Antara bika ambon dan rendang Padang memang merupakan dua nama makanan yang berbeda. Namun, tahukah teman-teman, perbedaan yang dimaksudkan pada judul tulisan ini ialah perbedaan pada penulisan bika ambon dan rendang Padang. Kata Ambon pada frasa bika ambon tidak menggunakan huruf kapital, sedangkan kata Padang pada frasa rendang Padang menggunakan huruf kapital. Kok bisa berbeda?
Makanan rendang merupakan makanan khas dari daerah Padang, tetapi makanan bika bukan merupakan makanan khas dari Ambon. Makanan bika ambon merupakan oleh-oleh dari Medan yang dinamai berdasarkan lokasi kemunculan pertama kali di Jalan Ambon, Sei Kera Medan. Oleh karena itu, penulisan kata Padang menggunakan huruf kapital karena mencerminkan makanan khas olahan daerah tersebut, sedangkan penulisan kata Ambon pada bika ambon tidak menggunakan huruf kapital karena tidak mencerminkan makanan khas olahan daerah.
Penulisan nama makanan yang mirip dengan bika ambon di antaranya ialah martabak bandung, martabak bangka, martabak mesir serta nasi goreng jawa, nasi goreng patai padang, dan nasi goreng merah palembang. Makanan tersebut tidak berasal dari nama-nama daerah yang dilekatkan pada nama makanan. Hal tersebut berbeda dengan rendang Padang, yang benar-benar menunjukkan makanan khas dari Padang—sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat.
Rendang sebagai makanan khas Minangkabau sesungguhnya tidak hanya berasal dari Kota Padang, tetapi juga berasal dari Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kota Batusangkar, Kota Solok, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan seluruh wilayah kota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Namun, karena Kota Padang merupakan ibu kota provinsi, masyarakat menyatakan Kota Padang sebagai perwakilan dari Provinsi Sumatera Barat sehingga dikenal nama makanan sebagai rendang Padang.
Penulisan makanan yang berasal dari daerah tertentu, seperti rendang Padang, juga dapat ditemukan pada pempek Palembang yang merupakan makanan khas dari Palembang; dodol Garut yang merupakan makanan khas dari Garut; dan gudeg Yogya yang merupakan makanan khas dari Yogyakarta. Nama makanan tersebut sekaligus menunjukkan identitas dan kekhasan budaya setempat yang tidak ditemukan di daerah lain.
Selain nama makanan, juga ada nama tari dan nama produk olahan khas suatu daerah yang mencerminkan kekhasan budaya dan tentunya harus ditulis menggunakan huruf kapital, seperti tari Melayu, ukiran Jepara, batik Solo, batik Yogyakarta, dan sarung Mandar. Jika merujuk pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2016: 10—11), rendang Padang, pempek Palembang, dodol Garut, dan gudeg Yogya dapat digolongkan sebagai nama diri yang menyertakan nama tempat atau asal makanan.
Junaiyah (2009: 684) menyatakan bahwa nama-nama yang dipakai untuk menamai orang, tempat, atau sesuatu, termasuk konsep dan gagasan disebut dengan nama diri (proper noun). Sementara itu, menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016), nama diri merupakan nama untuk menyebut diri seseorang, benda, tempat tertentu, dan sebagainya. Artinya, dengan nama diri tersebut, seseorang disapa atau dipanggil; serta dengan nama diri tersebut, sebuah tempat, gagasan, dan konsep disebut atau dikenal.
Junaiyah (2009: 685—687) membedakan beberapa benda yang termasuk ke dalam nama diri, berupa (1) nama diri Tuhan, termasuk unsurnya, dan kata ganti Tuhan yang dituliskan menggunakan huruf kapital, seperti Allah, Yesus Kristus, Sang Hyang Widi Wasa, hanya kepada Engkau kami menyembah, dan rahmat-Mu; (2) nama diri persona termasuk nama nabi dan rasul, malaikat, dan dewa, seperti Fatimah, Nabi Muhammad, Malaikat Israfil, Dewi Aphrodit, dan Rsi Sumanthu; (3) nama diri yang berhubungan dengan peristiwa tertentu, seperti Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun Masehi, Januari, dan masa Orde Baru (nama zaman atau masa); (4) benda khas geografi, seperti nama planet, benua, teluk, dan lembah berupa Benua Asia, Pulau Timor, Gunung Klabat, Selat Karimata, dan Planet Venus; serta (5) benda pada umumnya yang dibedakan atas benda bernyawa (animate), benda tak bernyawa (unanimate), dan benda vegetatif (hidup, tetapi tidak dapat berpindah sendiri). Manusia dan hewan termasuk benda bernyawa; batu dan kursi termasuk benda tak bernyawa; dan tumbuh-tumbuhan termasuk benda hidup (vegetatif).
Nama diri yang menunjukkan benda tak bernyawa dapat dilihat pada nama agama, seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Budha; kitab suci, seperti Al-Qur’an, Injil, Taurat, dan Zabur; dokumen, seperti Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Zakat Mal; lembaga, seperti Program Studi Linguistik Universitas Indonesia; dan pertemuan, seperti Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Anak-Anak Tunarungu (Junaiyah, 2009: 687).
Bagaimana dengan bika ambon? Makanan bika ambon merupakan nama jenis yang tidak menunjukkan asal daerah tersebut. Makanan bika ambon justru berasal dari Medan. Nama makanan lain yang mirip dengan bika ambon ialah gula jawa dan penulisannya harus menggunakan huruf kecil. Begitu juga dengan nama-nama hasil alam, seperti salak bali, kacang bogor, nangka belanda, dan petai cina. Makanan yang merupakan hasil alam tersebut tidak berasal dari daerah yang dicantumkan pada nama makanan. Oleh karena itu, penulisan nama daerah pada nama makanan tersebut harus menggunakan huruf kecil.
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia, 2016b: 10), nama-nama makanan tersebut dinyatakan sebagai nama jenis. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016a) menyatakan bahwa nama jenis adalah nama yang menunjukkan jenis umum benda atau konsep. Artinya, tidak menunjukkan asal tempat (konsep atau benda tersebut). Sementara itu, Junaiyah (2009: 687) menyatakan bahwa nama jenis adalah kata benda (nomina) yang menunjuk sembarang anggota dalam kelas maujud bernyawa (seperti hewan), maujud hidup (seperti tumbuhan), atau maujud tak bernyawa (seperti benda dan gagasan). Contohnya dapat dilihat pada kambing ettawa, pisang ambon, sapi benggala, dan jeruk bali.
Melalui penjelasan ini, teman-teman sudah dapat membedakan nama diri dan nama jenis kan? Ketika melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, mari mengidentifikasi manakah yang termasuk nama diri dan nama jenis. Karena kita masih berada dalam situasi pandemi, mari menjelajah dulu secara virtual dan melakukan perjalanan bahasa mengenai nama diri dan nama jenis secara daring.