
Melanjutkan Episode
Oleh: Eliza Nuzul Fitria
Bukan nyanyian, melainkan tangisan
Tanyalah pada mereka yang menanggung beban
Setetes, menetas, terasa hilang lalu pudar
Ini ketikan manusia dewasa, terlanjur mati gaya
Belum usai mencari adil dari manusia tanpa kepala
Apakah pendidikan hanya santapan si kaya?
Makanan bertebaran, dilempar
Bagaikan memberi makan ayam; berjejeran
Terseok menuju tempat pulang, niatnya mengadu bukan beradu
Tak jadi pulang, kena lemparan sendal
Lebih dari setengah dua puluh empat jam
Hari-hari gila yang dijalani si pengarang di jalanan
Belum lagi usia menginjak kepala dua
Menunggu jantung tak jadi berpindah ke lambung
Bila terpikat lembaran kertas berserakan,
Tak payah pikirkan asal bertahan meraih gelar
Dari kabar yang mampir sebentar,
Mengejutkan pun mengacaukan rancangan
Sudah berangan, tertampar kepingan episode kenyataan
Seolah hidup tinggal menunggu bom waktu,
Kapan saja menghancurkan raga
Pun sukma yang menaruh asa
Enam puluh detik begitu berharga
Mungkinkah ini jalannya?
Ataukah kita yang terlalu buta?
Belum habis derita anak pertama
Menangis anak ketiga tertampar realita
Tak semua daksa tegar
Wahai pemimpin markas yang begitu sarkas
Sejak purbakala hingga lima titik nol meraja
Ia dipaksa mengerti makna rela yang terencana
Siapa yang lupa? Tak ada yang lupa!
Siapa yang meninggalkan nurani di bawah tumit kaki mereka?
Setetes, membanjiri ruang hampa; begitu juga raga
Tenggelam bersama hati yang menuntut rata semunya asa
Ayah, Ibu, Aku Anakmu
Oleh: Eliza Nuzul Fitria
Dari kejauhan rongrongan anjing semakin terdengar pilu
Dalam gubuk beralas tanah,
Tampak siluet daksa meringkuk lagi berpeluh
Menyaksikan babi dalam potret tua tertawa
Bidadari tak bersayap seketika menjelma menjadi iblis
Dan ternak-ternak mengeluarkan suara paling sadis
Teriakan;erangan menggema
Berpegang pada ranting rapuh pun percuma
Waktu yang berjalan setiap detik merangkai kata
Hari berganti minggu merangkak mengejar bulan
Menyisakan tahun-tahun biru dalam ebuh
Jari tengah rupanya minta dicabut dari tangan sang empunya
Berpisah dari saudara yang meninggalkan nestapa
Perih kehidupan yang disesalinya pada Tuhan
Tertahan dalam kerongkongan bak menelan arang
Bisu atau bergerak maju tak mengubah perlakuan
Bila fajar menjelang, derita menjulang
Namun jika senja telah datang, kesakitan semakin mengerang
Tak di luar atau di dalam
Teriakan itu terdengar kencang, perlahan samar
Dan hanya tersisa sedikit kata untuk dicerna,
“Aku masih manusia.”
Dari Setetes, Menetas dalam Ember Kamar Mandi
Oleh: Eliza Nuzul Fitria
Melalui udara, menafsirkan ruang hampa
Dibalik tanah, meninggalkan jejak telapak kaki menuntun pulang
Dari sepetak kamar di sudut selokan
Jauh tiada bising suara keramaian,
Bukan alam lain tuan
Baru saja membuka pintu,
Gagang patah pun menyisakan engsel-engsel goyah
Tiada bertopang, wajah-wajah dibaluti topeng
Menampilkan dramaturgi makanan sehari-hari
Di atas paralon yang menyambung
Sebuah lubang di dekatnya
Seekor kecoa masih bertengger
Ia mmembangunkan si kerbau dalam kubangan
Enggan katanya, beranjak satu kaki pun dari ubin sepetak
Dari setetes, menetas membangunkan empat manusia pemalas
Setetes, gemercik air memenuhi ember penuh tambalan
Jika si puti tersenyum tak tahu waktu,
Tinta hitam membekas di pelupuk mata puan
Menakuti makhluk yang menempel di lantai-lantai kamar
Memenuhi kamar mandi, tak jadi membersihkan diri
Tiada bertahan lama, meski sang surya menyapa
Barulah membasuh muka
Membasahi telapak tangan penuh dosa
Sekadar melaksanakan kewajiban
Agar tak lupa Tuhan katanya
Kamar mandi di balik pembatas dinding
Bukankah air baru saja mati?
Suaranya terdengar nyaring
Setetes, memenuhi ember di bawahnya
Biodata Penulis:
Eliza Nuzul Fitria adalah seorang mahasiswa tingkat akhir pada Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas. Hobi menulis dan menonton film. Lahir di Pekanbaru namun besar di ranah Minang, Kab. Padang Pariaman. Karya-karya tulis seperti puisi dan cerpen sudah dimuat dalam beberapa buku antologi. Memiliki nama pena Enura dan aktif di media sosial @elizanuzulftria.