Sipuluik
Cerpen: Ulul Ilmi Arham
Sudah sejak pagi buta, Umak dan Unde sibuk di dapur, bahkan sebelum ayam berkokok pun, mereka sudah berjibaku. Sedari pukul empat tadi, mereka sudah merendam beras ketan lima puluh sukat. Jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran keluarga kami. Siang nanti, tetangga sekitar akan datang ke rumah demi memenuhi undangan duduak induak-induak. Kami menyiapkan sipuluik sebanyak-banyaknya dengan harapan akan banyak juga yang datang dan memberikan sumbangan. Kejelasan masa depanku dan Anhar tergantung pada kemurahan hati orang-orang ini.
Sebenarnya, Umak dan Abak tidak masalah jika pernikahan putri sulung mereka diselenggarakan sederhana saja. Tidak harus menggantungkan harap pada bantuan orang-orang. Cukuplah lamaran, malatak tando, duduak dunsanak, dan nikah. Tak perlulah dipaksakan harus baralek gadang kalau memang rezekinya tidak cukup untuk menyelenggarakan sampai ke sana.. Toh, menikah di KUA pun juga sudah sah. Hanya perlu ijab kabul dan tanda tangan buku nikah.
Namun, Unde menolak. Unde yang cukup berstatus di Simpang Empat Pasaman seolah tak rela kemenakannya dinikahkan dengan syukuran kecil-kecilan. Dia menghendaki kami potong sapi agar bisa menyajikan rendang daging di hari resepsi nanti. Unde bersikeras menikah harus mewah karena ini acara sekali seumur hidup. Kita harus menjamu tamu dengan sebaik-baiknya hidangan.
“Apa tidak terlalu mahal kalau potong sapi?”
Jujur, aku memikirkan biaya yang harus kami keluarkan jika harus beli sapi. Paling tidak harus menyediakan dua puluh lima juta. Belum termasuk santan dan bumbu pemasaknya.
“Masa pula kemenakan pemilik rumah makan besar di Pasaman nikahnya syukuran? Bagaimana Unde akan mengundang teman-teman kemari?”
Duduak induak induak: rapat para perempuan.
Malatak tando: bertunangan
Duduak dunsanak: rapat saudara-saudara
Baralek gadang: pesta nikah yang mewah
Begitu alasan yang dia ajukan padaku dan Anhar saat kami mengutarakan rencana menikah dalam waktu dekat ini. Aku dan Anhar baru lulus kuliah setahun lalu. Kami belum punya modal cukup untuk menyelenggarakan resepsi besar-besaran. Itikad kami sederhana saja, menghalalkan hubungan dan menyempurnakan separuh agama dengan menikah secepatnya. Apalagi yang ditunggu kalau kami berdua sama-sama sudah yakin dan mampu. Menunda pernikahan karena kendala biaya pun tidak cukup baik. Bukankah pernikahan dilakukan untuk mencegah fitnah. Kenapa hal semudah ini justru dipersulit. Sayangnya, Unde tidak peduli. Dia bersikeras bahwa aku harus baralek.
Pekerjaanku sebagai editor surat kabar lokal memang sering digadang-gadangkan Unde. Bagaimana tidak, dari semua kemenakannya, bisa dibilang akulah yang agak lumayan sukses. Lulusan terbaik di pesantren, berhasil mendapat beasiswa Bidikmisi dan berkuliah di Universitas Andalas Padang. Wah, jarang sekali ada anak muda di kampung kami yang bisa kuliah di kampus elit itu. Apalagi lulus dengan predikat cum laude. Selama kuliah pun aku sedikit-sedikit menulis artikel dan cerpen. Honornya cukuplah untuk membantu membiayai sekolah adik-adikku. Mengetahui hal ini membuat Unde sangat bangga padaku walaupun aku masih merasa bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Kasih sayang Unde padaku sudah seperti pada anak kandungnya sendiri.
Saat duduak dunsanak pekan lalu, Unde yang paling bersemangat menyuarakan pendapatnya untuk menyelenggarakan baralek. Aku menghargai keinginan Unde. Bagaimana pun juga, adik Abak itu sudah berjasa besar dalam hidupku. Dia yang lebih sering menjengukku di perantauan daripada Umak dan Abak. Hanya saja, aku merasa tidak enak jika harus memaksakan diri seperti ini. Baralek gadang butuh lebih dari lima puluh juta.
Aku muncul dari kamar usai melaksanakan tahajud saat kudengar grasak-grusuk dari arah dapur. Aku lantas menghampiri Umak dan Unde yang menggunting kertas untuk pembungkus sipuluik nanti.
“Oh, sudah bangun kau, Din?” seru Umak.
“Sudah, Mak.” Mataku berkeliling dapur, melihat empat baskom besar beras ketan yang akan kami kukus nanti. “Apa tidak terlalu banyak, Mak?”
Sipuluik: sejenis beras untuk bahan membuat lemang.
“Mana kebanyakan? Kan warga kampung sebelah tempatmu sekolah dulu juga diundang,” bantah Unde.
Aduh, kenapa sampai ke warga kampung sebelah, batinku.
Iya, memang aku bersekolah enam tahun di kampung sebelah. Namun, bukan berarti mereka semua harus diundang, ‘kan? Bukannya aku menolak mengundang mereka ke hari bahagia nanti, tapi ini sedikit berlebihan jika meminta sumbangan dari mereka yang tidak begitu akrab denganku.
Lazimnya, duduak induak-induak hanya mengundang warga kampung sendiri. Mereka akan bertandang ke rumah kami untuk membicarakan perihal pesta pernikahan. Siapa yang akan membantu memasak, mencuci piring, hingga membahas biaya pernikahan. Meskipun ini sudah dimufakatkan saat duduak dunsanak kemarin, duduak induak-induak juga dilakukan agar kami mendapat sumbangan bantuan penyelenggaran baralek dari warga kampung. Sebagai gantinya, kami akan membawakan sebungkus atau dua bungkus sipuluik sebagai ucapan terima kasih.
“Bagaimana Anhar? Berapa jadinya dia sanggup bayar?” tanya Unde.
Aku yang sedang duduk di sebelah Umak sambil memotong kertas pembungkus nasi tercengang mendengar pertanyaan Unde. Tidak kusangka pernikahan sederhana yang kuidamkan justru akan serumit ini lantaran masalah biaya.
“Kau tahu kan, Din, minimal kita harus menyembelih sapi supaya kalian bisa di-kie selepas akad nanti. Ah, pasti meriah sekali melihatmu diarak keliling kampung mengenakan pakaian anak daro. Unde akan minta anak-anak remaja untuk memainkan rebana kuat-kuat agar semua orang tahu kita sedang beralek gadang,” cerita Unde antusias.
Unde tidak bisa menyembunyikan tawa sumringahnya. Tangannya sekarang sudah terangkat ke atas. Berceloteh membayangkan pelaminan besar bernuansa merah dan emas yang akan ditegakkan di depan rumah kami. Juga panggung yang akan mendendangkan lagu-lagu Minang yang akan dinyanyikan live oleh artis lokal.
“Sudahlah, Mi, kita lihat dulu nanti dapatnya seberapa,” jawab Umak menengahi.
Aku tahu, Umak sebenarnya pusing memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk baralek nanti. Sawah belum panen. Semenjak pandemi Corona pun, Umak tidak bisa lagi menitipkan gorengan di kantin sekolah sebagaimana yang biasa ia lakukan untuk mendapatkan sedikit uang. Perekonomian kami memang sedikit terguncang. Karena itu jugalah, aku dan Anhar berencana menikah sederhana juga. Kami tidak ingin menjadi beban siapa pun.
Sayangnya, Adik Abak ini terlalu berambisi. Kalau tidak sapi, tidak jadi. Kalau tidak di-kie seolah tidak sah. Bahkan kata tetangga sebelah, aku dijadikan pelampiasan lantaran ia belum menikah sampai sekarang. Semua keinginan dan harapannya dalam menyelenggarakan upacara adat yang seharusnya ia nikmati bertahun-tahun lalu seolah dilimpahkan ke aku. Desas-desus miring pun bertambah liar, menertawakan Unde yang hampir berkepala empat tapi masih jadi perawan tua.
“Aku sudah pesan orgen, panggung, dan pelaminan untuk tanggal tujuh nanti. Tentu saja harus jadi. Jadi berapa Anhar bisa bayar? Sepuluh emas bisa, tidak?” tanya Unde.
Astagfirullah, sepuluh emas? Aku terkesiap. Kulihat raut wajah Umak yang juga tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Seingatku waktu lamaran kemarin tidak ada dibahas masalah nilai mahar yang harus Anhar bayar. Kenapa tiba-tiba Unde meletakkan harga sepuluh emas?
“Belum tahu, Unde. Sepertinya sepuluh emas terlalu mahal. Kalau memang tidak cukup, rendang ayam kan juga enak. Iya kan, Umak?” Aku berusaha menawar dan meminta dukungan Umak.
Aku tidak meragukan kemampuan memasak Umak dan Unde. Tidak akan mungkin rumah makan Unde bisa selaris sekarang kalau tangannya tidak berbakat mengolah makanan. Bisa dipastikan semua jenis bahan masakan yang disodorkan pada mereka berdua bisa disulap menjadi sajian nikmat tiada tandingan, sekalipun itu hanya lauk ikan atau ayam.
“Enak juga. Apalagi kalau kita masak gulai kapau sebagai pelengkapnya. Umak jamin semua tamu undangan akan bangkik salero-nyo.” Umak setuju denganku.
“Itu terlalu sederhana, Ni. Yang lebih mewah sedikitlah,” tolak Unde. “Untuk Adin masa’ kau mau buat acara sederhana. Tidak selevel dengan status pendidikan dan pekerjaannya.”
“Adin tidak masalah, Unde, kalau acaranya diselenggarakan sederhana saja. Yang penting, Umak dan Abak merestui, insyaa Allah sudah cukup,” jawabku. Kulihat wajah Unde berubah masam. Keningnya sedikit berkerut dan bibirnya dikerucutkan. Tidak lagi bersuara dan memusatkan perhatian pada kertas-kertas yang berserakan di depan kami. Aku jadi merasa bersalah. Sungguh, tidak ada maksud hati sama sekali untuk mengabaikan keinginan Unde apalagi tidak menghormatinya. Aku hanya ingin menengahi perselisihan ini.
Kami tidak membahas perkara baralek itu lagi hingga azan Subuh berkumandang. Sedikit banyak aku merasa terselamatkan panggilan salat yang menyela suasana dingin dapur kami. Obrolan baralek yang seharusnya ringan dan menyenangkan, selalu saja berubah memanas jika diperdebatkan dengan Unde. Aku mengajak Umak dan Unde salat berjamaah ke masjid. Kulihat Abak juga sudah bersiap-siap menembus dinginnya pagi dengan sarung dan senternya.
Kebiasaan di tempat kami, salat Subuh sebaiknya dilaksanakan di masjid. Apalagi jarak masjid dan rumah yang cuma dua ratus meteran, akan sangat memalukan jika enggan salat Subuh berjamaah. Unde merajuk, ia menolak pergi bersama kami dengan alasan harus menjaga beras ketan yang sebentar lagi dikukus ini. Aku tidak memaksa. Hanya sedikit kecewa dengan sikapnya yang kekanak-kanakan, mangambok lantaran perselisihan pendapat. Kenapa pula memasak beras ketan lebih penting daripada menunaikan ibadah salat?
***
Sejujurnya aku tidak menyangka bakal seramai ini yang datang. Tak menyangka juga masih ada teman-teman lamaku dari kampung sebelah yang mau datang dan menikmati kue sederhana kami. Sipuluik yang tadi dimasak beramai-ramai dengan tetangga dan famili sudah kami bungkus sebagai buah tangan untuk para undangan yang sudah berkenan memberikan sedikit rupiahnya untuk baralek nanti. Hanya ketan putih dengan taburan kelapa di atasnya. Hanya ada kue bawang, pisang goreng, dan dakak-dakak. Sejenis panganan yang terbuat dari singkong kukus yang dipotong dadu lalu direndam dalam air bumbu kunyit dan digoreng kering. Sungguh, meskipun sajian ini sangat sederhana, rasanya istimewa.
Aku duduk di sebelah Mak Nang, ia berkawan akrab dengan Umak. Aku juga sering main ke rumah Mak Nang waktu kecil. Meminta lapek bugih yang hangat baru keluar dari kukusan.
Dakak-dakak: Sejenis kue tradional Minang.
Lapek bugih: Sejenis makanan tradisional Minang.
Bisa dibilang Mak Nang adalah ibu keduaku saking dekatnya aku dengan beliau. Ia mengusap lenganku berkali-kali, tidak percaya Adin yang dulu masih sering lari-lari di halaman rumahnya kini sudah akan berumah tangga sendiri.
“Umakmu senang sekali melihat kau akan segera menikah. Kau senang juga kan, Din?” tanya Mak Nang. Ia mengunyah sirih, memamerkan senyumannya yang kemerahan. Kata Mak, sirih bagus untuk menjaga kesehatan gigi dan gusi. Pantas saja jika orang-orang tua giginya sehat walaupun zaman dulu mereka tidak begitu akrab dengan pasta gigi ber-fluoride.
“Sangat senang, Mak. Mohon doanya semoga akad dan baralek nanti lancar,” jawabku takzim. Doaku sederhana saja. Hanya tinggal tujuh hari. Kuharap tidak ada aral melintang.
“Insyaa Allah, lancar, Din. Lihatlah, yang datang ramai. Dari tadi Umak dan Unde-mu tidak berhenti-henti mengeluarkan keranjang sipuluik yang baru.” Mak Ngah menyela obrolan kami. Dia dari tadi juga sibuk mengisi piring kosong dengan dakak-dakak. Tamu datang silih berganti. Semua optimis, uang sumbangan yang akan diterima hari ini sebanding dengan jumlah sipuluik yang kami bagikan.
“Belum lagi rombongan bapak-bapak dan remaja nanti malam. Bisa baralek gadang kau, Din!” sambung Mak Ngah lagi.
Aku tersenyum pedih. Sebegitu inginnya mereka bisa menyelenggarakan baralek gadang untukku. Namun, entah kenapa pikiranku tidak tenang. Seolah ada yang mengganjal di hati. Rasa was-was dan khawatir akan hal buruk yang akan menimpa. Aku tidak percaya firasat. Biasanya itu hanya bisikan setan yang sengaja melemahkan iman seseorang yang sedang berjuang menuju akad yang baik. Kukira ini juga hanya kegelisahan biasa lantaran aku akan segera menyandang status baru.
“Semoga saja, Mak,” jawabku singkat. Kuteguk segelas air yang tehidang di hadapanku untuk menenangkan pikiran. Mataku menangkap Unde dan Umak yang hilir mudik membagikan sipuluik setelah menerima selipan uang di tangan kanannya. Aku gelisah tak karuan, memangnya bisa seberapa banyak uang selipan yang terkumpul hanya mengandalkan sipuluik ini?
Nyatanya dugaanku benar. Dari siang hingga malam, setelah sipuluik habis disantap tamu undangan. Setelah teh manis berpuluh-puluh teko terhidang. Setelah ripik dan dakak-dakak habis dimakan. Setelah lelah menggegoroti sendi dan tulang. Setelah uang selipan selesai dihitung lembar per lembarnya. Unde memekik pelan dan mengerang tidak percaya.
“Saketek bana! Mana cukup untuk membeli sapi?!”
Aku menguping dari balik kamar. Dinding bilik yang hanya berbatas triplek tipis menggaungkan teriakan Unde cukup nyaring. Seakan belum puas, ia mulai mengeluarkan kata-kata kasar dan mengumpat tamu undangan. Menyumpah serapahi nominal sumbangan yang terlalu kecil.
“Istighfar, Mi. tidak boleh bicara begitu!”
“Tidak baik didengar orang!”
Umak dan Abak menyuruh Unde beristighfar berkali-kali. Malu jika mengungkit-ungkit pemberian ke orang lain dengan mengharapkan imbalan setimpal. Tidak enak juga jika didengar orang lain. Masa hanya karena perkara uang jadi ribut begini.
“Dua belas juta cuma! Seramai itu orang-orang tadi cuma dapat dua belas juta?! Sampilik kariang bana orang-orang ini,” umpat Unde lagi. Ia menekankan kata-kata sampilik kariang yang berarti pelit sekali.
“Sudahlah, Mi. Mungkin mereka bisanya membantu cuma segitu. Jangan terlalu dipaksakan. Yang penting kan ikhlas,” bujuk Abak. Mendengar kalimat Abak aku ikutan mengangguk. Sedari awal aku memang tidak berharap banyak.
Aku yakin pasti tetangga sebelah bisa mendengar. Aku beristighfar pelan. Kenapa jadi serumit ini sekadar mau menikah saja? Pintu kamarku digedor kencang-kencang. Unde memanggilku dengan tidak sabaran. Aku tidak tahu apalagi masalahnya kini. Kulipat mukena dan kubuka pintu yang sudah didorong Unde tanpa sabar itu. Saat pintu terbuka, kulihat wajah Unde kemerahan karena marah. Matanya melotot tak karuan. Ujung rambutnya terurai berantakan dari sanggulnya. Telunjuknya mengarah ke wajahku.
“Telpon Anhar kau itu. Bilang padanya, kalau tidak lima belas emas, tidak jadi!” Aku beristighfar mendengar perkataan Unde. Lima belas emas, uang dari mana, Ya Allah.(*)
Biodata Penulis:
Ulul Ilmi Arham lahir di Padang, 22 April. Buku solonya yang berjudul Merah Jambu Kelabu (Sinar Pena Amala Publisher) terbit Maret 2021. Kritik saran silahkan layangkan ke ululilmiarham@gmail.com atau DM Instagram @ululilmiarham
Benturan Gagasan dalam Karya Sastra
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Anggota Forum Lingkar Pena dan Dosen
Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Okky Madasari dalam bukunya berjudul Genealogi Sastra Indonesia Kapitalisme Islam dan Sastra Perlawanan (2019) mengutip pendapat Aoh K. Hadimadja yang disampaikan dalam Pertemuan Sastrawan di Medan pada 2 September 1951. Hadimadja menyampaikan bahwa ciri-ciri utama karya sastra Indonesia pada periode sebelum Pujangga Baru (1922 – 1933), Pujangga Baru (1933 – 1942), dan Angkatan 45 (1942 – masa pertemuan sastrawan tersebut diadakan).
Lebih jauh, Hadimadja menyampai bahwa karya-karya pada sebelum Pujangga Baru kental diwarnai unsur kedaerahan. Selain itu, ciri dari karya sastra periode ini adalah suasana sentimentil dan putus harapan. Madasari melanjutkan bahwa pengarang-pengarang pada masa ini, di antaranya adalah Merari Siregar dengan karyanya Azab dan Sengsara (1920), Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya (1922), dan Abdul Muis dengan karyanya Salah Asuhan (1928). Karya-karya yang disebutkan itu kental dengan nuansa kedaerahan, terutama nuansa Minang. Dalam karya tersebut, ada kecenderungan untuk mempertanyakan tradisi dan bersikap kritis terhadap adat istiadat dengan penuh sentimentil dan kerap berakhir tragis.
Pada masa Pujangga Baru, ciri utamanya adalah karya sastra yang penuh nuansa kegembiraan anak muda yang melihat suatu dengan penuh harapan dan kemurnian, tanpa menonjolkan unsur kedaerahan. Contoh-contoh karya zaman ini adalah Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, Belenggu (1940) karya Armijn Pane, dan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) karya Amir Hamzah.
Angkatan 45 juga hadir dengan ciri yang berbeda, menghadirkan pengembaraan betapa oahitnya dunia. Melalui karya-karya mereka, Angkatan 45 seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Asrul Sani dan lain sebagainya menghadirkan kisah-kisah pengembaraan dan suka duka di dalamnya yang tertuang pada puisi-puisi mereka.
Ketika zaman berganti, berbagai jenis angkatan sastra pun bermunculan dengan mengusung tema-tema yang spesifik maupun yang universal. Dari membaca sejarah kesusastraan Indonesia itu, hal yang dapat menjadi pelajaran adalah tema-tema yang banyak itu, pada masa saat ini kembali hadir dengan pola penceritaan yang sesuai pada zamannya. Contohnya karya-karya romantis seperti yang dihadirkan Hamka dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah, kembali dihadirkan oleh Habiburrahman El Shirazy dalam Ayat-Ayat Cinta dan berbagai karya ikutannya. Perlawanan melawan adat, perjuangan mewujudkan mimpi dan cita-cita, kini silih berganti hadir dan dihadirkan oleh penulis yang datang silih berganti dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Tema-tema perlawanan terhadap adat dan budaya, benar hadir sejak zaman Siti Nurbaya, namun bertahun-tahun sesudahnya. Hingga kini dan mungkin nanti, kisah perlawanan anak-anak muda terhadap adat yang mereka anggap mengekang terus hadir dalam karya sastra.
Dalam Kreatika edisi ini, redaksi menghadirkan sebuah cerpen berjudul “Sipuluik” karya Ulul Ilmi Arham. Agaknya penulis muda ini terinspirasi oleh karya-karya pendahulunya yang memberontak terhadap adat melalui karya sastra. “Sipuluik” sebuah cerpen yang menceritakan perjuangan dua orang anak muda berbeda kasta untuk menikah. Tokoh perempuan dalam cerpen ini berasal dari keluarga berada, sehingga ketika mereka akan menikah, keluarga tokoh perempuan ini menginginkan pesta pernikahan yang mewah berbiaya mahal demi harga diri keluarga mereka.
Peran antagonis dalam cerpen ini adalah Unde yang ingin kemenakannya “dijemput” dengan uang yang banyak agar bisa menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah. Dengan demikian, ia bisa dengan bangga mengundang kolega-koleganya dan tentunya membanggakan keluarganya yang berada. Sementara itu, calon menantu mereka ini adalah lelaki yang biasa-biasa saja, namun sangat dicintai anak mereka. Di sinilah, konflik muncul. Unde yang mewakili tokoh tua kaum adat ingin uang hantaran yang mahal dari pihak lelaki. Sementara itu bagi kedua calon pengantin itu tidak penting pesta pernikahan yang mewah karena bagi mereka esensi pernikahan adalah mengumumkan bahwa mereka sudah menjalin hubungan sebagai keluarga.
Namun, Unde menolak. Unde yang cukup berstatus di Simpang Empat Pasaman seolah tak rela kemenakannya dinikahkan dengan syukuran kecil-kecilan. Dia menghendaki kami potong sapi agar bisa menyajikan rendang daging di hari resepsi nanti. Unde bersikeras menikah harus mewah karena ini acara sekali seumur hidup. Kita harus menjamu tamu dengan sebaik-baiknya hidangan (Arham, 2020).
Gambaran gagasan tokoh tua dari kaum adat yang diwakili Unde itu ditolak mentah-mentah oleh anak-anak muda yang menyadari bahwa tidak pantas pernikahan yang sakral dan suci itu justru memberatkan mereka yang ingin menunaikan niat baik untuk menikah. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini:
Bukankah pernikahan dilakukan untuk mencegah fitnah. Kenapa hal semudah ini justru dipersulit. Sayangnya, Unde tidak peduli. Dia bersikeras bahwa aku harus baralek. (Arham, 2020).
Kaum tua yang ingin menjaga tradisi dengan cara apa pun dan memaksa anak-anak muda mengikuti kemauan mereka, sementara anak-anak muda yang berusaha realistis dengan kehidupan yang mereka hadapi. Inilah benturan gagasan yang muncul dalam cerpen “Sipuluik”.
Perlawanan selanjutnya dapat dilihat keinginan Unde untuk memenuhi setiap rangkaian pesta yaitu lamaran, malatak tando (bertunangan), duduak dunsanak (rapat pernikahan), nikah, dan baralek gadang (pesta pernikahan). Sementara itu, menurut anak muda “kalau memang rezekinya tidak cukup untuk menyelenggarakan sampai ke sana.. Toh, menikah di KUA pun juga sudah sah. Hanya perlu ijab kabul dan tanda tangan buku nikah.”
Jika dilihat dari motif cerita ini dibangun, penulis sudah berhasil menyampaikan pesan-pesan moral dalam cerpennya. Namun, sebagai sebuah karya yang masih dalam proses kepengarangan penulisnya masih banyak yang perlu disempurnakan dalam menulis cerpen ini agar ke depan penulis bisa melahirkan karya-karya yang lebih baik. Contohnya, dalam cerpen “Sipuluik” ini sangat banyak catatan kaki seperti dalam buku-buku ilmiah. Hal ini terasa menganggu pembaca karena pembaca yang tidak tahu maksud kata-kata dalam bahasa daerah itu harus mencari arti kata itu di bagian bawah halaman cerpen. Hal ini mengurangi rasa yang sudah terbangun dalam diri pembaca.
Menurut saya, tidak masalah menambahkan catatan kaki untuk kata-kata yang memang tidak dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Tidak perlu menghadirkan banyak catatan kaki untuk bahasa daerah yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, Ulul sudah berproses dengan baik dalam menghasilkan karya-karya fiksi (terutama cerpen). Semoga saja ke depan tetap terus berkarya dan terus belajar dengan banyak membaca karya-karya orang lain yang lebih baik. Dari membaca karya orang lain itu, kita bisa menyerap ilmu bagaimana menghasilkan karya yang lebih baik. (*)
Catatan :
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post