Cerpen: Yulfia Afaz
Rabu, 30 September 2009
Angin sore terasa dingin namun begitu menyengat di pori-pori Hasan. Sesekali mulut angin menghempaskan aroma amis dan berhasil hinggap di hidungnya yang bangir kemudian lenyap begitu saja. Meskipun suhu udara terasa berbeda dari biasanya, kekhusukan menunaikan empat rakaat tidak membuat mahasiswa semester 5 itu terganggu sedikit pun. Setelah melipat sajadah, dialihkannya tatap ke dinding. Lima menit lagi pukul empat. Lekas ia mempersiapkan diri untuk mengajar mengaji.
Sebilang sore, Hasan mengajar anak-anak sekitar komplek membaca dan menghafal Alquran. Sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Islam, ia ingin ilmu yang diperoleh di kampus bisa memberi guna bagi orang banyak. Salah satunya dengan menjadi guru ngaji bagi anak-anak sekitar. Dua tahun yang lalu hanya dua atau tiga anak yang diajarnya namun sekarang sudah belasan. Awalnya Hasan bersikukuh mengajar dengan sukarela, tetapi melihat kesungguhannya dalam mengajar, terbit juga keinginan di hati para orang tua untuk menghargai jerih payahnya dengan memberi imbalan berupa uang. Alhasil, ia menerima upah sepuluh ribu setiap bulan dari tiap-tiap anak.
Pada kenyataannya, tidak semua anak yang datang membayar rutin saban bulan. Malah ada yang tidak membayar sama sekali. Tampaknya hal tersebut tidak menjadi perintang bagi Hasan untuk tetap menuntun anak-anak membaca Alquran. Ia berdalih dengan mengajar dan membimbing anak-anak kompleks maka hafalan surahnya akan tetap terawat. Ada semacam kerinduan yang menghinggapinya jika alfa mengajar satu hari saja.
Rutinitas Hasan setiap sore membimbing anak-anak mengaji membuat Emak Nurbaya sedikit lega. Awalnya ia begitu takut ketika melepas “unggaskan” anaknya seorang diri ke Kota Padang. Kehidupan di kota besar dengan segala racun yang ditawarkan mampu membius dan menjerat siapa saja. Jika tidak kuat iman, bisa-bisa tenggelam oleh gemerlapnya dunia. Namun, kegundahan itu perlahan sirna setelah mendapati Hasan masih mengemban wasiat almarhum suaminya, yakni menjaga hafalan Alquran.
“Pandai-pandailah membawa diri. Ke mana pun kaki melangkah dan di mana pun bumi dipijak, jadikan agama sebagai petunjuk agar tidak tersesat dan terombang-ambing dalam mengarungi kehidupan.” Begitulah wasiat mendiang bapaknya dahulu. Hasan paham betul akan amanah berharga yang dititipkan bapaknya maka ia memilih menuntaskan waktu saban sore dengan menjadi guru ngaji daripada berleha-leha seperti kawan-kawannya.
Setelah berkemas dan memasukkan beberapa keperluan dalam kantong hitam, Hasan menarik langkah keluar kamar. Seperti biasa, tak satu pun teman kos yang ia jumpai. Mereka lebih betah menuntaskan waktu di luar ketimbang di kos, kecuali jika pacar mereka datang akan lain ceritanya.
“San…, kamu harus pulang sekarang.” Suara laki-laki dewasa berhasil ditangkap oleh kupingnya ketika hendak memutar kunci yang menempel pada daun pintu berwarna kecoklatan. Hasan membalikkan badan dan memutar kepalanya.
“Pak Yahya?” Lelaki itu mengangguk.
“Kenapa harus pulang, Pak? Apa yang terjadi?” ucap Hasan dengan kecemasan bercampur heran yang menyeruak secara bersamaan. Baru tiga hari silam ia dari kampung dan sekarang Pak Yahya datang untuk memintanya kembali pulang. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan emak, begitulah pikir Hasan.
“Pokoknya kamu harus pulang,” ujar Pak Yahya tanpa mengurai alasan yang dinanti Hasan.
“Ada apa dengan emak, Pak?” Sekonyong-konyong Hasan meraih kemudian menggenggam tangan lelaki itu dengan nada memelas.
“Tidak ada apa-apa. Emak Nurbaya hanya ingin kamu pulang,” timpal Pak Yahya tegas. Hasan dikepung tanya. Beragam keraguan yang ia lontarkan tak satu pun mendapat jawaban yang meriangkan hatinya. Karena curiga, Hasan merogoh ponsel di dalam saku celana.
“Maaf, pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Silakan isi ulang.” Hasan tertegun mendengar jawaban operator di seberang. Baru kemarin ia mengisi pulsa, Mengapa sudah habis? Hasan hanya ingin memastikan keadaan emak dengan meneleponnya. Apa sebenarnya yang terjadi? Isi benaknya berkecamuk.
“Pak…hari ini saya sudah berjanji kepada anak-anak untuk memberikan hadiah jika mereka sudah menyelesaikan hafalan Alquran dengan baik,” ujar Hasan terbata-bata. Sudah terbayang olehnya kegembiraan pada air muka anak-anak ketika mendapat hadiah jika hafalan mereka lancar. Baru sekarang ia sanggup memenuhi keinginan itu setelah menyisihkan uang sekian lama. Sekilas Pak Yahya menjatuhkan tatap ke bawah dan melihat kantong hitam yang dijinjing Hasan kemudian berujar,”Tidak ada waktu lagi, Hasan!”
“Baiklah,” ujar Hasan lemah. Ia sudah merasakan firasat yang tidak enak. Diputarnya kembali gagang pintu kemudian masuk ke kamar. Bungkusan yang tadi dijinjingnya kini tergeletak di lantai. Gegas Hasan mengganti baju dan menemui Pak Yahya yang masih menunggu di selasar depan.
Hasan naik ke mobil Pak Yahya dengan rasa tidak menentu. Beberapa ekor anjing terlihat hilir mudik dengan gelisah. Beragam tanya berputar-putar seperti gasing di benak Hasan. Ada apa sebenarnya? Apakah terjadi sesuatu dengan emak? bukankah tiga hari yang lalu emak baik-baik saja? Lalu, kenapa Pak Yahya menjemputnya untuk pulang?
Mobil melaju dengan tenang sementara Pak Yahya hanya bergeming. Hasan pun tak memiliki hasrat untuk bercakap-cakap dengan lelaki itu sebab hatinya dibungkus oleh kecemasan yang membuncah. Jalanan yang mereka lewati terasa lengang. Biasanya, sore-sore begini kemacetan mengular di Kota Padang. Belum pernah Hasan melihat kondisi kota bengkoang sesepi ini. Tak ada ia dengar hiruk-pikuk klason angkutan kota yang memekakkan telinga seperti hari-hari biasanya. Hanya beberapa ekor anjing yang terlihat berlarian. Sesekali aroma amis singgah di hidungnya. Kemudian, aroma itu raib begitu saja.
Sepanjang perjalanan, Hasan mencoba memicingkan mata dan membaca hafalan Alquran-nya dalam hati. Perasaannya perlahan-lahan mulai tenang. Kecemasan yang tadinya hinggap menguap entah ke mana.
Ketika membuka mata, Hasan melihat jam yang tertera di ponsel. Pukul empat lewat lima belas menit dan sekarang posisi mereka di Kota Padang Panjang. Hasan terhenyak. Rasanya Pak Yahya tidak menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. Mustahil lima belas menit bisa tembus dari Kota Padang menuju kota yang berjulukan serambi mekah ini. Setidaknya butuh waktu 40 menit untuk menempuh jarak 54 km jika kecepatan rata-rata kendaraan 80 km/jam. Sementara itu, sekitar lima menit sudah mereka habiskan bercakap-cakap di depan kos.
Jangan-jangan jam di ponsel ini tidak akur, batin Hasan mencoba menepis keanehan yang hinggap. Ia pun lekas-lekas mengalihkan tatap ke depan. Dilihatnya Pak Yahya begitu tenang di belakang kemudi. Lelaki itu biasanya banyak bicara, tetapi hari ini ia lebih memilih diam.
Sebenarnya Pak Yahya bukan orang asing lagi bagi Hasan. Lelaki itu masih satu kampung dengannya. Sekitar setengah kilometer jarak rumah mereka. Sebelum kuliah di Kota Padang, Hasan sempat menjadi guru ngaji anak-anak Pak Yahya. Tidak hanya anaknya, Pak Yahya dan istrinya pun belajar dengan Hasan. Kata Pak Yahya, irama mengaji Hasan sangat khas makanya ia ingin juga diajarkan.
Saat Hasan memutuskan menjadi mahasiswa dua tahun yang lalu, Pak Yahya ikut membantu meringankan biaya kuliahnya. Lelaki paruh baya itu merasa berhutang budi kepada keluarga Hasan. Andai saja Pak Hendro tidak bersedia mendonorkan darahnya kepada Eti, mungkin nyawa istrinya itu tak bisa diselamatkan akibat mengalami pendarahan sewaktu melahirkan. Sayangnya, Pak Hendro sudah meninggal sebelum ia berhasil membalas kebaikannya. Oleh karena itu, Pak Yahya berusaha mencari celah untuk meringankan beban keluarga mereka. Meski bapaknya telah tiada, setidaknya Hasan tidak mengalami kesulitan hidup. Begitulah tekad Pak Yahya.
Udara yang sejuk membuat Hasan mengantuk. Entah berapa lama ia tertidur ketika kedua kupingnya tiba-tiba berhasil menangkap sebuah suara.
“San…Bangun. Kapan kamu pulang? Kenapa tidur di sini?” sebuah tangan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Hasan pun terjaga. Ketika ia membuka kelopak mata, emak melihatnya dengan raut kecemasan bercampur heran.
“Kenapa kamu tidur di sini?” tanya emak bingung. Hasan mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengedarkan pandang ke sekeliling.
“Pak Yahya?” ujarnya pada emak. Hasan mencoba berdiri kemudian mensejajari tubuhnya dengan emak. Hasan menyapu pandang ke sekeliling tetapi lelaki itu tidak ada di sana. Sepintas Hasan menceritakan kepada emak atas kedatangan Pak Yahya ke Kota Padang yang menjemputnya untuk pulang. Emak mendengarnya sembari mengucap istigfar. Kaki perempuan paruh baya itu mendadak gontai. Emak Nurbaya menyandarkan punggungnya ke dinding dan bibirnya bergetar.
“Yahya meninggal kemarin sore karena kecelakaan. Ia belajar menyetir ketika sebuah truk menghantam dari belakang.” Cerita emak dengan suara parau. Emak juga sempat mengisahkan jika Pak Yahya membeli mobil bekas seminggu yang lalu. Hasan tercekat. Pertemuannya dengan Pak Yahya begitu nyata, tetapi keanehan demi keanehan ia rasakan sore ini.
Biasanya Pak Yahya banyak bicara dan hari ini lelaki itu hanya diam sepanjang perjalanan. Lalu, sejak kapan Pak Yahya bisa mengendarai mobil? Jika belum mahir mengendarai mobil, mustahil bisa menaklukkan Kota Padang. Selama perjalanan tidak banyak mobil yang lalu lalang. Sangat kontras sekali dengan keadaan biasanya. Kemudian, dalam waktu lima belas menit, mereka sudah sampai di Kota Padang Panjang. Awalnya Hasan berpikir jam di ponselnya yang bermasalah. Ia juga heran dengan pulsa yang habis padahal baru diisi dan belum dipakai sama sekali. Lalu, dari mana Pak Yahya tahu alamat kosnya sementara lelaki itu tidak pernah menelepon sebelumnya?
Ya Tuhan…gumam Hasan.
Anak-beranak itu masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka asik dengan pikiran masing-masing ketika sebuah suara membuyarkan lamunan keduanya.
“Gempa…gempa..gempa,” teriak Mak Tini lantang seraya mencengkram pagar depan rumahnya yang terbuat dari bambu. Hasan dan Emak Nurbaya tak kalah panik. Mereka berhamburan ke halaman. Tanah bergetar hebat seolah mau rekah. Pohon nangka yang tumbuh di depan rumah bergoyang-goyang dengan kencang, ke kiri dan ke kanan seperti dipermainkan angin. Dalam keadaan linglung, masih sempat Hasan melihat layar ponselnya dan di sana tertara angka 17.16.
***
Payakumbuh, 1 Oktober 2009
Televisi tiada jeda menayangkan kedahsyatan gempa yang berkekuatan 7,6 skala Richter yang berpusat di barat daya Kota Pariaman. Kota Padang dan beberapa kota di sekitarnya luluh lantak dan beberapa titik rata dengan tanah. Ribuan nyawa dikabarkan melayang. Jerit, tangis dan air mata menggema di mana-mana membuat suasana kian mencekam. Sontak dalam waktu sekejap, Sumatera Barat menyeret perhatian dunia. Nyawa bergelimpangan di mana-mana dan kerugian harta benda tak bisa lagi kalkulasikan nominalnya. Komplek tempat tinggal Hasan di Kota Padang tinggal puing-puing bangunan.
Hasan dan Emak Nurbaya saling bertukar pandang. Pikiran mereka terserempak tertuju kepada sosok Pak Yahya. Puisi Jalaludin Rumi kian berdegung di telinga Hasan:
Kecuali yang Engkau kehendaki, apakah yang kumiliki?
Kecuali yang Engkau perlihatkan, apakah yang kulihat?
Engkaulah yang menumbuhkanku:
ketika aku sebatang duri,
ketika aku sekuntum mawar;
ketika duri-duriku dicabut.
Jika Engkau tetapkan aku demikian, maka demikianlah aku
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini, maka seperti inilah aku
Di dalam wahana, tempat Engkau mewarnai jiwaku, siapakah aku?
apakah yang kusukai? apakah yang kubenci?
Payakumbuh, 30 September 2021
Profil Penulis
Yulfia Afaz, S.Pd dilahirkan di Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Saat ini, ia mengabdi di MTsN 2 Lima Puluh Kota sebagai pengajar bahasa Indonesia. Pernah menerbitkan kumpulan cerpen “Racun dari Istri” (2019), Antalogi Puisi bersama peserta didik, “Malaikat yang Terlihat” (2020), novel “Impian Kartini” (2020), “Menulis Teks Eksposisi dengan Game Kabar Narsis” (2020) serta beberapa buku antalogi lainnya (pantun, puisi, cerpen, cerita anak, fabel, fiksimini, artikel dan opini pendidikan). Ia juga menjadi salah satu kontributor gerakan menulis pantun nasihat 1000 guru ASEAN, pantun Nasihat Guru untuk Muridnya, serta pantun Mutiara Budaya Indonesia. Penulis juga aktif mengikuti kelas kepenulisan pada media online. Penulis dapat dihubungi via email yulviaafaz@gmail.com.
Nilai-Nilai Sufisme dalam Karya Sastra
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen UPN Veteran Jakarta dan Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar)
Secara ringkas, cerita yang ditulis oleh Yulfia Afaz bercerita tentang tokoh Hasan, seorang mahasiswa yang juga guru ngaji di Kota Padang. Lahir dan hidup dari keluarga yang kurang mampu membuat Hasan sadar diri menjadi remaja yang tidak banyak “ulah”. Aktivitas menuntut ilmu dan mengajar mengaji ditambah kesadaran akan dirinya, menjadikan Hasan sebagai lelaki yang taat pada Tuhan.
Suatu sore dia didatangi oleh Pak Yahya, orang kampungnya yang tiba-tiba saja memintanya untuk pulang. Hasan tidak dapat bertanya banyak apa yang terjadi di kampungnya, ia sudah berusaha menghubungi ibunya, tetapi telponnya tidak terhubung. Pikiran Hasan yang hanya memiliki ibu, segera kacau. Ia menduga-duga banyak hal tentang apa yang menimpa ibunya. Pak Yahya juga tidak banyak bercerita, dia hanya meminta Hasan pulang dengan naik mobilnya.
Perjalanan dari Padang ke Payakumbuh dirasakan Hasan menjadi aneh. Waktu itu 30 September 2009. Hasan bersama Pak Yahya meninggalkan Kota Padang. Dalam perjalanan itu pengarang menggambarkan bagaimana pertanda-pertanda mistis terjadi. Selain itu, pengulis juga menggambarkan tanda-tanda alam sebagai penanda bencana akan terjadi. Sesampai di rumahnya sudah larut malam, ibu Hasan kaget, mengapa Hasan pulang. Lebih kaget lagi ketika Hasan bercerita bahwa dia dijemput Pak Yahya dengan mobilnya. Menurut ibu Hasan, Pak Yahya sudah meninggal, tidak mungkin dia bertemu dengan Hasan. Lalu siapa yang membawa Hasan pulang?
Belum sempat bertanya dan mencari kebenaran tentang itu, mereka mendengar kabar dari televisi bahwa Kota Padang diguncang gempa. Banyak korban tertimpa reruntuhan gempa pada 30 September itu. Hasan dan ibunya saling tatap tak percaya, akan keajaiban yang dilalui Hasan dan musibah yang baru saja terjadi.
Cerita ini pada dasarnya ingin menggambarkan situasi sebagaimana yang dialami oleh para sufi, orang-orang yang dekat dengan Tuhan, tapi sepertinya penulis gagal menghadirkan suasana sufistik dalam ceritanya. Kecuali hanya menempelkan nyanyian sufistik Jalaludin Rumi di akhir cerita. Cerita-cerita tentang mistisisme dan sufistik ini bukan yang pertama di Indonesia. Sudah banyak penulis cerpen yang mengangkat tema sufistik ini di antaranya yang paling terkenal adalah Danarto. Danarto dalam beberapa karyanya seperti Adam Ma’rifat (1982), Godlob (2004), Asmaraloka (1999) dan tentu bebera judul dalam kumpulan cerpen tersebut banyak mengangkat tema-tema sufistik.
Hardianti (2019) dalam tulisan mereka berjudul “Mistisisme Jawa: Studi terhadap Cerpen “Rintrik” karya Danarto” menyampaikan bahwa gagasan-gagasan Danarto tidak bisa dipisahkan dari persoalan kemanusiaaan dan mistis karena keduanya membaur. Selain jalan mistis saya menilai pengaruh tasawuf juga kental memengaruhi cerita-cerita Danarto.
Menurut Schimmel (1986) jalan mistis dipandang sebagai cinta kepada Yang Mutlak, sebab kekuatan yang mampu memisahkan mistik sejati dari sekadar tapabrata (asceticism) adalah cinta. Schimmel menggunakan istilah tasawuf untuk mistik Islam. Dalam pengertian luas, kata mistik didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta, dan nihil.
Sementara itu, dalam konsep lain, bagaimana hubungan yang begitu istimewa antara Tuhan dan hamba disebut dengan sufisme. Sufisme atau tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
Dalam cerita ini, Yulfia mencoba mengangkat tema sufistik ini melalui tokoh Hasan yang mengalami kejadian mistis dalam hidupnya. Tuhan menyelamatkan Hasan (yang digambarkan sebagai tokoh yang taat pada Allah SWT) dengan cara yang tak diduga, bahkan di luar nalar manusia. Ketika gempa 30 September 2009 melanda Kota Padang dan sekitarnya yang menelan korban cukup banyak itu, sebelum kejadian Hasan ditemui oleh Pak Yahya dan memintanya untuk pulang ke kampung. Pak Yahya dalam cerita itu sebenarnya sudah meninggal beberapa waktu sebelum peristiwa itu.
Hal yang aneh sebenarnya sudah terlihat dari perjalanan Hasan dan Pak Yahya yang begitu cepat dari Padang ke Payakumbuh. Hal-hal aneh lainnya seperti bagaimana tanda-tanda gempa bumi digambarkan oleh pengarang sepanjang perjalanan Hasan dan Pak Yahya meninggalkan Kota Padang.
Terlepas dari cerita ini sebagai sebuah karya fiksi, secara umum Yulfia sudah berhasil menghadirkan sebuah cerita yang menarik. Secara pribadi pengarang muda ini juga sudah berhasil keluar dari tema-tema yang selama ini banyak ditulisnya tentang perempuan dan keluarga. Dengan menulis tema tentang sufisme ini pada dasarnya memang suatu yang berat untuk Yulfia. Ia seharusnya banyak membaca karya-karya Danarto seperti Godlob, Asmaraloka, dan Adam Ma’rifat.
Dengan banyak membaca karya-karya sufistik dari penulis terdahulu itu, Yulfia bisa belajar bagaimana menghadirkan suasana kejiwaan yang kental dalam karyanya. Ia bisa menggambarkan bagaimana suasana batin seorang hamba yang benar-benar dekat dengan Tuhan. Kecemasan seperti yang dirasakan Hasan ketika mengingat ibunya di kampung halaman sepertinya tidak perlu terjadi jika memang ia sudah sangat dekat dengan Tuhan. Bukankah bagi orang-orang yang dicintai Tuhan itu ia sudah memasrahkan segalanya pada penciptanya?
Begitulah, kisah ini merupakan kisah yang menarik, namun masih berpeluang untuk dihadirkan menjadi lebih menarik lagi. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post