Bahasa digunakan untuk kegiatan komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari. Setiap harinya, bahasa dipakai dalam berbagai situasi yang berbeda. Oleh sebab itu, kita bisa merasakan perbedaan intonasi, pilihan kata, dan struktur kalimat yang diucapkan sehari-hari. Secara umum, para ahli bahasa mengategorikan penggunaan bahasa dalam berbagai ragam, seperti ragam lisan, tulisan, formal, dan informal. Perbedaan bahasa juga terjadi secara khusus jika dikaitkan dengan sosok si penutur. Setiap penutur memiliki latar belakang yang berbeda. Hal ini bisa memengaruhi bahasa yang ia gunakan.
Beberapa faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah usia, pendidikan, sosial budaya, jenis kelamin, agama, dan sebagainya. Secara pribadi, kita bisa merasakan kosakata yang kita miliki akan semakin bertambah seiring dengan pertambahan usia. Perbedaan bahasa yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya juga kerap terlihat, meskipun penutur sedang menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, masyarakat di Sumatera Barat cenderung menyebut salah satu minuman dingin sebagai teh es, tetapi masyarakat di wilayah lain menyebutnya sebagai es teh.
Contoh lainnya ada di dalam penyebutan jenis kendaraan roda dua. Sebagian besar masyarakat di Sumatera Utara menyebut sepeda motor dengan kata kereta. Akan tetapi, kata kereta dipahami oleh masyarakat wilayah lain sebagai alat transportasi yang bentuknya panjang dan bisa menampung banyak penumpang. Alat transportasi ini bisa berjalan di atas rel. Berbeda dengan itu, kata kereta yang dimaksud oleh masyarakat Sumatera Utara dikenal dengan nama sepeda motor atau motor bagi masyarakat lainnya. Uniknya lagi, bagi masyarakat Sumatera Utara, kata motor merujuk alat transportasi yang dipahami masyarakat luas sebagai mobil. Dengan singkat kata, bagi masyarakat Sumatera Utara, kereta adalah “sepeda motor”, sedangkan motor adalah “mobil”. Sangat jauh berbeda dengan itu, masyarakat Sumatera Barat menyebut sepeda motor dengan kata honda atau onda. Sesungguhnya, kata honda atau onda diambil dari merek salah satu sepeda motor.
Inilah contoh perbedaan bahasa yang terjadi secara umum, juga secara khusus (terkait dengan latar belakang penutur). Oleh sebab itu, ada beberapa kata yang dianggap kasar oleh orang lain, tetapi dianggap biasa saja bagi yang lainnya. Hal ini disebabkan lingkungan keluarga atau sosial yang berbeda. Bahkan, untuk anak kecil yang biasa dipanggil sayang oleh orang tuanya, ketika sang ayah atau ibu memanggil namanya, anak tersebut akan merasa canggung atau merasa sedang berada dalam situasi yang tidak biasa. Anak itu bisa saja berasumsi bahwa orang tuanya sedang marah karena tidak menggunakan kata sayang sebagai panggilan. Inti dari segala ilustrasi ini memberi pemahaman kepada kita bahwa semua bahasa kerap tampil “berbeda” sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat bahasa itu digunakan.
Perbedaan yang paling banyak terjadi adalah dalam bentuk situasi formal dan informal. Bahasa formal menggunakan kosakata yang resmi (dalam hal ini dipahami sebagai bahasa baku) dengan struktur kalimat yang hampir sempurna mengikuti kaidah tata bahasa. Bahasa formal bisa ditemukan dalam berbagai pelaksanaan pendidikan (seperti komunikasi saat belajar di dalam kelas), lembaga kenegaraan (seperti rapat, upacara, dan pidato), komunikasi massa (seperti berita di koran, televisi, dan radio), dan sebagainya. Berbeda dengan itu, bahasa informal digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang situasi tidak seresmi ketika menggunaan bahasa formal. Bahasa informal juga memiliki variasi yang kemudian dikenal dengan slang atau sering disebut bahasa gaul. Dalam edisi klinik bahasa Scientia kali ini, beberapa perbedaan bahasa Indonesia formal dan informal akan dijabarkan secara umum. Sejauh ini, ada empat perbedaan yang paling menonjol antara bahasa Indonesia formal dan informal, yaitu perbedaan imbuhan, penghilangan imbuhan, penghilangan huruf, kata, dan frasa, serta perebadaan total kosakata. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, perbedaan imbuhan. Bahasa Indonesia memiliki banyak imbuhan yang dikategorikan dalam awalan (ber-, me-, pe-, pel-, ter-, se-, di-, dan ke-), akhiran (-an, -i, dan -kan), sisipan (-el-, -er-, dan -em-), dan gabungan (antara awalan dan akhiran). Ragam bahasa formal menampilkan penggunaan imbuhan yang sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia. Akan tetapi, di dalam kehidupan sehari-hari, ada imbuhan yang secara formal akan berubah ketika digunakan secara informal. Saat ini, baru bisa disimpulkan dua imbuhan, yaitu awalan ber- dan ter- untuk beberapa situasi menjadi awalan ke-. Kemudian, akhiran –kan untuk beberapa situasi menjadi akhiran –in. Berikut ini adalah penjelasan dan contohnya.
Awalan ter- yang berubah menjadi ke- dalam bahasa Indonesia informal merupakan awalan ter- yang bermakna “tidak sengaja” atau “bisa dilakukan”. Contoh dari perubahan ini adalah terbawa menjadi kebawa, terbaca menjadi kebaca, dan termakan menjadi kemakan. Perubahan yang sama juga terjadi pada awalan ber-. Akan tetapi, perubahan pada awalan ber- tidak sebanyak awalan ter-. Salah satu contoh katanya adalah bertemu menjadi ketemu. Selanjutnya, akhiran –kan menjadi –in. Akhiran –kan memiliki makna “melakukan sesuatu untuk orang atau benda lain” dan “membuat jadi”. Contoh perubahannya terdapat dalam kata bukakan menjadi bukain, bacakan menjadi bacain, tuliskan menjadi tulisin, belikan menjadi beliin, bersihkan menjadi bersihin, antarkan menjadi antarin, dan buatkan menjadi buatin.
Kedua, penghilangan imbuhan. Penghilangan imbuhan sering terjadi di dalam percakapan informal. Imbuhan yang sering dihilangkan adalah imbuhan me- yang sebagian besarnya diikuti oleh verba (kata kerja). Dengan demikian, konteks kalimat tersebut (ada atau tidak ada awalan me-) tidak akan berubah. Contoh perubahannya terdapat dalam perbandingan kalimat-kalimat berikut:
- Dia sedang membaca buku.
Dia sedang baca buku. - Saya harus memasak makanan ini.
Saya harus masak makanan ini. - Kami akan mengambil baju itu.
Kami akan ambil baju itu. - Mereka belum membuat tugas.
Mereka belum buat tugas.
Hal yang lebih rumit terjadi pada awalan me- yang lesap (luluh atau hilang) untuk kata-kata dengan huruf pertama k, t, s, dan p. Ketika awalan me- dihilangkan, kata dasarnya tidak kembali ke bentuk awal. Contohnya mengerjakan (dari kata dasar kerja) menjadi ngerjain, menarik (dari kata dasar tarik) menjadi narik, menyimpan (dari kata dasar simpan) menjadi nyimpan, dan memilih (dari kata dasar pilih) menjadi milih.
Hal serupa juga terjadi pada imbuhan ber-. Salah satu makna imbuhan ber- adalah “melakukan kegiatan” seperti bekerja (dari kata dasar kerja), berbelanja (dari kata dasar belanja), dan berolahraga (dari kata dasar olahraga). Sesungguhnya, kata dasar kerja, belanja, dan olahraga merupakan kelas kata nomina (kata benda). Akan tetapi, banyak masyarakat Indonesia yang menyangka bahwa tiga kata ini adalah verba (kata kerja). Oleh sebab itu, penghilangan awalan ber- juga terjadi untuk kata-kata ini. Berikut adalah contoh perbandingan kalimat dalam bentuk formal dan informal.
- Ayah saya sedang bekerja.
Ayah saya sedang kerja. - Kami sering berbelanja di sana.
Kami sering belanja di sana. - Saya selalu berolahraga setiap pagi.
Saya selalu olahraga setiap pagi.
Ketiga, penghilangan huruf, kata, dan frasa. Penghilangan huruf terdapat dalam kata saja menjadi aja, sudah menjadi udah, tetapi menjadi tapi, dan sedangkan menjadi sedang. Penghilangan kata atau frasa terjadi dalam sebuah kalimat yang secara konteks bisa dipamahami oleh penutur dan mitra tuturnya. Kita bisa melihat contohnya dalam perbandingan kalimat formal dan informal berikut:
- Saya sedang berada di rumah./Saya ada di rumah.
Saya di rumah. - Kami akan pergi ke Jakarta.
Kami akan ke Jakarta. - Orang yang datang adalah ayah saya.
Yang datang adalah ayah saya. - Kami datang dari Bandung.
Kami dari Bandung. - Mereka pergi untuk membeli pisang ke pasar.
Mereka membeli pisang ke pasar.
Secara tata bahasa, penghilangan salah satu unsur kalimat (subjek, predikat, objek, dan keterangan) bisa dilakukan jika kalimat tersebut merupakan kalimat majemuk atau digabung. Contoh sebagai berikut:
- Kalimat 1 : Dia tidak datang.
Kalimat 2 : Dia sakit.
Dia tidak datang karena dia sakit. (Kata dia yang kedua bisa dihilangkan karena subjeknya sama. Kalimat ini menjadi: Dia tidak datang karena sakit).
- Kalimat 1 : Ayah memilih sepatu biru.
Kalimat 2 : Ibu memilih sepatu merah.
Ayah memilih sepatu biru, sedangkan ibu memilih sepatu merah. (Kata memilih yang kedua bisa dihilangkan karena predikatnya sama. Kalimat ini menjadi: Ayah memilih sepatu biru, sedangkan ibu sepatu merah).
- Kalimat 1 : Ibu memasak nasi goreng.
Kalimat 2 : Ayah memakan nasi goreng.
Ibu memasak nasi goreng, kemudian ayah memakan nasi goreng. (Frasa nasi goreng yang kedua bisa diganti dengan –nya karena objeknya sama. Kalimat ini menjadi: Ibu memasak nasi goreng, kemudian ayah memakan-nya).
Konsep penggabungan kalimat ini berbeda dengan penghilangan kata yang terjadi di dalam bahasa Indonesia informal. Hal ini disebabkan, kata-kata yang dihilangkan berasal dari kalimat tunggal bukan setelah adanya penggabungan kalimat.
Keempat, perbedaan bentuk kosakata secara total. Ada beberapa kosakata yang digunakan secara formal sangat berbeda ketika digunakan dalam situasi informal. Ini berbeda dengan penghilangan imbuhan atau huruf yang masih memililiki kesamaan bunyi. Kata-kata yang sangat berbeda itu adalah sedang menjadi lagi, sangat menjadi banget, buat menjadi bikin, dan untuk menjadi buat. Berikut adalah contohnya.
- Kami sedang membaca buku.
Kami lagi baca buku.
Kata sedang dan lagi memiliki makna yang sama di dalam konteks kalimat ini. Akan tetapi, kata lagi juga digunakan secara formal dengan makna “lebih dari satu kali” seperti belajar lagi.
- Wah, pemandangannya sangat bagus /bagus sekali.
Wah, pemandangannya bagus banget. - Kami belum membuat tugas.
Kami belum bikin tugas. - Roti ini untuk kamu.
Roti ini buat kamu.
Kata buat juga digunakan secara formal, tetapi maknanya tidak sama dengan untuk. Kata buat yang digunakan secara formal bermakna “menciptakan atau mengerjakan sesuatu” seperti contoh pada nomor tiga.
Ini hanya beberapa kategori umum dan contoh yang berhasil dikumpulkan di antara banyaknya perubahan yang terjadi dalam kalimat formal dan informal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, karena bahasa terus berkembang, bahasa yang digunakan sehari-hari juga berkembang, bahkan ke arah tidak beraturan sehingga sulit untuk menemukan pola perubahannya. Hal yang paling sulit dari perubahan ini adalah ketika mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing. Pelajaran di dalam kelas diberikan secara formal namun ketika pembelajar tersebut hidup langsung di tengah masyarakat Indonesia, mereka dihadapkan dengan bahasa informal yang cukup berbeda dengan bahasa formal.
Discussion about this post