Alex Darmawan, S.S., M.Hum.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Minggu lalu, saya berkunjung ke rumah teman. Mereka memiliki dua orang anak. anak pertama berumur kurang 4 tahun dan anak ke dua masih balita. Hal yang menarik bagi saya adalah kamampuan komunikasi anak tertuanya. Dia mampu berkomunikasi dengan menggunakan dua kode bahasa, pertama bahasa Minangkabau dan kedua bahasa Indonesia. Ketika ia berbicara dengan bapaknya, ia menggunakan bahasa Indonesia. Sebaliknya, ketika berbicara dengan ibunya, ia menggunakan bahasa Minangkabau. Jadi, bahasa ibunya ada dua, yaitu bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia. Mana yang lebih dahulu ia peroleh bahasa Minangkabau ataukah bahasa Indonesia? Ini sulit dijawab karena orang tuanya berkomunikasi menggunakan dua kode bahasa berdampingan. Dengan demikian, anak tersebut punya kemampuan berbahasa ganda atau bilingual. Pertanyaan yang mesti harus diajukan adalah apakah baik anak diajarkan dua kode bahasa bersamaan, dan bagaimana implikasinya terhadap perkembangan kognitif anak?
Seorang anak belajar berbicara dengan tingkat kelancaran yang luar biasa pada usia dini telah lama menjadi bahan pikiran bagi kalangan dewasa. Kemampuan memperoleh bahasa secara historis telah dianggap sebagai “anugerah”. Suatu landasan pandangan ilmiah yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dengan teori tata bahasa universal yang menempatkan pengetahuan bathiniah dari prinsip-prinsip yang menata dan berlaku bagi semua manusia.
Di zaman era globalisasi sekarang ini, kemampuan berbahasa bilingual (dua bahasa) atau multilingual (banyak bahasa) menjadi suatu keharusan. Para keluarga dari masyarakat modern berusaha mengkondisikan anak mereka supaya mampu menjadi sosok yang bilingual ataupun multilingual. Bahkan kondisi tersebut terbentuk dengan sendirinya karena pernikahan dari budaya yang berbeda. Di satu sisi, ibu menggunakan bahasa daerah dan bapak menggunakan bahasa Indonesia, atau sebaliknya, bahkan ada juga pernikahan beda bangsa. Bahasa ibunya bahasa Indonesia dan bapak menggunakan bahasa Inggris. Otomatis pemerolehan bahasa anaknya menjadi bilingual (khasus para selebritas kita yang menikah dengan orang luar negeri).
Sebenarnya, kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses sehingga perlu adanya pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini pun diarahkan berdasarkan tujuan tertentu seperti kemampuan fonologis, morfologis dan sintaksis yang dalam proses pemerolehannya melalui berbagai tahapan. Tahapan pertama pada pemerolehan bahasa adalah tangisan dan bukan kata-kata. Kemudian, mereka mampu berbicara dengan lancar pada usia tiga sampai empat tahun, dan sebelumnya mereka pun melalui tahapan babbling sebelum mereka peroleh kata pertama (first word). Tahapan-tahapan yang dilalui oleh setiap anak cenderung berbeda, walaupun dapat dilakukan generalisasi. Hal ini diakibatkan oleh bahasa yang berbeda-beda. Suatu jenis bahasa akan mempengaruhi urutan pemerolehan setiap sistem bahasa dan dapat menentukan mana yang mudah dan sukar untuk diperoleh. Selain itu, pemerolehan bahasa pun dipengaruhi oleh interaksi sosial dan perkembangan kognitif.
Pengertian bilingual menurut Bloomfield (1958:5) adalah penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan penutur asli. Konsep bilingual adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer dan Leonie: 1995:112). Seorang anak yang bilingual atau multilingual sejak dini mempunyai pengalaman proses pemerolehan kata, makna, struktur, dan pragmatik yang lebih kompleks dibandingkan dari mereka yang monolingual. Secara umum, bilingual dini membawa anak dalam pengalaman dua bahasa yang berbeda. Pengalaman ini memberikan pengaruh yang berbeda dari pengalaman satu bahasa.
Pada periode sebelum 1960-an, para ahli bahasa berpendapat bahwa bilingual tidak menguntungkan, berdampak negatif terhadap intelegensi, dan merupakan hambatan di dalam mengukur verba intelegensi. Namun, periode setelah 1960-an menunjukkan hasil yang sangat berbeda sejumlah kemampuan bilingual di dalam bidang kognitif.
Pemerolehan dua bahasa secara serentak bagi anak menganggap kedua bahasa tersebut memiliki kaidah tunggal. Anak-anak itu mempelajarinya seolah-olah hanya belajar satu bahasa. Ada beberapa tahapan yang dilalui anak ketika proses pemerolehan bahasa bilingual. Tahap pertama, tiap anak mempunyai satu sistem leksikal yang terdiri atas bahasa yang pertama dan unsur bahasa yang kedua, dengan dua atau tiga tuturan kata yang mengandung campuran dari kedua bahasa tersebut. Tahap kedua, anak menyadari kata-kata yang ekuivalen pada kedua bahasa itu dan mulai menerjemahkan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Tuturan masih mengandung percampuran kedua bahasa. Tahap ketiga, anak merumuskan frase pada tiap bahasa, pemilihannya bergantung kepada lawan tutur. Pada tahap ini anak memisahkan setiap bahasa baik ada tataran leksikal maupun pada tataran sintatik. Tuturan campuran pada ujaran anak dapat juga dipengaruhi oleh pengenalan dan pengalaman terhadap pola bahasa campuran yang biasanya didengar di dalam ujaran orang dewasa (Kamarudin, 1989:164).
Kaitannya pengaruh bilingual terhadap anak ditunjukkan Lamber dalam penelitiannya di Kanada. Kajian mendalam mengenai pengaruh bilingual terhadap intelegensi telah dilakukan oleh Lampert (1962). Dari analisisnya terhadap 31 faktor variabel intelegensi dan sikap menunjukkan perbedaan di dalam struktur intelek. Anak bilingual mempunyai pola kemampuan yang lebih bervariasi di dalam variabel intelegensi dibanding monolingual. Anak bilingual lebih unggul di dalam tugas-tugas nonverbal yaitu pada ketangkasan di dalam pembentukan konsep, sebagai akibat dari generalisasi yang lebih cepat yaitu berpikir tanpa simbol bahasa. Dengan demikian, bilingual bermanfaat di dalam berpikir abstrak yaitu mengkonsepkan sesuatu hal dan peristiwa di dalam lingkungannya. Bilingual juga mendorong kelenturan kognitif dan mental karena struktur intelektual yang bervariasi memudahkan beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Anisfeld (dalam Kamaruddin) menguatkan penelitian Lambert. Anisfeld menjelaskan bahwa keunggulan bilingual dibanding dengan monolingual di dalam fleksibilitas kognitif, berfikir divergen, dan keunggulan di dalam ketinggian bernalar secara umum serta di dalam kemampuan verbal.
Terakhir, para ilmuwan telah mengetahui bahwa otak memiliki kemampuan mengubah strukturnya sebagai hasil dari stimulasi. Pemindaian otak menunjukkan bahwa anak yang menguasai lebih dari satu bahasa (bilingual atau multilingual), sel-sel kelabu lebih banyak dan lebih padat dibandingkan anak yang hanya menguasai satu bahasa saja, terlebih mereka yang sudah bilingual sejak usia dini. Seorang anak yang sejak usia dini dibiasakan berkomunikasi bilingual atau multilingual, ia akan memiliki kepribadian yang lebih baik ketimbang anak yang hanya mengenal satu bahasa. Ia akan toleran, mudah menghargai perbedaan pendapat, serta memiliki wawasan yang lebih luas. Jadi, pemerolehan bahasa pada anak usia dini dengan bilingual atau multilingual bukan menyebabkan anak tersebut menjadi bingung dalam berbahasa. Namun sebaliknya, bilingualisme akan membuat anak lebih baik intelegensinya karena kerja otak telah dimaksimalkan dari awal. Wallah a’alam bishawab.
Discussion about this post