Lentera
Engkau adalah matahariku
Memberi terang di saat gelap
Memberi pelita di saat kelam
Tetaplah melenggang dengan egomu
Engkau hadir di saat yang lain tak peduli
Generasiku, teruslah genggam nilai-nilai kemanusiaan
Agar manusia tetap jadi manusia
Berjalanlah dengan bebas
Busungkan dadamu
Angkatlah kepalamu
Dan kepalkan tanganmu
Demi satu tujuan
Nusantara ini takkan ada arti tanpa kehadiranmu
Teruslah meronta
Melepaskan belunggu-belenggu durjana dunia
Kami tetap akan selalu bersamamu
Lari
Senyap, sunyi, tak berbekas
Kau hilang, jauh, tak terjangkau angan
Bak ditelan bumi
Larilah, pergilah, berkelabat, tinggalkan sejuta asa
Tercecer sejuta tanya yang tak mampu dijawab
Haruskah kuikuti rasa untuk menjamah
Tersandar, tersendu, berurai, sesak
Ke mana harus kutanya ragu yang bergelora
Kautinggalkan luka lara yang menganga
Biar kurawat menjadi jawab.
Kata
Angkuh, tegar dengan mistifikasi lisan
Bak menanam tebu di mulut
Manis terucap, pahit terasa
Janji bukanlah logika
Ditepati, bukan dicaci
Diam bukan berarti bodoh
Hanya berpikir untuk memahat
Katakan apa yang mesti dikatakan
Jangan berucap semua yang kaupikirkan
Lisan adalah pedang
Membelah tanpa berdarah.
Biodata Penulis:
Afifah Syafila Alwafi adalah anggota Sanggar Menulis Pondok Sastra SMPIT Adzkia Padang
Lentera Kata
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Ke mana harus kutanya ragu yang bergelora
Kau tinggalkan luka lara yang menganga
Biar kurawat menjadi jawab
Puisi adalah suatu jenis karya sastra berupa ungkapan isi hati penyair atau penulis yang di dalamnya terdapat irama, ritme, dan lirik. Puisi termasuk salah satu karya sastra yang sudah hidup sejak zaman dahulu hingga kini. Puisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kehadiran puisi ini di Indonesia diwarnai dengan beraneka ragam estetika puisi dan gaya penulisan bahasa.
Puisi sebagai karya sastra ditulis oleh pengarang belum mempunyai makna dan belum menjadi objek estetik, bila belum diberi arti oleh masyarakat pembacanya (Pradopo, 1995:106). Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, baik prosa, maupun puisi baru dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila telah diberi makna oleh masyarakat pembacanya. Untuk memberi makna terhadap karya sastra harus terikat pada teks karya sastra sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan hakikat karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, untuk dapat menangkap hakikat karya sastra, diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra.
Di dalam karya sastra, bahasa disesuaikan dengan sistem dan konvensi sastra. Karya sastra yang berbentuk puisi, misalnya, mempunyai konvensi sastra yang berbeda dengan prosa. Konvensi mempunyai arti tambahan kepada arti bahasa. Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa. Pengarang sebagai seorang pelaku bahasa, kerap menyediakan tanda-tanda untuk bisa ditafsirkan oleh pembaca.
Pada edisi kali ini Kreatika memuat tiga buah puisi karya Afifah Syafila Alwafi, siswa SMP anggota klub ekskul Pondok Sastra. Ketiga puisi Afifah berjudul “Lentera”, “Lari” dan “Kata”. Judul yang pendek-pendek penuh makna. Judul-judul yang cukup menjanjikan.
Puisi pertama, “Lentera” berisi tentang harapan pada suatu generasi yang akan membawa perubahan, yakni agar manusia tetap menjadi manusia. Puisi ini mengharapkan generasi tersebut dapat memberi terang di saat gelap, memberi pelita di saat kelam, seperti lentera yang menyinari. Penulis memesankan supaya generasi itu terus menggenggam nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa nilai-nilai kemanusiaan, seorang manusia tidak dapat hidup secara layak dan harmonis sebagai makhluk sosial yang niscaya mesti berinteraksi dengan manusia lain. Apabila telah memahami nilai-nilai dan mampu mengaplikasikannya dengan baik, seorang manusia dapat hidup dengan tenang dan percaya diri. ‘Berjalanlah dengan bebas/ Busungkan dadamu/ Angkatlah kepalamu/ Dan kepalkan tanganmu/ Demi satu tujuan // Nusantara ini takkan ada arti tanpa kehadiranmu’, begitu tulis Afifah.
Puisi kedua mengandung kegelisahan tentang kehilangan seseorang. Kata “Lari” yang menjadi judul puisi ini menyiratkan tindakan pergi menjauh atau menghindar dari seseorang atau masalah. Afifah menulis ‘Senyap, sunyi, tak berbekas/ Kau hilang, jauh, tak terjangkau angan/ Bak ditelan bumi’. Pergi melarikan diri tanpa pamit bisa juga hanya asumsi subyektif dari orang yang merasa ditinggalkan. Perasaan-perasaan sentimental yang diselimuti praduga. Hal ini dapat dialami siapa saja yang mengalami momen kehilangan; kehilangan teman, hewan peliharaan, atau orang tua. Penyebab kepergian tersebut bisa disebabkan takdir datangnya ajal menjemput. Namun, keadaan itu bisa menjadi beban tanda tanya bagi aku lirik yang ditinggalkan. Dia pun mengalami kebingungan, duka cita yang menyedihkan, serta perasaan marah karena harus berhadapan dengan kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. ‘Ke mana harus kutanya ragu yang bergelora/ Kautinggalkan luka lara yang menganga/ Biar kurawat menjadi jawab.’
Puisi yang ditulis penyair tidak melulu berisi curahan hatinya. Puisi tidak serta- merta menjadi potret orisinal kehidupan pribadi penyair. Puisi dengan segala keunikan strukturnya memungkinkan penyair melakukan refleksi atas kehidupan orang lain yang tertangkap oleh alat indranya dan memberi rangsangan kepada akal pikirannya. Melalui puisi, penyair menyampaikan respons sosial terhadap fenomena kehidupan tersebut yang terkadang terkesan sangat personal seolah-olah itu merupakan pengalaman pribadinya.
Melalui puisi ketiga, “Kata”, Afifah mengungkapkan pandangannya terhadap kata atau lisan atau perkataan manusia. Bagi orang yang pandai bereorika, kata-kata bisa seindah yang sedang mekar dan semanis madu lebah hutan. Meskipun bisa jadi maksud yang tersembunyi di balik perkataan tersebut bermakna sebaliknya, seperti kata pepatah yang dimasukkan Afifah ke dalam larik puisinya: ‘Bak menanam tebu di mulut / Manis terucap, pahit terasa’. Bagi sebagian yang lain, yang tak pandai bersilat lidah, lawan bicara kadang tidak menaruh perhatian karena yang bersangkutan keliru memilih kata, meskipun apa yang disampaikannya benar sehingga orang tidak mau menerima pesan yang disampaikannya.
Lebih lanjut, Afifah memberi nasihat bijak di akhir puisinya: ‘Katakan apa yang mesti dikatakan/ Jangan berucap semua yang kaupikirkan/ Lisan adalah pedang/ Membelah tanpa berdarah.’ Ya, kata-kata menyimpan potensi luar biasa untuk menenangkan atau menghancurkan. Bijaklah berkata-kata![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post