Calon Jemaah Haji
Oleh : Afrizal Jasmann
Hari masih sangat pagi ketika Fauzan masuk ke rumah lewat pintu samping. Suara derik engsel berkarat membangunkan Kek Pian yang sedang terbaring di ranjang kayu kecil di ruangan itu. Suasana yang masih temaram mengaburkan pandangan matanya.
“Siapa itu?” tanya Kek Pian sembari mengernyitkan matanya demi dapat melihat dengan jelas.
“Saya. Fauzan.” Jawab remaja itu.
“Baru pulang kamu rupanya. Kemana saja semalaman?”
“Tidur di rumah Dodi, Kek.” Jawab Fauzan pula.
“Ada apa disana? Kenapa kamu tidak pulang?”
“Kami habis merayakan tahun baru.”
“Tahun baru? Ha, sudah tahun baru lagi sekarang? Tahun berapa?” tanya Kek Pian penuh semangat.
“2023.” Jawab Fauzan pendek sembari pergi dari ruangan bau minyak gosok itu.
Masih dalam keadaan berbaring, tanpa berkata apa-apa lagi, Kek Pian menantap nyalang lurus menembus langit-langit rumah. Sepertinya fikirannya sedang tertuju pada sesuatu yang sangat berharga.
“Tahun 23…”Ucapnya pelan. Nyaris berbisik seperti pada dirinya sendiri.
Dalam keadaan suasana terombang-ambing seperti itu, Marida- anak perempuannya yang tidak lain adalah orang tua Fauzan muncul dan membuka pintu samping itu lebar-lebar hingga sinar matahari yang berwarna kuning emas masuk memenuhi seisi ruangan.
“Bapak mau sarapan apa, ketupat gulai atau makan nasi saja?” Tanya Marida dengan suara yang tidak terlalu keras sembari memasangkan jilbab sorongnya ke kepala. Bersiap untuk pergi membeli sarapan.
“Nanti saja. Bapak belum lapar.” Jawab Kek Pian datar. Sepertinya ia masih terpatri pada fikirannya semula.
“Tidak bisa nanti-nanti. Bapak harus sarapan. Soalnya Bapak harus minum obat.” Balas Marida.
Kek Pian beringsut bangkit dari tempat tidurnya. Kendati sudah tidak muda lagi, namun Kek Pian masih punya banyak tenaga untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Hanya saja sejak beberapa waktu belakangan ini ia sudah dua kali jatuh sakit dan masuk ruang medis selama beberapa hari.
“Bapak mau kemana?” tanya Marida.
“Mandi. Bapak mau sarapan di warung saja.”
“Nanti dulu. Santi masih di kamar mandi. Lagi pula air panasnya juga belum ada.” balas Marida pula.
“Air panas termos saja, tidak ada?”
“Kosong. Lagi dimasak pula sekalian. Tunggu saja disini.” Jawab Marida sembari berlalu ke belakang.
Kek Pian menggantung bajunya yang telah terlanjur dibuka itu diujung tempat tidur, hingga yang tersisa hanya singlet usang menutupi tubuhnya yang keriput.
”Zan! Fauzan!” panggil Kek Pian.
“Ada apa, Pak?” Bukannya Fauzan yang muncul, tapi justru Marida sembari bertanya pula.
“Mana Fauzan tadi?” tanya Kek Pian.
“Ada. Tidur di belakang.”
“Katanya sekarang sudah tahun 23.”
“Dua ribu dua puluh tiga, Pak.”
“Ya. masih tiga tahun lagi rupanya..” pintas Kek Pian.
Marida terdiam sebentar. “Bapak yang sabar, ya.” ucapnya kemudian.
“Bapak selalu sabar, namun hidup manusia siapa yang tahu…”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Marida segera pergi keluar rumah. Melanjutkan rutinitas paginya seperti yang sudah-sudah.
*
Kek Pian adalah calon jemaah haji yang telah mendaftarkan diri sejak lima belas tahun lalu, sejak Fauzan masih dalam bedongan. Sedikit demi sedikit uang dari hasil sawah dan ladang ia kumpulkan dengan harapan cita-cita besarnya itu akan segera tercapai. Kadang bila cuaca baik, hasil panen pun berlipat ganda dan ia menggandakan setorannya pula. Namun bila keadaan buruk, Kek Pian terpaksa mengurangi setoran. Besar dan kecil, yang penting baginya jangan pernah berhenti memberikan setoran. Ia takut dengan bertambahnya usia, penyakit tua akan segera datang dan hal itu bisa menggagalkan harapan besarnya tersebut.
Pada awal mula ia mendaftarkan diri berdua dengan sang istri tercinta, Idar -Nenek Fauzan. Namun baru dua tahun rencana berjalan, sang pendamping hidupnya berpulang karena sakit. Kek Pian sangat terpukul ketika itu. Harapan besarnya untuk sujud berdua di depan Kabah sirna sudah.
Beberapa hari setelah kepergian istri tercintanya yang tidak sempat menunaikan ibadah haji padahal istrinya sudah sangat merindukan tanah suci, emosi Kek Pian sempat tidak terkontrol.
“Apa saja kerja pemerintah ini, tidak mampu melayani rakyat untuk menunaikan ibadah haji,” ucap Kek Pian dengan nada penuh emosi.
“Sabar Pak…,” ucap Marida.
“Coba lihat betapa tidak beresnya mereka mengurus urusan ibadah rakyatnya ini,” tambah Kek Pian.
“Istigfar Pak…” timpal Marida.
Tapi perlahan, rasa kecewa itu dikalahkan rasa tabah yang memenuhi relung hatinya. Kehilangan bukan untuk disesali, sedangkan hidup harus terus berlanjut. Tentang istrinya yang belum sempat menunaikan ibadah haji, semoga pahalanya atas niat sucinya bisa ia dapatkan setara dengan ibadah haji.
Kini waktu dalam penantian tinggal tiga tahun lagi. Sudah cukup jauh ia melangkah dan membina cita-cita mulianya itu. Kek Pian yang istiqomah terus menghitung waktu. Seandainya sempat, ingin rasanya ia menghitung hari agar dirinya terus terjaga demi menyongsong waktu yang semakin dekat itu dengan penuh semangat yang menggelora. Namun Kek Pian punya kesibukkan lain, ialah memelihara sawah dan ladang agar terus menghasikan demi dapat melunasi sisa setoran yang tersisa ujung-ujungnya.
“Pak!” tiba-tiba terdengar suara Marida dari luar rumah. Sepertinya perempuan itu telah kembali dari warung.
“Ya?” sahut Kek Pian.
“Nih ada Pak Kadir…” Marida muncul diambang pintu diikuti oleh seorang lelaki yang terlihat sedikit lebih muda dari Kek Pian.
Pak Kadir adalah warga desa Ulu Bambu, desa yang ada di seberang sawah. Walau beda usia sekitar sepuluh tahunan, tapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan mereka seperti sebaya. Ada banyak alasan bagi mereka untuk saling kenal. Selain sehari-hari sebagai petani yang sawahnya saling bersebelahan, juga karena mereka berdua terdaftar sebagai calon jemaah haji yang akan diberangkatkan pada tahun yang sama.
Ketika pertamakali Kek Pian mengetahui kabar kalau mereka akan sama-sama berangkat ketanah suci itu, gelora pertemanannya meningkat sekian kali lipat lebih hangat. Mungkin melebihi hangatnya cuaca di tanah suci itu. Sebentar-sebentar mereka bertemu digubuk pinggiran sawah itu untuk bercengkrama. Bahasannya tidak jauh dari tema ibadah haji dan sub tema turunannya. Bahkan mereka punya ikrar, jika salah seorang diantara mereka berpulang lebih dahulu, maka yang masih hidup harus melafazkan doa keselamatan untuk yang telah tiada didepan Kabah. Mereka bersalaman setelah mengucap ikrar itu.
“Kadir? Ayo masuk.” Balas Kek Pian penuh semangat.
“Saya dengar, Pak Sopian sakit. Makanya ga pernah kelihatan di sawah lagi.” Ucap Pak Kadir setelah mengucap salam.
“Aaah.., sakit biasa. Ini juga sudah mendingan.” timpal Kek Pian tidak ingin terlihat lemah walau raut pucat di wajahnya terpampang jelas. “Sekarang sudah tahun 2023, lho. Cuma tiga tahun lagi kita berangkat!” sambung Kek Pian penuh semangat.
“Iya. Semalam, walaaaah anak-anak di depan rumah berisik sekali. Suara kembang api dan petasan dimana-mana. Jadi tidak bisa tidur saya.” Balas Pak Kadir pula. “Oiya…, ini saya bawakan jamu bikinan istri. Bagus untuk pemulihan sehabis sakit.” Sambung Pak Kadir lagi sembari menyodorkan bawaannya.
“Wah repot-repot. Jamu apa ini?”
“Coba saja. Lebih bagus kalau ditambah madu. Sayangnya madu di rumah lagi ga ada.” Pak Kadir.
“Ya, iya, kalau di rumah ada madu, bisa repot.” Timpak Kek Pian. Seketika tawa mereka memecah.
Marida masuk membawakan sepiring sarapan untuk Kek Pian. Setelah berbincang sedikit dengan orang tua dan tamunya itu, Marida kembali keranah pekerjaannya diruang belakang.
Perlahan Kek Pian mulai menyantap sarapannya. Raut wajahnya terlihat lusuh seakan sarapan itu adalah suatu keterpaksaan.
“Ayo, Pak Sopian dihabiskan sarapannya biar segera minum obat.” Ucap Pak Kadir.
“Sebenarnya saya tidak lapar, tapi…..” Kek Pian memutus omongannya sembari melirik ke ruang belakang. Tempat Marida berada. “Uhuk!” Tiba-tiba lelaki tua itu terbatuk keras dan tangannya menggapai hendak mengambil mug teh manisnya segera. Namun karena tergesa, wadah air minum itu malah terjatuh dan seluruh isinya tumpah membasahi lantai.
Pak Kadir yang berusaha untuk bertindak sigap pun tidak sanggup menghentikan kekacauan kecil itu. Nafas Kek Pian menderu, pandangan matanya nyalang menuju langit seperti sulit untuk bernafas.
Marida yang mendengar kegaduhan segera berlari menuju tempat peristiwa. “Bapaak!” Serunya lantang. Didapatinya Kek Pian telah berada dalam pangkuan Pak Kadir yang berusaha mendudukkannya di sandaran tempat tidur. “Kenapa, Pak?!” Tanya Marida setengah berteriak.
“Pak Sopian tersedak.” Ucap Pak Kadir gugup.
Marida menepuk-nepuk punggung ayahnya itu memberi pertolongan. Namun bukannya tersadar, Kek Pian justru hanya semakin diam tak berkutik. Sebuah hentakan nafas bagai suara gemeretak terdengar jelas dari rongga nafasnya pertanda suatu peristiwa besar telah terjadi.
“Ada apa, Mak?” Tanya Fauzan yang datang bersama rasa kantuknya yang masih menumpuk. Disusul Santi yang baru selesai berpakaian sehabis mandi.
“Bapaaaak…!!!” Seru Marida dengan suara lantang hingga membuat sanak saudara dan para tetangga sekitar mulai berdatangan penuh rasa ingin tahu yang besar.
Begitu cepat Kek Pian berlalu dan terbujur kaku tanpa sempat dibawa ke ruang medis. Pergi untuk selamanya menyusul sang istri tercinta. Sama-sama tidak sempat menunaikan cita-cita mulianya ke tanah suci. Seandainya panjang antrian untuk berhaji di negeri ini tidak seberjarak hingga belasan tahun ini, mungkin Kek Pian punya cerita lain. Sulit memang. Untuk tujuan mulia sekalipun pun tidak mudah menggapainya.
Fauzan dan beberapa kerabat lainnya hanya terdiam. Seharusnya pada hari pertama tahun yang baru ini mereka bisa pergi pelesiran ke pemandian dikaki bukit barisan seperti yang sudah-sudah, namun kini berubah menjadi duka secara tiba-tiba.
“Ya, Allah. Ini hari Jumat. Hari yang agung untuk berpulang.” ucap salah seorang pelayat yang tidak mau disebutkan namanya. (*)
Tentang Penulis:
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Kritik Sosial dalam Karya Sastra
(Ulasan atas Cerpen “Calon Jemaah Haji” Karya Afrizal Jasmann)
Oleh:
Azwar, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Atar Semi seorang Guru Besar Sastra dari Universitas Negeri Padang (UNP) dalam sebuah bukunya (1989) pernah menyampaikan bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Karya sastra tidak berdiri sendiri, ia tidak hadir begitu saja seperti sesuatu yang jatuh dari ruang hampa. Karya sastra terikat dan berkaitan erat dengan pengarangnya, lingkungannya, dan juga berbagai latar budaya dan sosial tempat pengarangnya.
Alan Swingewood melalui teori Sosiologi Sastra berpendapat bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada saat karya sastra tersebut muncul. Dengan kata lain, sastra adalah cermin masyarakat. Sejalan dengan itu, masih dalam teori Sosiologi Sastra teori ini memandang sastra adalah cermin situasi sosial penulisnya.
Andi Kurniawan dalam artikelnya berjudul “Kritik Sosial dalam Novel Menunggu Matahari Melbourne Karya Remy Sylado: Tinjauan Sosiologi Sastra” yang dimuat dalam Jurnal Bahastra 2011 menyampaikan bahwa Sastra adalah karya seni yang bermediumkan bahasa. Sebagai karya seni, sastra merupakan produk dari suatu kegiatan kreatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wellek dan Warren (1993) yang mengemukakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebuah karya sastra dapat tercipta karena proses kreatif pengarang. Karya sastra adalah media pengarang untuk mengungkapkan ide melalui proses kreatif yang dilakukan. Ide tersebut merupakan hasil imajinasi pengarang yang berpadu dengan refleksi realitas yang terjadi di sekitarnya.
Dengan demikian, karya sastra merupakan produk dari proses kreatif yang imajinatif dan reflektif. Ia tidak hanya menggambarkan imajinasi seorang pengarang melainkan juga merupakan hasil refleksi kehidupan di sekitar pengarang. Akan tetapi, refleksi kehidupan tersebut tidak semata berupa cermin belaka. Ia memantulkan pandangan hidup dan dunia yang diidealkan pengarang. Hal ini bermakna bahwa realitas yang dicerminkan dalam sebuah karya, sastra merupakan realitas yang telah diolah pengarang sesuai ide dan pemikirannya.
Berdasarkan hal di atas, karya sastra bisa menjadi media bagi pengarang untuk menyampaikan kritik sosial terhadap berbagai persoalan yang ada di sekelilingnya. Tentang hal ini walau ada perdebatan (Sebagian seniman tidak mau karya sastra ditunggangi kepentingan lain selain kepentingan sastra itu sendiri) namun realitasnya karya sastra memang efektif untuk menyampaikan kritik atas berbagai realitas yang terjadi.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Calon Jemaah Haji” karya Afrizal Jasmann salah seorang anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Cerpen karya Afrizal ini bercerita tentang Kek Pian seorang petani yang selama belasan tahun merindukan naik haji. Kek Pian dengan kerja kerasnya sebagai petani berhasil menabung untuk uang muka ongkos naik haji bersama istrinya tercinta. Namun sayangnya 3 tahun setelah mendaftar naik haji, istri Kek Pian berpulang membawa mimpinya untuk pergi ke tanah suci.
Bertahun-tahun kemudian, Kek Pian terus memupuk asa untuk naik haji. Setiap hari doa-doa dia panjatkan pada Tuhan semoga pada sisa usianya itu ia masih sempat memenuhi panggilan untuk melaksanakan ibadah haji. Namun sayangnya, tiga tahun sebelum keberangkatan Kek Pian ke tanah suci, orang tua itu sudah dipanggil yang kuasa. Sama dengan istrinya, Kek Pian pergi dengan membawa rindu yang membuncah untuk pergi ke tanah suci.
Secara sederhana cerita pendek karya Afrizal Jasmann ini sudah selesai. Cerpen ini sudah lebih baik dari beberapa cerita Afrizal sebelumnya yang seringkali mengisahkan cerita-cerita yang panjang selayaknya novel tapi dalam versi yang singkat. Pada cerpennya yang berjudul “Calon Jemaah Haji” ini Afrizal sudah menghasilkan cerita yang selesai dibaca sekali duduk dan menceritakan kisah singkat namun memiliki kesan yang mendalam.
Cerpen “Calon Jemaah Haji” ini dalam angan saya sebagai pembaca saya akan menemukan kritik sosial di dalamnya atas ketidak becusan pemerintah menyelenggarakan pelaksanaan ibadah haji. Banyak gosip-gosip yang berbau tidak sedap tentang pelaksanaan ibadah haji ini. Selain biayanya yang mahal, pemerintah juga dipandang memanfaatkan dana ibadah haji untuk kepentingan lain selain kepentingan jamaah haji.
Saya mafhum mengapa Afrizal tidak menyisipkan kritik sosial yang tajam dalam cerpennya. Mungkin saja ini adalah pilihan atas jalan kepengarangannya yang ingin menjadikan karya sastra sebagai cerminan hidup yang bijaksana. Ia tidak memilih menjadikan karya sastra sebagai penyambung lidah rakyat tertindas oleh kelompok-kelompok penguasa. Ia tidak memilih jalan keras untuk menjadikan karya sastra sebagai senjata. Pilihan itu perlu dihargai dan pilihan itu juga bukan sebuah kesalahan.
Karya sastra sebagai media untuk menyampaikan persoalan-persoalan masyarakat itu hanya pilihan saja. Tidak ada jaminan sebuah karya sastra yang memuat beban sosial sebagai media penyambung lidah rakyat itu akan berhasil menjadi karya sastra yang hebat. Sekali lagi hal itu adalah pilihan pengarang. Pengarang memiliki hak untuk memilih jalan damai dalam ceritanya sama halnya dengan pengarang juga berhak memilih jalan perang dalam cerpen-cerpennya.
Kembali ke cerpen “Calon Jamaah Haji” karya Afrizal, cerita ini ditulis dengan bahasa sederhana, gampang untuk dipahami walau hanya dibaca pada lapis makna pertama. Tidak membutuhkan pemaknaan yang mendalam untuk menikmati pesan-pesan cerpen “Calon Jamaah Haji” ini.
Afrizal menampilkan sastra yang tenang, tidak bergejolak. Ia memilih menampilkan cerita dalam perspektif orang-orang kelas bawah yang hanya bisa menerima dampak dari kebijakan-kebijakan yang dibuat pada elit negara. Antrian haji yang panjang dan pengelolaannya yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat tidak dibahas oleh Afrizal dalam sudut pandang pemberontak. Ia menulis dalam konsep penerimaan atau bahkan terpaksa menerima.
Saya membayangkan cerita tentang kerinduan umat muslim atas tanah suci ini memuat kritik sosial yang tajam. Contohnya, bukan rahasia umum lagi kalau di tingkat elit negara oknum-oknum tertentu bisa naik haji setiap tahun dengan berbagai cara. Anggota DPR/DPD bisa naik haji dengan dalih pengawasan pelaksanaan ibadah haji. Kuota haji untuk mereka setiap tahun harus ada dengan dalih sedang menjalankan tugas negara. Bahkan elit-elit negara itu sudah berulang-ulang naik haji ke tanah suci dengan difasilitasi oleh negara.
Orang-orang kaya bisa naik haji dengan jalur khusus untuk mereka. Uang yang banyak bisa membeli kuota haji yang bagi orang-orang kebanyakan harus didapat dengan antri bertahun-tahun seperti kisah Kek Pian itu. Bahkan bukan rahasia umum lagi, bisnis haji jalur “undangan kerajaan” merebak dimana-mana. Padahal haji adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Sejatinya negara manapun tidak mengambil keuntungan dari aktivitas manusia beribadah pada Tuhannya ini.
Tanah Suci Makkah dan Madinah sejatinya milik umat muslim di seluruh dunia. Adapun orang-orang yang mengelola tanah suci itu seharusnya bertindak sebagai pelayan Tuhan untuk membantu umat Nya memenuhi panggilan Nya. Tidak semua umat muslim tentunya bisa menunaikan Ibadah Haji, toh saratnya naik haji bagi yang mampu. Namun tentunya semua umat muslim ingin menunaikan ibadah haji tersebut, oleh sebab itu inilah peran negara, melayani rakyat untuk bisa menunaikan panggilan Tuhannya. (*)
Catatan
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post