluruh hatiku. Bukan karena setelah jauh-jauh datang dari Padang meninggalkan pekerjaan tapi hanya mendapatkan ini. Sedih, karena dari dulu amak tidak pernah berubah. Buat amak, pendapat anak selalu ditanya. Namun, perbedaan pendapat sepertinya hal yang sangat tabu untuk beliau. Berbeda dengan kedua kakakku, aku memang cenderung terlalu perasa jika berselisih paham dengan amak. Sering dari dulu, perbedaan pendapat kami membuat aku harus berurai air mata memohon maaf beliau.
Sampai malam berikutnya amak tidak bicara apa-apa padaku. Serba sulit. Terus bertahan di dalam rumah dengan kebisuan membuat aku benar-benar tertekan. Turun ke bawah, ke rumah Ni Eni aku tidak berani. Bisa-bisa amak mengira aku dan Ni Eni bersekongkol. Untung kedua anak Ni Eni biasa bolak-balik ke rumah atau aku memanggil mereka lewat jendela samping yang bersebelahan dengan rumah Ni Eni. Aku menunggu saat-saat yang memungkinkan untuk bicara dengan amak. Ada rasa iri dalam hatiku pada kedua kakakku Dari dulu mereka bisa saja berbeda pendapat atau malah berdebat dengan amak tanpa harus merasa bersalah.
“Assalamualaikum!” Suara salam diiringi ketukan pintu.
Tergesa aku menghampiri pintu. Abak? Dugaanku tidak salah. Begitu pintu terbuka wajah abak muncul. “Bilo tibo ?”
“Patang siang, Bak,” jawabku. Aku mengambil jinjingan di tangan abak dan mengikuti beliau masuk.
“Lah bara hari Abak di Mudiek?” tanyaku. Abak tertawa pelan. Mungkin dia mentertawakan pertanyaanku. Aku ikut tertawa. Sebenarnya aku sudah tahu dari amak kalau abak baru pergi kemaren pagi.
“Baa kaba urang Mudiek, Bak?”
“Dari tadi bertanya saja, biarkanlah Abakmu duduk dulu! Buatkan minum!” ujar amak yang muncul di belakangku. Walau kaget aku tersenyum. Aku lega amak bicara juga padaku. Aku berjalan ke dapur, dan kembali dengan segelas kopi.
“Minum, Bak!” Aku menyodorkan kopi pada abak yang berselonjor di atas kapuak padi. Kami duduk bertiga. Aku masih menyimpan senyum melihat sikap amak yang sepertinya canggung kepadaku. Mungkin belia masih kesal padaku.
“Manga urang di Mudiek, Bak?” tanyaku beberapa saat kemudian.
“Indak manga-manga do.” Abak menyeruput kopinya, Sangat menikmati kopi buatanku yang menurut amak tidak enak. Anehnya dari dulu abak selalu suka aku yang membuatkan kopinya. Ntah dimana tidak enaknya di selera amak.
Lalu kenapa abak pergi sampai dua hari meninggalkan amak yang sedang punya persoalan?
“Memang harus begitu kalau jadi mamak. Tidak hanya anak yang diurus tapi juga keponakan.” Ucapan amak seperti bisa membaca keherananku.
“Ya. Orang-orang mudiek lamak punya Mamak seperti Abak. Seluruh urusan keponakan, abak ikut mengurus. Mau nikah, mau sekolah. Pak tuo dan Pak etek enak. Anak mereka diperhatikan mamaknya. Mana yang seperti kita, punya mamak tapi…” Aku menutup mulut. Terlambat! Amak menatapku tajam. Aduh! Kenapa aku sampai lupa kalau situasi sedang tidak memungkinkan untuk mengucapkan kata-kata itu. Abak mendelikkan matanya padaku. Sepertinya abak mengetahui situasi antara aku dan amak.
“Kita makan malam, ya, Bak!” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Abak sudah makan.” Abah kembali menyesap kopinya.
“Makan saja kembali, Bak! Kita makan sama-sama. Yul ambilkan nasinya, ya, Mak!” berharap sekali abak mau makan bersama. Katanya makan bersama itu penting untuk mengakrabkan keluarga. Karena itu mungkin orang Minang dulu suka sekali berkumpul dan makan bersama walapun mereka sebenarnya sudah makan di rumahnya masing-masing. Tanpa menunggu lagi abak menjawab, kau beranjak untuk menyiapkan makanan seraya merangkul bahu amak. Mencoba berakrab-akrab.
“Amak ndak lapa do, amak mengantuak, nio lalok.” Amak melepaskan tannganku dari bahunya lalu meninggalkan kami. Deg! Jantungku seperti mau copot. Patah sudah seluruh harapanku. Kakiku terkunci di tempat. Ada yang mendesak dari kedua mataku. Kucoba untuk menahan sekuat tenaga.
“Sudahlah! Kamu makan sendiri saja!” Abak menghiburku. Memandang lelaki tua itu. Beragam rasa berkecamuk di hatiku. Kesal, sedih. Kok abak santai aja melihat ketegangan anak dan istrinya. Kebalikan dari amak, abak cenderung cuek dan tidak terlalu memikirkan hal hal yang menurutnya remeh-temeh.
“Tentang Mak Adang itu bagaimana menurut abak?” tanyaku beberapa saat kemudian. Aku menatap abak. Lama. Tak ada jawaban. “Menurut Yuli sebenarnya Abak yang berhak untuk memutuskan. Abak kan kepala keluarga, pemegang kekuasaan di rumah kita.”
Abak tertawa, “Ada-ada saja kamu!” Aku ikut tertawa. Dibalik sikap cueknya abak memang pandai membuat suasana jadi menyenangkan.
“Tapi benar, kan?”
Abak terdiam sesaat, “Yul, Abak memang kepala keluarga, tapi itu untuk urusan rumah dan anak-anak Abak…”
“Nah, Mak Adang itu kan mau dibawa ke rumah kita, ke rumah Abak,” potongku.
Kembali abak terdiam
“Abak pribadi sebenarnya senang saja menerima siapa pun di rumah kita. Rumah ini besar. Hanya Amak dan Abak berdua di rumah. Jadi tidak masalah.”
“Tapi, untuk persoalan Mak Adang beda, Bak.” Aku kembali memotong ucapan abak. Kutunggu reaksi abak. Lelaki enam puluh tahunan itu kembali menyesap kopi yang semakin mendekati tumpukan serbuknya. Abak seperti tidak mendengar ucapanku barusan. Beliau malah mengambil rokoknya dan bersiap siap untuk membakar.
“Bak!” Aku meningikan suaraku. Hal yang jarang sekali aku akukan pada lelaki yang sejak kecil selalu jadi orang yang kubanggakan dan hormati.
Abak menatapku sambil melanjutkan membakar rokoknya, menghisab rokoknya dalam, dan menghembuskan asapnya dari mulut dan hidung. Aku terbatuk. Kebiasaan abak dan kebanyakan laki-laki Minang yang satu ini sangat tidak kusukai. Sudah berkali-kali dinasehati, tapi tidak pernah digubris. Menurut abak, ia perlu merokok untuk bergaul di warung, di rapat nagari, baralek dan banyak alasan lainnya. Dulu ketika masih ada daun dan dan tembakau beliau berkilah, kan hanya mengisap daun enau bukan rokok. Padahal sama saja, toh isinya tetap saja tembakau.
“Bak, tolong lah! Besok Iyul sudah harus kembali ke Padang. Tidak bisa izin lama lama, tapi kan tidak mungkin meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini,” Aku memelas. Kutatap Abak yang masih asyik dengan rokoknya. Ingin rasanya aku menarik rokok dari mulutnya dan memaksanya bicara.
“Kamu masih berang pada Mak Adangmu?” Pertanyaan abak mengagetkanku. “Sudahlah! Bagaimanapun itu kan masa lalu, toh kalian tetap bisa tetap makan dan sekolah. Bagaimanapun beliau mamak kalian. Semua sudah terjadi. Sekarang, dia sakit, butuh perawatan, butuh perhatian.” Abah tidak bisa membaca reaksiku. Aku menatap abak. Tidak percaya dengan pendengaranku. Ternyata pikiran abak dan amak sama saja. Selalu soal berang, balas dendam. Mmmhh, aku mendengus tak senang.
“Ini bukan karena masih berang atau tidak. Bagi kami, selama ini tak masalah Mak Adang tidak perhatian pada kami. Kami tahu beliau punya istri dan anak yang harus di urus dan dibiayai. Kami sadar Mak Adang bukan touke kaya yang bisa membagi-bagi uang pada keponakannya. Kami cukup bahagia punya abak yang telah merawat dan membiayai kami. Bagaimana pun kami kan tanggung jawab Abak.” Aku terdiam sejenak seraya memperhatikan abak. Tak kulihat reaksi apa pun. Abak masih menikmati rokoknya.
“Sekarang Mak Adang sakit, tidak bisa apa-apa. Ia mau kembali ke rumah dunsanak. Bak, itu tidak mungkin!. Yang bertanggung jawab merawat Mak adang itu istri dan anak-anaknnya, bukan Amak, Ni Eni, Da Edi maupun saya.” Masih kutunggu reaksi abak. Kulihat ia menghela napas berat dan menghembus kencang seperti melepaskan sesuatu yang entah apa. Rokoknya sudah habis. Semakin lama melihat, semakin jelas kubaca gundah diwajahnya.
“Tolonglah, Bak! Beri pengertian pada Amak. Saya, Ni Eni dan Da Edi sayang dan hormat pada Mak Adang. Tidak setuju Mak Adang dibawa ke sini bukan berarti kami tidak memperhatikannya. Kalau ada kesempatan saya akan pulang melihatnya. Ni Eni dan Da Edi pun selalu menjenguk beliau. Permintaan untuk membawanya ke sini tidak mungkin. Rumah Mak Adang kecil, mintuo tidak punya uang, anak-anak sibuk ,itu alasan yaang dicari-cari. ”
Abak mengurak selonya.
“Bak!”
“Ndak ka pai Abak do.” Kusembunyikan tawaku mendengar jawaban abak. Situasi begini pun abak masih bercanda.
“Abak dan kakak kakakmu sebenarnya sudah mencoba bicara dengan Amakmu.” Abak bicara setelah kembali ke posisi duduknya semula. “Kamu tahukan , tabiat Amakmu seperti apa. Keras dan sulit diajak bermusyawarah. Keinginannya harus diikuti. Apalagi kalau urusan Mak Adangmu. Abak sendiri tidak bisa berbuat banyak. Abak kan hanya sumando di sini. Rumah ini bukan rumah kita. Rumah ini rumah gadang ,rumah pusako. Mak Adangmu pun punya hak untuk tinggal di rumah ini. Mak Adang itu tidak hanya Mamak tuo, tapi juo Mamak kaum. Mungkin menurut Amak, kalau Mak Adang di sini keponakan-keponakan sekaum yang lain lebih dekat menjenguk.”
Aku menangkap nada tidak berdaya dalam suara abak. Perasaan kurang senang berlayar bebas di dadaku. Beginikah resiko menghuni rumah pusako? Seluruh beban adat ditimpakan di pundak kita. Kalau saja abak kaya, bisa punya rumah sendiri, tanah sendiri, sehingga tidak perlu membiayai kami dengan mengolah tanah pusako mungkinkah akan berbeda? Abak juga tidak perlu tersinggung karena Mak Adang mengambil alih tanah peladangan yang sedang digarab atau tersinggung karena Mak Adang lebih memilih menggadaikan sawah daripada diolah Ni Eni dan suaminya.
“Bak, soal rumah mungkin benar. Tapi bagaimana dengan hal lain. Apa mintuo dan anak-anaknya yang akan merawat Mak Adang di sini. Kalau tidak, otomatis Amak dan Ni Eni yang akan banyak tersita waktunya. Belum lagi biaya. Abak kan tahu tabiat mintuo dan anak-anak Mak Adang. Mereka selalu berpikir kita banyak uang dan harta pusako.” Aku tetap belum bisa menerima. Padahal, berapalah hasil sawah yang hanya dua tumpak.
“Yuli…!” suara abak terhenti, “Abak mengerti apa yang kalian pikirkan. Tapi, kita ini orang Minang, orang beradat. Kamu tahukan bagaimana adat kita menghormati dan menempatkan mamak. Jadi kalau hanya sekedar tinggal di rumah dunsanak dihari tua itu hal yang wajar bagi seorang mamak.”
“Masa iya, Bak?”
“Ya, memang begitu.”
“Kok, saya baru tahu?” Suaraku lebih sebagai keluhan, “Tidak bisa begitu, Bak! Masa selagi hidup ia bekerja keras untuk membesarkan anak-anak, sudah tua anak-anak melepaskan tanggung jawab dengan menyerahkan pada dunsanak dan keponakan.”
“Itukan sudah hal biasa dalam adat kita. Dari dulu mamak sering dibawa ke rumah dunsanak atau keponakan kalau sudah tua.”
“Itukan dulu, Bak!” Aku terus protes. Sulit bagiku untuk menerima apa yang disampaikan Abak.
“Apa bedanya dulu dan sekarang?”
“Beda, Bak,” potongku cepat. “Dulu keluarga Minang hidup dari hasil mengolah tanah pusako, menggadai. Pokoknya biaya rumah gadang itu mudah dan ditanggung secara bersama-sama. Setahu saya dulu mamak juga bertanggung jawab membiayai hidup keponakan, jadi wajar kalau sudah tua mamak dirawat kemenakan. Kalau sekarang? Mamak-mamak kan lebih banyak bertanggung jawab terhadap keluarganya sendiri, dan itu memang semesti dilakukan seorang ayah karena itu lebih mulia. Para keponakan itukan tanggung jawab orang-tuanya masing-masing. Itu Amanat yang memang harus dilaksanakan orang tua. Karena itu saya tidak mempersoalkan apa yang telah dilakukan Mak Adang pada kami selama ini…”
“Sudahlah!” abak memotong ucapanku, “Biarkan saja Amakmu yang mempertimbangkan baik buruknnya. Semoga dia juga memikirkan apa-apa yang kau pikirkan. Makanlah! Abak mau keluar sebentar. Jangan lupa berdoa, semoga Allah memberi jalan keluar yang terbaik.” Kali ini abak benar-benar mengurak selonya dan berdiri.
“Oh ya, kamu sudah melihat Mak Adang?” tanya abak sebelum pergi,Aku mengangguk, “Sudah waktu baru datang.” Setelah abak pergi aku memilih masuk kamar, selera makanku sudah terbang.
Aku terbangun oleh suara kesibukan amak di luar kamar. Begitulah Amak, sebelum subuh beliau sudah bangun. Udara dingin tidak menghalanginya untuk pergi berjamaah di masjid dan baru pulang setengah enam. Aku mengucek mata dan menjangkau jam tangan di atas meja. Jam setengah enam! Astagfirullah! Aku segera turun dari empat tidur. Subuhku sudah terlambat. Kenapa amak tidak membangunkanku? Masih marahkah ia padaku? Setengah berlari aku turun ke kamar mandi. Kutahan dingin saat berwudhu. Tergesa-gesa aku kembali naik ke atas. Lalu menunaikan salat Subuh.
“Yul, tolong lihatkan air yang sedang Mak rebus! Amak mau melihat air sawah.” Aku menoleh. Amak berdiri di depan pintu kamarku.
“Mak,Yul ikut ke sawah!” balasku.
“Tidak usah! Nanti siapa yang mengangkat air kau sudah mendidik dan membuatkan kopi abakmu.” Amak melangkah ke pintu dapur. Aku mencoba manahan amak, “”Tidak apa-apa, airnya belum akan masak, lagi pula sawahnya dekat atau minta tolong abak saja.”
“Abakmu sudah duluan ke sawah. Di rumah sajalah! biar Amak pergi sendiri.” Amak mengabaikanku. Dan bergegas keluar, meninggalkan daun pintu yang tertutup agak keras.
Namun, aku lega. Benar-benar lega Amak berbicara denganku seperti tidak ada kejadian apa-apa. Apakah Amak mendengar percakapan kami semalam atau abak yang sudah bicara pada amak? Semoga amak sudah berubah pikiran dan mau mengerti maksud baik anak-anaknya. Aku membereskan mukena dan bermaksud ke belakang.
“Yul, Yul!”
Langkahku terhenti. Di pintu kulihat amak muncul tergopoh-gopoh. “Ada apa, Mak?” Aku menghampiri amak.
“Mak Adang-mu,” Amak sesegukan.
“Ada apa dengan Mak Adang?”
“Mak Adangmu sudah dulu.” Kali ini amak menangis.
“Innalilahi wainnailaihi rajiun!” Aku terpana sesaat. Kupeluk amak, tak ada yang bisa kukatakan.
“Yuli, siap-siap! Kita akan ke rumah Mak Adang.” Abak muncul di depan pintu. Aku menatap abak. Ia mengangguk ke arahku. Mata abak menyiratkan keinginan agar aku bersikap tenang. Ya, aku memang harus tetap tenang. Apa pun, semua sudah terjadi. Aku memeluk amak erat, untuk mengungkapkan banyak hal, sabar, maaf dan entah apa lagi.
Catatan:
Amak; ibu ;Abak; Ayah; Mamak; Panggilan untuk saudara laki-laki ibu, Mintuo; istri mamak; Dunsanak; famili; Bilo tibo; kapan datang; Patang sore; kemaren sore; Lah bara hari; sudah berapa hari; Baa kaba; bagaimana kabar; kapuak padi: tempat menyimpan padi diatas rumah berupa kotak papan; Sumando; ipar laki-laki; Maurak selo; mengubah posisi duduk, Ndak ka pai abak do; Abak tidak akan pergi.
Biodata:
Otriramayani berasal dari Solok dan mulai menulis sejak SMP namun Ummi Kaisa ini mengaku bukan orang yang konsisten dalam menulis. Ia telah menerbitkan kumpulan artikel bersama anggota FLP Pusat dan menulis cerpen untuk harian lokal Padang atau majalah non-komersil. Ia bekerja di berbagai program dan lembaga, menulis modul training, buku panduan, dan juga laporan.
Mengintip Sistem Matrilineal dalam Cerpen Mamak Jinjingan
Oleh: M. Adioska
(Anggota FLP Sumbar dan Guru di Bukittinggi)
Jika pada umumnya kebudayaan lain menganut sistem patrilineal, maka sejak dahulunya, nenek moyang orang Minangkabau telah berketetapan hati untuk mengggunakan sistem matrilineal dalam kekerabatannya. Karena alasan inilah, struktur kebudayaan di Minangkabau menjadi unik. Keunikan ini menjadi semakin menarik ketika sampai di tangan penulis. Sudah menjadi rahasia umum kiranya jika sejak dahulu cerita dengan latar budaya Minangkabau menjadi bahan bacaan yang sangat menarik dan mengena di hati masyarakat, seperti Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, dan banyak lagi novel berlatar Minangkabau lainnya yang lekat di kepala masyarakat banyak hingga saat ini.
Bukan hanya karya sekelas novel, cerita pendek pun juga banyak mengangkat latar kebudayaan Minangkabau. Menariknya sebagian besar konflik dalam cerpen tersebut mengangkat tema tentang fungsi dan peran orang Minangkabau dalam sistem kekerabatan matrilineal yang mereka anut. Yang lebih mengesankan lagi adalah meskipun mengangkat tentang peran yang sama namun karena sudut pandang yang berbeda serta cerminan realita yang bervariasi, jalan ceritanya pun menjadi lebih beragam dan mengandung daya tarik tersendiri. Tidak mengherankan jika terdapat banyak cerpen yang mengangkat tema tentang peran seorang mamak, tetapi memiliki jalan cerita yang jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kemungkinan-kemungkinan tentang seorang mamak yang terjadi dalam kehidupan nyata pada ujungnya akan membentuk alur cerita masing-masing.
Tentang hubungan antara kenyataan dan cerita fiksi, beberapa ahli mengungkapkan pendapatnya, di antaranya menurut Plato. Menurut Plato, karya sastra adalah tiruan dari kenyataan. Oleh karena itu, karya sastra merupakan gambaran dari hal-hal yang benar-benar nyata dalam kehidupan (Saraswati, 2003:20).
Lebih lanjut Teeuw menyatakan bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw dalam Pradopo, 2010:107). Artinya, dalam sebuah karya sastra, khususnya cerita pendek, tidak melulu bercerita tentang khayalan semata atau hasil imajinasi liar sang penulis, tetapi dalam karya tersebut terdapat gambaran-gambaran kebiasaan yang telah mendarah daging, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
Berkaitan dengan pemaparan di atas, kolom Kreatika minggu ini kembali menghadirkan sebuah cerita pendek yang kali ini berjudul Mamak Jinjingan karya Otri. Barangkali, keterbacaan terhadap judul serta teori-teori di atas telah memberikan gambaran bahwa cerpen kali ini mengangkat cerita tentang peran dan fungsi pelakunya dalam sistem matrilineal di Minangkabau.
Secara singkat cerpen tersebut menceritakan tentang tokoh Aku “Yuli” yang berusaha mempertahankan pendapatnya agar Mak Adang–nya yang sedang sakit tidak ditampung di rumah mereka. Dengan berbagai argumen, ia berusaha menentang adat tentang cara menghormati dan menempatkan mamak yang berlaku selama ini. Ia tidak bisa menerima jika Mak Adangnya yang selama ini tidak memberikan apa-apa, justru harus tinggal dan ditampung oleh dunsanaknya sendiri yang selama ini ia abaikan. Ditambah lagi, Mak Adangnya tersebut masih mempunyai istri dan anak-anak yang seharusnya berkewajiban menjaganya. Sementara itu, dipihak lain, amak berpendapat agar Yuli bisa menerima dan merawat Mak Adangnya tersebut. Perbedaan pendapat ini kemudian membuat si amak berkecil hati. Yuli pun tak berputus asa. Ia kemudian menyampaikan pendapatnya kepada si abak yang terkesan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Pada akhir cerita, justru Yang Maha Kuasa sendirilah akhirnya yang memutuskan perkara tersebut.
Secara umum, Cerpen “Mamak Jinjingan” menampilkan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, menarik serta mengandung sugesti estetik sehingga memancing pembaca untuk menyelesaikan bacaannya sampai ke titik akhir. Latar cerita adalah daerah darek Minangkabau di mana peran seorang mamak masih disorot untuk senantiasa dihormati dan dihargai. Dalam cerita memang tidak jelas diterangkan pengarang bahwa setting cerita adalah Minangkabau, bahkan tidak satupun menyebutkan nama daerahnya. Akan tetapi, dari tuturan yang dipakai pengarang maka terefleksi bahwa kejadian dalam cerita berlatar daerah dan budaya Minangkabau. Satu-satunya petunjuk daerah yang terdapat dalam cerpen ini adalah kata mudiek dan itu pun masih bersifat umum tanpa merujuk ke suatu daerah khusus.
Di sisi lain, tema cerpen kali ini bersumber dari ketimpangan yang terjadi antara peran seorang mamak yang seharusnya terhadap dunsanak dengan kenyataan sebenarnya yang terjadi dizaman modern saat ini. Secara ideal, seharusnya seorang mamak bisa mengayomi dunsanak–nya dengan baik, namun pada kenyataannya, justru mamak lebih sibuk dengan keluarga dan anaknya sendiri. Ketimpangan seperti ini tidaklah muncul murni dari imajinasi penulisnya sendiri namun timbul dari kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan kepiawaian pengarang, akhirnya masalah ini muncul kepermukaan dalam wujud cerita pendek.
Dari gaya berceritanya, penulis memilih untuk langsung membuka cerpen ini dengan konflik. Aku menatap amak, menghindar dan menarik napas untuk kesekian kalinya. Sulit. Benar-benar sulit untuk menjawab pertanyaan Amak. Menjawab ya, berarti aku akan berlawanan pendapat dengan kedua kakakku. Sebaliknya jika menjawab tidak, aku akan membuat beliau kecewa. Mengawali sebuah cerita seperti ini adalah alternatif lain untuk mengembangkan isi cerita. Lagi pula, dengan cara langsung ke konflik akan menjadikan pembaca semakin penasaran tentang keseluruhan cerita.
Terlepas dari unsur-unsur cerita seperti dijelaskan di atas, cerpen ini juga mengandung berapa nilai budaya yang dapat diambil pelajaran terutama yang berhubungan dengan pengetahuan tentang sistem matrilineal, di antaranya adalah peran seorang bapak -dalam hal ini, penulis menggunakan istilah abak-. Melalui percakapan antar tokoh, terutama antara Aku Yuli dengan si abak. Dari pernyataan tersebut, terlihat seorang bapak selain berperan sebagai kepala keluarga di rumah istri, juga sekaligus berperan sebagai mamak di kampung atau rumah tempat ia dilahirkan dulu. Ayah akan berperan pula sebagai mamak terhadap kemenakannya di rumah keluarga ibunya dan saudara perempuannya (Suwondo, 1978:19-20).
“Ya. Orang-orang mudiek lamak punya Mamak seperti Abak. Seluruh urusan keponakan, abak ikut mengurus. Mau nikah, mau sekolah. Pak tuo dan Pak etek enak. Anak mereka diperhatikan mamaknya. Mana yang seperti kita, punya mamak tapi…”
Selain itu, seorang bapak di Minangkabau tidak dapat berbuat banyak di rumah istrinya meskipun ia adalah seorang kepala keluarga.
“Abak sendiri tidak bisa berbuat banyak. Abak kan hanya sumando di sini. Rumah ini bukan rumah kita. Rumah ini rumah gadang ,rumah pusako. Mak Adangmu pun punya hak untuk tinggal di rumah ini. Mak Adang itu tidak hanya Mamak tuo, tapi juo Mamak kaum.”
Selain pemaparan di atas, satu hal yang menjadi catatan kaki pada cerpen ini adalah penggunaan istilah dan kalimat-kalimat berbahasa Minangkabau. Penggunaan istilah Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Barangkali, masih bisa ditoleransi penggunaannya. Lagi pula, hal tersebut juga akan memperkuat identitas sebuah cerpen yang disajikan. Namun, untuk kalimat yang menggunakan bahasa Minangkabau, barangkali ada baiknya jika diminimalisasi. Hal ini terkait dengan target pembaca yang dituju serta hubungannya dengan media yang digunakan untuk mempublikasikan cerpen tersebut. Tidak menjadi rahasia lagi, pada era saat ini, jika sebuah karya sudah di-publish di dunia maya. Karya tersebut bisa diakses, dibaca, dan dinikmati siapa saja. Tanpa batas ruang dan waktu. Meskipun penulis telah memberikan terjemahan kalimat tersebut diakhir cerita, tentu akan lebih menarik jika pembaca dapat memahaminya dengan sekali baca tanpa ”menyontek” catatannya terlebih dahulu.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com