Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Herdiana Hakim melalui “Seeking “Unity in Diversity”: Contemporary Children’s Books in Indonesia”, menyayangkan bahwa sebagian besar buku cerita anak di Indonesia cenderung sebagai sarana penyampai pesan. Buku tersebut mengeyampingkan aspek sastra dan terlalu terlalu didaktik dalam penyampaian pesan moral. Padahal, pesan moral tetap dapat dipahami melalui cerita yang menarik dan karakter yang kuat.
Hunt mengungkap bahwa seringkali sastra anak dipandang sebagai pilar terakhir dari filosofi dulce et utile. Akan tetapi, bila ditujukan untuk fungsi praktis dan kreasi belaka, hal itu anggapan yang kurang bijaksana. Cerita anak tidak sesederhana itu. Ia dapat diibaratkan sebagai hutan yang rimbun dan kusut. Memasukinya tidak melulu membuat orang dapat menelusurinya dengan mudah, baik dalam membacanya, menulisnya, atau melakukan studi tentangnya.
Bahkan, Hunt mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dengan subjek sastra anak-anak, sering tanpa disadari telah berada di garis depan teori sastra dan kritis. Hal yang sama tampaknya juga berlaku bagi penulisnya karena menciptakan percakapan antara diri masa lalu dan diri di masa kini.
Menulis cerita anak dapat lebih sulit dikarenakan menuntut elemen seperti penokohan yang kuat, plot yang menarik, dan bahasa yang lugas. Hal itu kemudian menjadi lebih kompleks dikarenakan memerlukan kemampuan untuk melihat suatu persoalan dari sudut pandang anak-anak. Karya tersebut kemudian dibaca atau dipahami oleh anak-anak dengan cara yang juga sering tak terduga. Berdasarkan hal itu pulalah Peter Hunt menyatakan sisi kompleks dari sastra anak.
Misalnya, membaca Na Willa yang ditulis oleh Reda Gaudiamo membawa kita pada dunia anak-anak yang tidak sekadar hitam dan putih. Cerita anak yang tidak menggurui atau berakhir dengan amanat-amanat yang didiktekan seperti berkhotbah. Na Willa, dapat dikatakan sebagai refleksi tentang bagaimana seharusnya anak-anak dipahami dan diperlakukan.
Hal yang sama juga ditemukan ketika membaca tetralogi Mata Okky Madasari. Tetralogi tersebut memiliki latar penceritaan yang berbeda-beda serta bukanlah serial yang harus dibaca urut. Hal yang cukup dominan dinarasikan melalui Mata ialah mengenai isu lingkungan serta sejarah. Sekilas hal itu tampak berat untuk dihadapkan kepada anak-anak. Akan tetapi, anggapan itulah yang sebetulnya keliru.
Di Indonesia, cerita anak dianggap kurang penting dan cenderung dianggap begitu sederhana. Hal ini dapat dilihat melalui distribusi buku anak di Indonesia. Buku anak meliputi buku aktivitas yang dapat menunjang keseharian anak-anak, misalnya buku mewarnai, dongeng bergambar, dan buku penunjang pelajaran.
Herdiana Hakim dengan mengutip Prinsloo mengatakan bahwa ketiga bentuk buku anak di atas mendominasi pangsa pasar di Indonesia pada tahun 2019. Akan tetapi, Patjar Merah yang tahun-tahun sebelumnya rutin mengadakan festival buku menemukan bahwa ada satu jenis buku anak yang justru berkebalikan dari ketiga buku anak sebelumnya, yaitu cerita anak.
Windy Ariestanty, penggagas Patjar Merah, mengemukakan beberapa alasan terkait minimnya persebaran cerita anak. Di antaranya, kurangnya peran orang tua dalam memberi contoh aktivitas membaca kepada anak-anak. Selain itu, juga disebabkan oleh masih terbatasnya penulis di Indonesia yang fokus menulis cerita anak. Kemudian, cerita anak yang ditulis masih cenderung dipenuhi oleh nasihat dan petuah yang menggurui.
Discussion about this post