Rabu, 02/7/25 | 03:58 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI RENYAH

Cerita Anak: Hutan yang Sebetulnya Kusut

Minggu, 23/10/22 | 12:01 WIB

Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)

 

Herdiana Hakim melalui “Seeking  “Unity in Diversity”: Contemporary Children’s Books in Indonesia”, menyayangkan bahwa sebagian besar buku cerita anak di Indonesia cenderung sebagai sarana penyampai pesan. Buku tersebut mengeyampingkan aspek sastra dan terlalu terlalu didaktik dalam penyampaian pesan moral. Padahal, pesan moral tetap dapat dipahami melalui cerita yang menarik dan karakter yang kuat.

Hunt mengungkap bahwa seringkali sastra anak dipandang sebagai pilar terakhir dari filosofi dulce et utile. Akan tetapi, bila ditujukan untuk fungsi praktis dan kreasi belaka, hal itu anggapan yang kurang bijaksana. Cerita anak tidak sesederhana itu. Ia dapat diibaratkan sebagai hutan yang rimbun dan kusut. Memasukinya tidak melulu membuat orang dapat menelusurinya dengan mudah, baik dalam membacanya, menulisnya, atau melakukan studi tentangnya.

BACAJUGA

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Menyulam Nilai Lewat Cerita: Inyiak Bayeh dan Cerita-cerita Lainnya

Minggu, 11/5/25 | 17:14 WIB
Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Talempong Batu: dari Batu ke Nada

Minggu, 04/5/25 | 18:02 WIB

Bahkan, Hunt mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dengan subjek sastra anak-anak, sering tanpa disadari telah berada di garis depan teori sastra dan kritis. Hal yang sama tampaknya juga berlaku bagi penulisnya karena menciptakan percakapan antara diri masa lalu dan diri di masa kini.

Menulis cerita anak dapat lebih sulit dikarenakan menuntut elemen seperti penokohan yang kuat, plot yang menarik, dan bahasa yang lugas. Hal itu kemudian menjadi lebih kompleks dikarenakan memerlukan kemampuan untuk melihat suatu persoalan dari sudut pandang anak-anak. Karya tersebut kemudian dibaca atau dipahami oleh anak-anak dengan cara yang juga sering tak terduga. Berdasarkan hal itu pulalah Peter Hunt menyatakan sisi kompleks dari sastra anak.

Misalnya, membaca Na Willa yang ditulis oleh Reda Gaudiamo membawa kita pada dunia anak-anak yang tidak sekadar hitam dan putih. Cerita anak yang tidak menggurui atau berakhir dengan amanat-amanat yang didiktekan seperti berkhotbah. Na Willa, dapat dikatakan sebagai refleksi tentang bagaimana seharusnya anak-anak dipahami dan diperlakukan.

Hal yang sama juga ditemukan ketika membaca tetralogi Mata Okky Madasari. Tetralogi tersebut memiliki latar penceritaan yang berbeda-beda serta bukanlah serial yang harus dibaca urut. Hal yang cukup dominan dinarasikan melalui Mata ialah mengenai isu lingkungan serta sejarah. Sekilas hal itu tampak berat untuk dihadapkan kepada anak-anak. Akan tetapi, anggapan itulah yang sebetulnya keliru.

Di Indonesia, cerita anak dianggap kurang penting dan cenderung dianggap begitu sederhana. Hal ini dapat dilihat melalui distribusi buku anak di Indonesia. Buku anak meliputi buku aktivitas yang dapat menunjang keseharian anak-anak, misalnya buku mewarnai, dongeng bergambar, dan buku penunjang pelajaran.

Herdiana Hakim dengan mengutip Prinsloo mengatakan bahwa ketiga bentuk buku anak di atas mendominasi pangsa pasar di Indonesia pada tahun 2019. Akan tetapi, Patjar Merah yang tahun-tahun sebelumnya rutin mengadakan festival buku menemukan bahwa ada satu jenis buku anak yang justru berkebalikan dari ketiga buku anak sebelumnya, yaitu cerita anak.

Windy Ariestanty, penggagas Patjar Merah, mengemukakan beberapa alasan terkait minimnya persebaran cerita anak. Di antaranya, kurangnya peran orang tua dalam memberi contoh aktivitas membaca kepada anak-anak. Selain itu, juga disebabkan oleh masih terbatasnya penulis di Indonesia yang fokus menulis cerita anak. Kemudian, cerita anak yang ditulis masih cenderung dipenuhi oleh nasihat dan petuah yang menggurui.

Tags: #Lastry Monica
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Dari Nirlaba hingga Nirleka

Berita Sesudah

Asal-usul Kata “Parasetamol”

Berita Terkait

Satu Tikungan Lagi

Yang Tersembunyi di Balik Ramalan

Minggu, 29/6/25 | 19:13 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Semasa sekolah menengah, saya dan banyak teman sebaya gemar mengakses ramalan, dari situs mistis...

Belajar dari Menunggu

Minggu, 22/6/25 | 18:32 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Menunggu ujian bukan hanya soal duduk diam di luar ruang kelas dengan segelas air...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Jalan Pagi atau Jajan Pagi

Minggu, 15/6/25 | 17:57 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Beberapa minggu terkahir ini, di akhir pekannya saya suka jalan-jalan pagi. Niat awalnya olah...

Satu Tikungan Lagi

Masih Tentang Busa dan Bilasan

Minggu, 08/6/25 | 17:51 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Minggu lalu, di rubrik Renyah, saya menulis tentang pengalaman mencuci pakaian—aktivitas sederhana yang diam-diam...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Cerita dari Balik Busa dan Bilasan

Minggu, 01/6/25 | 16:05 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Ada satu kebiasaan yang tak pernah absen menemani masa-masa kuliah saya dulu, menumpuk cucian....

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Jam Tangan dan Seni Menjadi Siapa

Minggu, 25/5/25 | 13:50 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah) Seorang teman pernah berujar tentang urgensi dari jam tangan. Ia menjelaskan tentang benda kecil yang...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Ria Febrina

Asal-usul Kata “Parasetamol”

Discussion about this post

POPULER

  • Ketua DPD Partai Golkar Sumbar terpilih, Khairunnas saat menerima dokumen persidangan. [foto : ist]

    Khairunnas Kembali Pimpin Golkar Sumbar, Terpilih Secara Aklamasi dalam Musda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jembatan Akses Utama Kampung Surau Rusak Parah, Warga: Jangan Sampai Ada Korban Jiwa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Musda Golkar Sumbar Digelar Besok, Ketua Umum Bahlil Lahadalia dan Sejumlah Tokoh Nasional Hadir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penggunaan Kata Depan “dari” dan “daripada” yang Tidak Tepat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yonnarlis Ungkap Pentingnya Sinergi dan Kolaborasi Masyarakat dan Polri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peringatan HUT ke-79 Bhayangkara, Ketua DPRD Dharmasraya: Polri Harus jadi Pelayan Masyarakat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024