Oleh: Alex Darmawan
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Pada suatu kesempatan, penulis berdialog dengan mahasiswa dan mahasiswi mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran. Pertanyaan yang timbul adalah mana yang lebih dulu ada dalam diri manusia, bahasa atau pikiran? Sebagian mahasiswa/i menjawab adalah bahasa dan sebagian lagi menjawab pikiran dahulu dengan argumentasi yang berbeda-beda. Nah, dari diskusi inilah penulis mencoba mengupas pertanyaan tersebut di atas dalam bentuk sebuah tulisan.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan berpikir dan berbahasa. Bahasa dan pikiran memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling mempengaruhi. Di satu sisi, bahasa merupakan media yang digunakan untuk memahami dunia dan digunakan dalam proses berpikir. Di sisi lain, pemahamann terhadap kata-kata merupakan hasil dari aktivitas berpikir. Meskipun keduanya berkaitan erat, tidak setiap manusia mempunyai kemampuan berbahasa yang baik pula. Apa yang dipikirkan belum tentu bisa diucapkan dan lakukan. Sebaliknya, apa yang kita ucapkan itulah yang kita pikirkan.
Sebenarnya, apa itu bahasa? Banyak ahli bahasa telah memberikan defenisi terhadap bahasa itu sendiri. Hampir semua defenisi yang penulis temukan tidak jauh berbeda sudut pandangnya. Salah satunya, Abdul Chear mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Chaer, 2004:5). Setiap bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia belum bisa dikatakan bahasa apabila tidak terkandung makna di dalamnya. Apakah setiap ujaran mengandung makna atau tidak, haruslah dilihat dari konvensi suatu kelompok masyarakat pemilik bahasa tersebut.
Mari sekilas kita lihat definisi dari berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan (KBBI, 2003:872). Berpikir merupakan berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru keluar dalam diri seseorang. Berkembangnya pemikiran tersebut bersumber dari informasi yang didapat, diketahui dan simpan oleh seseorang dalam bentuk teori, pengertian, maupun deskripsi mengenai suatu masalah.
Dalam struktur berpikir, kita membicarakan konteks yang ada dalam diri manusia. Sebagai seorang manusia, tentu kita dibekali oleh Tuhan dengan kemampuan berpikir yang didampingi oleh akal. Kegiatan berpikir dan akal pikiran yang tertanam dalam diri manusia sejak dilahirkan ke dunia dan terus berkembang sejalan perkembangan usia manusia. Kata Descarde, “Co Gito Ergo Sum” (Saya ada karena saya berpikir).
Pikiran merupakan hal yang paling absolut yang mengendalikan diri manusia. Berawal dari pikiran dapat mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan manusia. Seperti manusia yang berpikir bahwa ia lapar dan dirangsang oleh kondisi tubuhnya. Secara sadar, pikiran akan memengaruhi gerak tubuh untuk memakan sesuatu hingga hilang rasa lapar di tubuhnya. Besarnya peran pikiran dan berbagai hal yang manusia pikirkan membawa dampak yang signifikan guna keberlangsungan hubungan manusia dengan lingkungan, sesamanya, maupun hubungan manusia tersebut dengan hal spiritual yang dipercayai.
Begitu pula dalam persoalan bahasa, bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi, tentu memiliki landasan pemikiran saat digunakan dalam tuturan sesuai lingkungan penutur dan kondisi penutur. Orang-orang yang memiliki pola berpikir dan pikiran yang baik, tentu akan memiliki tindak tutur yang baik pula. Bahasa yang digunakan pun baik serta dapat dengan mudah diterima dan dipahami lawan tutur atau orang lain yang mendengarkannya. Sistem yang ada dalam pikiran manusia, turut memengaruhi bahasa yang digunakan oleh manusia tersebut. Lain halnya bahasa yang digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik atau kecacatan dalam sistem bicaranya. Bahasa yang digunakan oleh orang-orang ini adalah bahasa isyarat. Bahasa isyarat tidak hanya dipengaruhi oleh pola pikir seseorang, tetapi juga keterbatasan yang dimiliki oleh penuturnya serta toleransi yang dilakukan oleh lawan tuturnya.
Ternyata, hubungan antara bahasa dan (ber)pikiran sudah dimulai dari dahulu oleh banyak pakar ilmu bahasa. Pandangan para pakar dibangun dari berbagai perspektif. Hilhem van Humboldt, seorang sarjana Jerman abad ke-15 menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia terhadap bahasa. Lebih jauh, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Bunyi bahasa merupakan bentuk luar, sedangkan pikiran adalah bentuk dalamnya. Bentuk luar bahasa itu yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam bahasa ada dalam otak. Kedua hal tersebut saling ketergantungan. Pemikiran Van Humboldt ini juga selaras dengan pandang ahli bahasa dari Amerika, Edwar Sapir (1883-1993). Sapir mengatakan bahawa manusia hidup di dunia ini di bawah belas kasih bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam bermasyarakat. Murid Sapir, Benjamin Lee Worf (1897-1941) menambahkan bahwa sistem tata bahasa tidak hanya alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga sebagai pembentuk ide-ide itu. Program kegiatan mental dan penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang. Lebih lanjut, ahli bahasa Jean Pieget, L.S. Vgotsky dan Brunner menguraikan pandangan bahwa berbahasa dan berpikir berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa dan saling membantu.
Jadi, jawaban pertanyaan mengenai mana yang dahulu ada dalam diri manusia, bahasa atau pikiran, dapat kita temukan jawabannya dari benang merah pemikiran para ahli bahasa di atas. Bahasa (berbahasa) dan pikiran (berpikir) ada secara bersamaan dalam setiap diri manusia dan berkembang sering perkembangan manusia itu. Dalam hal ini-bahasa dan pikiran- merupakan anugerah pemberian Tuhan kepada umat-Nya. Perkembangan bahasa tidak bisa dihambat meskipun pada anak-anak yang mempunyai cacat tertentu, seperti buta, tuli atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak dapat berkembang dengan hanya sedikit keterlambatan (baca: Teori Eric Lenneberg). Wallahu alam bish shawabi.