Oleh: Arina Isti’anah
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma)
Dalam dunia fashion, jilbab atau hijab menjadi salah satu barang yang penjualan dan promosinya mengalami kemajuan yang pesat di Indonesia. Jika ditilik dari angka statistik yang dilaporkan oleh World Economic Forum, rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan 1,02 triliun rupiah untuk membeli hijab setiap tahunnya. Angka tersebut dapat dikatakan besar dan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cukup konsumtif dalam membeli hijab. Hal tersebut juga didukung oleh pemerintah yang bahkan sejak 2020 menargetkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim di dunia.
Laporan dari Thomson Reuters juga menyebutkan bahwa pasar hijab di Indonesia memiliki potensi tinggi dan menjanjikan di tingkat global. Bahkan, sejak tahun 2022, nilai transaksi hijab di Indonesia mencapai US$6,09 miliar atau setara Rp 91,135 triliun. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh jumlah penduduk muslim di Indonesia yang mencapai sekitar 1,8 miliar atau kurang lebih 24% dari total populasi dunia. Laporan Gatra mencatat bahwa jumlah hijaber di Indonesia pada 2018 mencapai 72% dari total perempuan muslim di Indonesia. Hal tersebut juga ditangkap sebagai peluang oleh pengusaha hijab yang menciptakan berbagai inovasi model, bahan, dan motif hijab.
Promosi hijab di Indonesia juga mengalami berbagai variasi dan perkembangan. Promosi hijab terkini ternyata cukup menarik jika ditengok dalam kacamata linguistik. Secara spesifik, tulisan ini menyoroti strategi promosi hijab dari merk Nada Puspita yang menggunakan motif dari beberapa lanskap bersejarah dalam Islam, seperti Gunung Sinai dan Masjid Al Aqsa. Nada Puspita juga mendapatkan perhatian khusus dari para hijaber di Indonesia karena memproduksi jenis motif khusus Palestina, The Blessed Land.
Dalam promosi, branding merupakan salah satu strategi untuk membangun relasi interpersonal dengan konsumen. Branding bukan hanya persoalan bahasa, tetapi juga tentang interaksi sosial yang dapat menjembatani kedekatan emosi dan budaya antara konsumen dan produsen melalui kode semiotik dalam produk yang ditawarkan (Pennington, 2017). Dalam promosi hijab yang menggunakan lanskap yang berkaitan dengan Islam dan sejarahnya, produsen hijab menggunakan relasi emosional dan psikologis. Kedua aspek dalam branding tersebut merupakan skenario dalam promosi untuk melampaui batas budaya, bahasa, demografi, dan sosial (Pooniyamoorthy & Arulmoli, 2019). Dengan demikian, produsen hijab mendudukkan hijaber global ke dalam suatu kelompok sosial yang memiliki kedekatan emosi.
Nada Puspita memproduksi beberapa seri motif hijab bertemakan lanskap Islam, seperti The Blessed Land, Al Quds, Al Kahf, The Nile, dan Mount Sinai series. Berikut adalah contoh deskripsi produk hijab dari Mount Sinai series.
The second part of The Land of the Prophets collection takes you further on a journey of discovery, reaching a peak filled with stories of devotion. With patterns inspired by Mount Sinai, figs, olives, date palms, and magnolia, this series invites you to explore the rich stories that have shaped history for centuries.
Gunung Sinai merupakan salah satu tempat penting dalam perjalanan Nabi Musa maka Gunung Sinai juga dikenal dengan Jabal Musa. Gunung Sinai merupakan tempat di mana Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT, yakni kitab Taurat. Sebagai tempat bersejarah dalam Islam, Gunung Sinai ternyata juga menjadi salah satu seri dalam motif hijab Nada Puspita. Dari deskripsi produk di atas, kita diajak untuk mengenal kisah pengabdian Nabi Musa dengan mengenali Gunung Sinai. Dalam produk tersebut juga termuat beberapa lukisan, seperti buah ara, kurma, zaitun, dan magnolia. Walaupun deskripsi produk tersebut tidak terlalu komprehensif untuk mendefinisikan Gunung Sinai, secara linguistik, terdapat kedekatan atau engagement dalam produk tersebut melalui pronomina you.
Selain contoh tersebut, Nada Puspita menggunakan beberapa strategi kebahasaan untuk menciptakan kedekatan emosi dan psikologis di antara hijaber global. Berikut contoh deskripsi motif hijab yang memuat lanskap Palestina.
A homage to Palestine’s beauty, this series is adorned with elements that define Palestine as a blessed land. From Tatreez, a traditional Palestinian embroidery, to the paintings of the Dome of the Rock and Qibli Mosque, this series is our heartfelt way to support their enduring legacy.
Motif hijab tersebut memuat pola Tatreez, yakni sulaman tradisional Palestina yang digunakan untuk menghias pakaian dan benda lain, serta telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Dalam promosi hijab tersebut dituliskan juga bahwa motif hijab memuat lukisan Kubah Batu dan Masjid Qibli, yakni dua bangunan penting di dalam Masjid Al Aqsa. Pada akhir deskripsi produk, promosi hijab tersebut secara tegas menyatakan bahwa seri hijab ini merupakan salah satu dukungan tulus untuk mendukung warisan budaya Palestina.
Dari contoh di atas, dapat kita temukan hal menarik yang digunakan oleh produsen hijab untuk menciptakan relasi emosional dan psikologis dengan konsumen. Selain motif cantik yang ditawarkan, produsen hijab juga memberikan deskripsi yang mendefinisikan Palestina sebagai tanah yang diberkahi. Keberadaan Tatreez, Kubah Batu, dan Masjid Qibli yang berada di Palestina digunakan oleh produsen hijab untuk mengajak kita mengakui dan mendukung kedaulatan Palestina. Dengan demikian, branding yang digunakan Nada Puspita bersifat global dan sosial.
Contoh lain yang menarik adalah seri motif Al-Kahf yang dipromosikan sebagai berikut.
As the third chapter of The Land of the Prophets, this series takes you to Jordan, a land rich with history and devotion. Inspired by the legacy of Ashabul Kahf, it is adorned with patterns of the sacred Al Kahf Cave, the landscapes of Jordan, a coin marked with the number seven, and florals that capture the nation’s beauty.
Produk hijab memperkenalkan kita kepada Ashabul Kahf, sekelompok pemuda yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi beberapa ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Deksripsi produk hijab Al-Kahf tersebut mengajak kita untuk mengenal sejarah dan pengabdian dari Ashabul Kahf yang bersembunyi di dalam gua selama 309 tahun dan dibangunkan oleh Allah SWT. Kisah tersebut tertulis di dalam Surat Al Kahfi. Produk dalam seri Al-Kahf tersebut memuat definisi dari Gua Al-Kahf yang berada di Yordania, dan dilukis bersama dengan tujuh bunga, sesuai dengan jumlah pemuda yang tertidur di dalam Gua Al-Kahf.
Beberapa contoh di atas juga memberikan kita wawasan bahwa strategi branding dalam produk dapat memanfaatkan storytelling dari kisah-kisah bersejarah dalam Islam. Dalam linguistik, storytelling memuat aspek budaya yang penting untuk menjalin relasi dan ikatan dengan target konsumen, yakni hijaber global. Salah satu aspek leksikal penting dalam storytelling adalah pilihan kata yang tepat dan memiliki keselarasan budaya untuk melibatkan emosi konsumen (Al Badawi, 2024). Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Nada Puspita cukup kreatif dalam membangun image dan branding produknya sebagai hijab modern dan global.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa penggunaan lanskap sejarah Islam ternyata memuat kode semiotik yang bukan hanya berfungsi sebagai branding hijab di Indonesia, namun membangun relasi emosional dan psikologis terhadap konsumen. Berlarut-larutnya konflik kemanusiaan di Palestina mendorong produsen hijab untuk menunjukkan dukungannya melalui lanskap Palestina sebagai tempat penting di mana Masjid Al Aqsa berada. Lukisan Kubah Batu dan Masjid Qibli juga digunakan dalam promosi hijab untuk memperkenalkan kepada para konsumen tentang pentingnya tempat tersebut. Dengan demikian, produsen hijab Nada Puspita, selain untuk meningkatkan minat konsumen, juga bermaksud memperkenalkan sejarah Islam melalui motif hijabnya. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa motif hijab di masa mendatang akan lebih bervariasi dengan ciri ke-Islaman lain yang bersifat global.