Cerpen: Yuniar Galuh Nur Fatiha
“Mama ingin merawat negeri,” jawabnya singkat.
“Maksudnya?” tanyaku.
Dia terdiam. Bola matanya bergerak mengikuti setiap kata di layar monitor yang sedang diketiknya.
“Maaa,” desakku tak sabaran.
“Sasha, sudah berapa kali mama bilang. Nanti kamu akan ngerti sendiri.”
Ia bahkan tak melirikku. Memang, ini bukan pertama kalinya aku bertanya tentang alasan mama menjadi pewarta. Dengan gaji yang—jujur saja—tak seberapa jika dibandingkan dengan uang bulanan yang papa berikan selama ini, aku ingin tahu sebenarnya apa alasan mama memilih pekerjaan tersebut. Jika dia memang ingin memiliki uang tambahan, mengapa tidak meneruskan profesi lamanya dulu sebagai seorang pengacara? Mama benar-benar membingungkan sepanjang sejarah, menurutku. Padahal, mama dulu kuliah hukum. Tak ada sangkut pautnya dengan dunia jurnalistik, tapi dia selalu berkata, “Semua orang bisa jadi jurnalis, Sha.”
Tak jarang, aku diam terpaku karena pemikiran nasioalisnya. Setiap hal-hal kecil yang dilakukannya selalu dikaitkan dengan rasa bangga pada tanah air dan kalimat yang sering kudengar, yaitu“Diam, Sha. Mama sedang merawat negeri.” Beberapa kali aku terkekeh mendengarnya karena pemikiran mama yang terlalu jauh menurutku.
Kuberi contoh saja agar kalian mengerti maksudku. Saat itu, mama melihat beberapa botol plastik yang berserakan tepat di depan rumah kami. Mama yang sudah siap di jok kemudi mobil pun tergesa-gesa keluar dan masuk ke dalam rumah.
“Maaa, apalagi yang ketinggalan, sih. Kebiasaan, deh,” keluhku tak sabaran.
Beberapa saat kemudian, mama keluar membawa tempat sampah berwarna putih kusam dengan ukuran yang cukup besar. Aku pun turun dari mobil karena penasaran dengan apa yang sedang mama kerjakan. Saat kudekati, mama sedang memposisikan tempat sampah yang tadi dibawanya tepat di samping gerbang bagian luar.
“Mama lagi ngapain, sih? Ayo, aku bisa telat nih.”
Mama memilih diam dan dengan segera memungut beberapa botol yang berserakan tadi.
“Maaa…”
“Diam, Sha. Ini bagian dari merawat negeri.”
“Hah?” Aku kaget, lalu aku terdiam dan berusaha mencerna jawaban mama.
Belum selesai aku berpikir, klakson mobil berhasil membuatku terperanjat kaget. Entah sejak kapan mama sudah masuk ke dalam mobil.
“Cepat, Sha! Nanti kamu telat.”
Di dalam mobil, mama menjelaskan maksud dari “merawat negeri” saat aku sudah tak mau lagi memikirkan hal tersebut karena jujur dari awal aku tidak mengerti sama sekali maksud mama. Katanya, dengan memungut sampah yang ada, mama sudah ikut serta dalam kegiatan pencegahan banjir. Kemudian, menyediakan tempat agar tidak ada lagi yang membuang sampah sembarangan. Menurut mama itu merupakan bagian dari merawat negeri.
“Lebih lengkapnya, merawat negeri dari orang-orang yang memicu terjadinya banjir karena tindakannya yang tidak bertanggung jawab dalam membuang sampah,” jelasnya.
Mama hanya memungut beberapa botol plastik dan dia merasa sudah berperan dalam merawat negeri dari bencana alam? Apa ini serius?”
“Jangan suka meremehkan hal kecil, Sha. Sesuatu yang dianggap remeh pasti mempunyai dampak yang besar di kemudian hari,” lanjutnya.
Dulu, saat aku kecil, mama bercerita banyak tentang kakekku, sang mantan veteran yang ikut berjuang dalam kemerdekaan RI. Kakek pernah berpesan pada mama untuk belajar menjadi perempuan dan ibu yang merawat negeri. Saat diceritakan pesan itu untuk pertama kali, aku sama sekali tidak mengerti maksudnya, tetapi semakin lama, satu persatu hal-hal kecil diajarkan mama mengenai apa yang dimaksud dengan merawat negeri.
Merawat negeri sudah seperti ilmu yang melekat pada mama. Mama lebih memilih mendongengkanku tentang cerita rakyat dibandingkan kisah-kisah princess luar negeri. Katanya, itu bagian dari merawat negeri, khususnya budaya yang dimiliki oleh tanah air. Setiap liburan keluarga, ia memilih mendatangi tempat-tempat seperti museum bersejarah dan sejenisnya.
Mama juga selalu menekankan arti saling menghargai perbedaan. Aku tidak boleh memilih-milih teman hanya karena perbedaan di antara kami, seperti agama, suku, status sosial, dan lain sebagainya. “Ini merupakan salah satu merawat negeri dengan toleransi,” katanya.
Entah berapa kali ia berpesan untuk aku harus menyampaikan ilmu “merawat negeri” pada anak dan cucuku kelak. Aku yang baru berusia tujuh belas tahun selalu terkekeh setiap mendengar pesan itu. Lagi lagi, mama berpikir terlalu jauh, tapi entah mengapa aku jadi selalu ingat permintaan mama karena terlalu sering ia mengingatkanku.
Dari sekian banyak pelajaran merawat negeri yang diberikan, hanya satu hal yang masih membingungkan hingga saat ini, yaitu alasannya menjadi seorang pewarta. Dia hanya menjawab ingin merawat negeri, tanpa memberi penjelasan yang lebih spesifik. Tidak seperti pelajaran lainnya yang dijawab dengan jelas tanpa aku minta. Pertanyaan yang satu ini selalu kutanyakan, entah sudah berapa kali, mungkin ratusan. Ah, tidak sebanyak itu juga. Intinya, sudah berkali-kali kuajukan pertanyaan yang sama. Kalimatnya tak pernah sedikit pun menjawab pertanyaanku.
Apa hubungan antara menjadi pewarta dengan merawat negeri? Karena memilih berkutat dengan komputer tua berjam-jam dalam sehari? Atau bertemu dengan orang-orang penting yang dijadikannya narasumber termasuk merawat negeri? Atau yang mana? Ah, benar-benar membingungkan.
“Mau ikut mama belanja sayur ke depan kompleks?” ajak mama tiba-tiba dan membuatku sedikit berjingkat karena terkejut.
“Kamu ngelamun?”
“Enggak, Ma. Tadi akting kaget.”
Kulihat mama mulai berpikir.
“Sadah, ayo. Sasha ikut.”
Aku segera bangkit agar mama tidak bertanya lebih lanjut. Diajak bercanda begitu mama tidak paham. Memang agak sulit ngobrol santai dengan mama dengan kondisi jari yang masih panas usai memijit papan ketik di komputernya. Pikirannya pasti masih kritis dan panas. Jadi, tidak bisa diajak bercanda.
Kami berjalan kaki menuju tempat membeli sayur. Aku mengeluh, menyesalkan kami yang tidak menggunakan kendaraan saja. Jika tahu cuaca sepanas ini, sepertinya aku memilih tidak ikut dan berdiam diri saja di kamar dengan AC menyala sambil minum es.
“Ini bagian dari merawat negeri juga, loh!” Mama mencubit pelan lenganku sambil tersenyum jail.
“Hah? Lagi?” tanyaku heran. Saat seperti ini ia masih sempat mengajarkanku tentang ilmu itu.
“Merawat negeri dari generasi muda pemalas kayak kamu,” kekeh mama.
Aku memutar bola mata, kesal dengan jawaban mama yang seperti meledekku. Belum jadi kujawab, ternyata kami sudah sampai di tempat penjual sayur.
“Eh, Bu Ita,” sapa penjual sayur.
“Tumben Neng Sasha ikut. Mari, sini, Neng. Biar tidak kepanasan.” Seraya tersenyum ramah, ibu itu memberiku ruang untuk berteduh di tokonya yang tak begitu luas.
Aku hanya tersenyum mengangguk dan segera berteduh. Tidak cukup membuat kepalaku dingin, tapi terasa sedikit lebih baik daripada terkena langsung terik panas matahari di siang hari.
“Biar bergerak, Bu Inah. Tidak tengkurep di kamar terus,” jawab mama yang masih memilih sayur di hadapannya. Aku semakin kesal mendengarnya.
“Tidak apa mageran ya, Sha daripada keluar terus-terusan dan keluyuran gak jelas.” Bu Siti, salah satu tetanggaku yang baru saja keluar dari dalam toko tiba-tiba saja menyahut. Sepertinya ia baru saja mengambil daging ayam atau daging sapi yang ada di freezer ruangan dalam.
“Bu Harti kalau ngomong kayak gini, pasti ada maksudnya, kan?” tebak Bu Inah menanggapi.
Seorang ibu-ibu yang aku tidak tahu namanya, berdiri di samping mama ikut tertawa mendengar pertanyaan Bu Harti.
“Langsung aja, Bu Harti. Ada apa, sih?”
Sepertinya ibu-ibu ini akan bergosip. Pasti ada sosok ‘keluyuran tidak jelas’ yang dimaksud oleh Bu Harti. Jujur, aku pun menjadi penasaran. Selama ini, aku tidak pernah mendengar gosip di rumahku. Entah, kami yang tidak update dengan kabar sekitar atau bagaimana, tapi aku tidak pernah mendapat informasi tentang lingkungan sekitarku dari papa atau mama. Aku pun jarang keluar rumah jika tidak ada kepentingan. Mungkin, itu juga menjadi salah satu penyebab dari ketidaktahuanku terhadap lingkungan sekitar.
“Itu, loh. Si Siska, anaknya Bu Tejo yang samping rumah Bu Ita. Tiap hari keluyuran tak jelas,” ujar Bu Harti membuka gosip hangat itu.
Aku menggeser maju kursi plastik di belakangku dan kemudian kududuki. Aku ingin mendengar gosip hangat itu, tapi aku tak mau terlihat ikut-ikutan. Kuambil saja ponsel di kantong celanaku dan kumainkan seadanya. Padahal, internet pun sama sekali tidak ada karena aku selalu pakai Wi-Fi di rumah. Jadinya, kumainkan saja layarnya. Kugeser-geser setiap ikon aplikasi yang ada. Pokoknya, aku mau terlihat sibuk dengan ponselku dan tidak terkesan sedang menguping.
“Keluyuran bagaimana, Bu? Bukannya dia emang kerja tiap hari?” tanya Bu Inah sedikit berbisik.
Aduh, kenapa jadi bisik-bisik begini, sih? Kumajukan lagi kursi yang kududuki agar semakin dekat. Aku kenal dengan yang dimaksud dengan Bu Harti. Dia tetanggaku, rumahnya persis di samping kanan rumahku. Setahuku, dulu dia memang bekerja di hotel, tapi aku tidak tahu lebih lanjut lagi karena sudah jarang bertemu.
“Hih! Masa kerja pulang pagi, pulang malem. Kadang, pulang siang.” Bu Harti berkata dengan sangat yakin. Ditambah penekanan dengan aksen khas Jawanya. “Saya perhatikan, setiap hari dia diantar sama mobil yang beda-beda. Duh, gusti! Ngeri banget!” Bu Harti bergidik ngeri.
Dulu, saat aku kecil, aku sering bermain dengan Mbak Siska. Selama yang kutahu, dia sosok yang baik dan sopan. Tidak pernah berbuat aneh-aneh, tapi setelah mendengar apa yang dikatakan Bu Harti barusan, aku jadi merasa salah. Ternyata Mbak Siska tak sebaik yang aku duga selama ini. Tiba-tiba saja, aku teringat saat terakhir kali bertemu dengannya. Saat itu, dia baru pulang kerja dan menyapaku yang kebetulan sedang duduk di teras rumah. Aku ingat sekali, dia mengenakan pakaian minim. Rok pendek di atas lutut dan kemeja yang sedikit ketat menurutku. Berbeda sekali dengan penampilannya dulu yang selalu menggunakan pakaian tertutup dan sopan. Apakah ini berhubungan dengan apa yang dikatakan Bu Harti? Jika betul, aku benar-benar tidak menyangka. Jadi, dia bekerja di hotel dan…
“Sha, ayo pulang!”
Entah sudah berapa kali aku terkejut dalam naskah ini karena mama. Selain sulit ditebak, ternyata mama juga hobi mengagetkan orang.
“Eh, ma? Udah?” Aku sedikit kecewa karena merasa belum mendengar cerita lengkap dari Bu Harti. Atau sedari tadi sudah selesai dan aku tidak menyadarinya karena melamun? Ah, entahlah. Segera aku berpamitan dengan ibu-ibu yang lain dan menyusul mama yang sudah beberapa langkah di depanku.
“Ma, apa bener Mbak Siska begitu?” Aku berusaha menyejajarkan langkahku dengan mama yang sepertinya berjalan agak terburu-buru.
“Bener apanya?” tanyanya sambil sedikit mengurangi kecepatan berjalannya.
“Yang tadi dibilang Bu Harti.” Penasaranku sudah benar-benar sampai di ubun-ubun.
“Astaga, Sha. Kamu percaya?” herannya.
Aku terdiam. Memangnya, apalagi alasanku untuk tidak percaya dengan gosip tadi? Bu Harti menjelaskan dengan yakin dan ibu-ibu yang lain juga percaya.
“Ya—”
“Eh, Siska!” teriak mama tiba-tiba. Siska? Kuarahkan pandangan mataku pada apa yang sedang dilihat mama. Dan, ya, benar saja. Ada Mbak Siska yang baru saja keluar dari mobil dengan pakaian ketatnya—menurutku. Benar-benar panjang umur.
Aku memerhatikan sosok pengemudi mobil itu sebelum pergi. Wajah seperti apa yang membawa pulang Mbak Siska hari ini. Aku ingat sekali, terakhir aku bertemu dengannya, ia turun dari mobil berwarna putih. Sementara ini, warna merah. Ternyata benar kata Bu Harti. Astaga!
“Tante Ita,” sapanya balik. Setelahnya, ia mengangkat tangannya, memberi isyarat pada mama untuk menunggu sebentar. Mbak Siska mengatakan sesuatu pada sosok yang duduk di jok kemudi, entah apa—mungkin salam perpisahan—, sebelum akhirnya mobil itu melaju pergi.
Mbak Siska menghampiri kami, ia mencium tangan mama dan tersenyum padaku. “Tante apa kabar? Maaf ya Siska jarang main lagi sekarang. Rasanya udah lama banget tidak ketemu, ya.”
“Iya. Tante ngerti, kok. Kamu kan sudah kerja sekarang. Jadi, tidak butuh lagi saran dan masukan dari tante lagi soal skripsi atau tugas akhir, kan?”
Mereka mengobrol lebih lanjut sementara aku hanya tersenyum dan memikirkan banyak hal. Gosip dari Bu Harti tentangnya tadi masih menguasai pikiranku. Kuperhatikan kembali pakaiannya dari atas hingga bawah. Benar-benar pakaian minim yang minim.
Sepertinya mama menyadari tingkahku, ia segera mengalihkan perhatian Mbak Siska. “Eh, sudah tak pernah dijemput papa lagi, Sis?”
“Oh, iya tante. Kasian papa udah butuh banyak istirahat. Lagian, shift-ku lagi tidak jelas akhir-akhir ini karena teman banyak yang cuti. Kadang, pulang pagi dan kadang siang. Kadang, juga malem.”
Seketika, aku terdiam mendengar kalimat Mbak Siska. Belum selesai aku mencernanya, ia segera melanjutkan kalimatnya yang ternyata belum selesai.
“Jadinya, setiap hari aku naik taksi online, deh. Kadang juga ditebengin sama teman.”
Aku semakin tertegun. Sementara mama, aku mendengar dia menghela napas lega, sebelum sesaat kemudian melirik ke arahku. Seolah dia baru saja memenangkan taruhan denganku.
“Ya sudah, Sis. Masuk, gih. Pasti capek baru pulang. Salam ya buat mama papa. Nanti kapan-kapan tante main, deh. Sama Sasha juga. Ya kan, Sha?”
Mama merangkulku sambil tersenyum lebar, tetapi dengan tatapan yang tajam. Aku pun hanya mengangguk dan tersenyum kikuk. Kami pun saling berpamitan dan pulang ke rumah.
“Tuh, Sha! Makanya jangan suka percaya gosip, berita hoaks.”
“Iya, ma. Maaf, deh.” Aku jadi merasa bersalah karena telah berprasangka buruk pada Mbak Siska.
“Jangan gampang percaya sama informasi yang tak jelas asal-usulnya. Apalagi cuma nurutin prasangka pribadi aja. Hih, mama capek-capek ke sana-sini ketemu narasumber, survei, cari informasi valid untuk kasih berita yang benar. Eh, anak mama sendiri termakan informasi hoaks. Bayangkan kalau informasi hoaks beredar luas di lingkungan hidup bernegara, Sha.”
Meski terkadang dianggap remeh, berita hoaks dapat memicu dampak besar. Mama menceritakan ketika kakek memberitahunya tentang berita hoaks yang dibuat oleh para penjajah untuk memicu perlawanan antarbangsa. Bahkan, berita hoaks sering beredar hingga saat ini. Ada oknum-oknum yang sengaja mengadu domba antara masyarakat dengan pemerintah. Atau antara masyarakat suatu golongan dengan golongan lainnya sehingga memicu perpecahan.
Aku terdiam mendengar penjelasan mama. Bukan perihal hoaks, tapi ada satu hal yang lebih menarik untuk kupikirkan sejak tadi. Tentang mama yang selalu berusaha memberikan informasi yang akurat dan tentunya dapat dipercaya. Tak jarang juga ia membenarkan informasi keliru yang beredar di masyarakat melalui tulisannya.
Ya, aku menemukannya dan benar kata mama. Aku akan mengerti dan paham dengan sendirinya tanpa mama harus mengatakan dengan jelas. Akhirnya kini, aku mengerti maksud dari merawat negeri yang sedang dijalankan mama sejak dulu hingga saat ini. Aku tersenyum bangga menatap mama. Ya, dia sosok perempuan hebat dengan ilmu merawat negerinya.
Catatan: Cerpen ini merupakan nominasi Lomba Menulis Cerpen Scientia 2020
Biodata Penulis:
Yuniar Galuh Nur Fatih, mahasiswa semester lima di Institut Pertanian Bogor pada program studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Email : yuniarfatiqhah@gmail.com