Puisi-puisi Fatma Hayati
Daster Ibu
Tiba-tiba terdengar suara
Kreeekkk…..
“Daster ibu sobek”
Aku spontan berteriak ke arah ibu
Ibu tersenyum kecil
Lalu bangkit dari tempat duduknya
“Tidak mengapa, nanti ibu ganti”
Selang dua hari berlalu
Aku mendapati ibu memakainya lagi
“Ibu belum menggantinya?”
Dengan senyum getir ibu menjawab
“Ibu suka daster ini, ga panas dan enteng”
Otak kecilku mulai mencerna
Kok bisa orang dewasa serumit itu
Daster lusuh dan sobek saja jadi favorit
Bulan berganti tahun….
Perempuan dewasa itu sekarang adalah aku
perempuan yang memaksa daster sobek menjadi favorit
Ah ibu….
bodohnya aku….
Terlalu percaya tipu-tipu mu
Daster sobek mu demi baju baruku
Jakarta, 1 Januari 2025
Bukan Untuk Kau Nikmati
Retak yang aku punya
Bukan untuk kau nikmati
Biarkan serpihannya
Menembus sampai ke akar nadiku
Pecahan yang berserakan
Bukan untuk kau injak
Biarkan dia menikam
Sampai garis-garis darahku
Nikmati saja sempurnamu
Dan sempurnakan saja prosesmu
Jika menikam itu membahagiakanmu
Biar ini meraja lela di ulu hatiku
Menjadi tetap baik-baik saja itu adalah pilihan
Maka aku memilihnya
Tanpa kau harus tau
Jakarta, 22 Maret 2025
Diantara Retakan
Aku tertegun diantara retakanku
Makin ku maknai….
Makin perih terasa menusuk kalbu
Aku terdiam dengan pandangan menikam
kenapa aku setak mengerti itu
Aku mencoba terus berjalan
Dengan berlumur darah dan serpihan
Semakin ku ayun langkah
Semakin kurasakan torehan sakitnya
Aku tak memahami
Tapi kenapa tampak seperti sangat menikmati
Coba jelaskan padaku
apa yang lebih sakit dari
tertusuk belati berkali-kali
Namun tak mati-mati
Jakarta, 16 Maret 2025
Tentang Penulis
Fatma Hayati lahir di Bukittinggi, menamatkan sekolah dari SD sampai SMA di Kamang Mudik, Kabupaten Agam. Melanjutkan kuliah S1 di Universitas Negeri Padang FMIPA Jurusan Pendidikan Fisika dan kemudian meneruskan sekolah S2 di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Pernah menerbitkan karya pada Buku Antologi bersama teman-teman guru literasi, Menuju Titik Puncak (2020) Antologi Sinar Keteladanan (2020), Haru, Catatan Ramadhan (2020), Batas Keangkuhan (2020).
Mengubah Tren Sosial Media Menjadi Sebuah Puisi yang Bermakna
Oleh: Dara Layl
(Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Perkembangan puisi di Indonesia sangat patut diapresiasi, puisi bukan hanya ditulis dengan menggunakan gaya bahasa yang terikat oleh rima dan diksi, tetapi menampilkan gaya bahasa yang membuat pembaca bisa memahami puisi dengan sudut pandang yang baru, misalnya dengan menggunakan bahasa yang sedang tren di sosial media.
Puisi merupakan bagian dari karya sastra tidak lepas dari sarana yang menghubungkan masyarakat dengan komunikasi, dimana karya sastra menampilkan gambaran kehidupan. Dan kehidupan itu sendiri merupakan sebuah kenyataan yang dialami oleh masyarakat.
DI zaman ini masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa sekarang hidup di masa teknologi dan teknologi sangat lekat kaitannya dengan sosial media, sosial media kemudian melahirkan tren-tren terbaru dan tren itu menjadi budaya yang diikuti banyak orang termasuk di dalam membuat sebuah tulisan.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga puisi karya Fatma Hayati dengan judul, “Daster Ibu”, “Bukan untuk Kau Nikmati” dan “Diantara retakan”. Ketiga puisi ini sangat dekat dengan tren yang ada di sosial media dengan pesan yang dalam .
Puisi pertama, “Daster Ibu” dalam KBBI Daster adalah gaun longgar yang dipakai di rumah. Daster biasanya terbuat dari kain tipis yang lembut yang digunakan oleh perempuan dengan berbagai kalangan mulai dari anak-anak, remaja dan yang paling banyak menggunakannya adalah ibu-ibu.
Melihat dari makna sebuah “daster” yang dekat dengan perempuan terutama seorang ibu, puisi ini menampilkan sebuah realita sosial yang getir sekaligus menyentuh dalam satu waktu. Puisi ini secara lugas dan indah menyampaikan pesan yang begitu dalam terkait bagaimana seorang ibu yang selalu mengalah untuk anaknya.
Kisah tersebut tidak hanya sampai di sana, puisi ini bertransformasi menjadi kisah bahwa hal yang dialami oleh seorang ibu itu ternyata sekarang juga dialami oleh “aku” yang merunjuk kepada anak sang ibu, seperti menurut pendapat bahwa puisi adalah ungkapan perasaan penyair terhadap dinamika kehidupan yang dialami maupun orang lain alami menggunakan kata-kata puitis (Liberatus Tongsoe Tjahjono 1988).
Puisi ini sangat unik karena merepresentasikan kata yang sangat viral di media sosial, misalnya “Ternyata Bapak-Bapak yang sering pulang lembur sekarang adalah temanku.”, “Ternyata kakak kakak yang kerja berangkat pagi pulang malam ga kenal lelah itu sekarang adalah kita”, “Ternyata Abang Abang yang hari raya lebaran tidak pulang-pulang adalah kita”. Ini adalah contoh kalimat yang viral di media sosial seperti Tiktok, Instagram, Fecebook dan lain sebagainya. Kalimat yang memakai kata “. . . sekarang adalah kita” memiliki arti bahwa kejadian yang biasanya hanya kita lihat ternyata sekarang kita yang mengalaminya.
Hal yang sama persis juga terjadi di dalam puisi ini bahwa, seorang Ibu yang enggan untuk mengganti daster yang lusuh dan sobek karena lebih mementingkan keperluan rumah tangga yang lain sekarang juga dirasakan oleh “aku” anak si ibu tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa penyair sangat cerdas dalam menggabungkan realita sosial dengan sesuatu yang viral untuk dibuat menjadi sebuah puisi yang memiliki makna yang dalam dan bisa dicerna oleh berbagai kalangan, terutama anak muda yang dekat sekali dengan trend kekinian.
Hal ini bisa kita lihat dalam larik;
/Bulan berganti tahun…./ /Perempuan dewasa itu sekarang adalah aku/ /Perempuan yang memaksa daster sobek menjadi favorit/
Selain itu, yang membuat puisi ini menjadi unik dari puisi lainnya adalah penggunaan dialog, seperti yang ada di dalam larik;
/”Daster ibu sobek”/
/”Tidak mengapa, nanti ibu ganti”/
/”Ibu belum menggantinya?”/
/“Ibu suka daster ini, ga panas dan enteng”/
Dilihat dari dialog yang digunakan, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa puisi tidak harus melulu menggunakan bahasa yang puitis dan rumit, namun puisi juga bisa dibuat dari percakapan sederhana sehari-hari yang jika ditulis dan disusun sedemikian rupa bisa menjadi tulisan yang indah dan kental dengan pembelajaran.
Puisi kedua, “Bukan untuk Kau Nikmati” puisi ini menggambarkan tentang emosi yang kuat, lantang dan tidak tergoyahkan. Ketika membaca puisi ini kita seakan bisa merasakan keteguhan seseorang yang ada di dalamnya, dimana jika puisi pertama sangat dekat dengan realitas sosial masyarakat, maka puisi ini mengambil jalan berbeda yaitu dengan tidak memperlihatkan luka kepada siapapun, di dalam puisi ini siapapun merujuk pada “kau” hal ini bisa dilihat di dalam larik;
/Retak yang aku punya //Bukan untuk kau nikmati/
/Pecahan yang berserakan/ /Bukan untuk kau injak/
/Nikmati saja sempurnamu/ /Dan sempurnakan saja prosesmu/
/Menjadi tetap baik-baik saja itu adalah pilihan /
/Maka aku memilihnya/ /Tanpa kau harus tau/
Yang membuat puisi ini berseberangan dengan dengan realitas sosial pada sekarang ini adalah luka yang dialami tidak mau diumbar, karena kebanyakan sekarang banyak yang memperlihatkan masalah ke publik melalui sosial media.
Puisi ketiga, “Diantara Retakan” dalam KBBI Retakan bermakna tampak bergaris pada benda keras yang menandakan akan pecah. Sesuai dengan artinya puisi ini menggambarkan tentang seuatu yang akan pecah, sesuatu yang berat, namun sama seperti puisi kedua, puisi ini menggambarkan tentang ketangguhan ketika mengalami hal yang berat dan tidak diinginkan.
Hal ini bisa dilihat dari larik;
/aku tertegun diantara retakanku/ /aku terdiam dengan pandangan menikam/ /dengan berlumur darah dan serpihan/ /apa yang lebih sakit dari tertusuk belati berkali-kali/ /namun tak mati mati/
Sama dengan puisi kedua, puisi ketiga ini juga menggambarkan tentang rasa sakit, namun uniknya puisi ini bagaimana bertahan di dalam rasa sakit itu.
Secara keseluruhan puisi ini dituliskan dengan sangat unik, penyair mampu membaca keadaan di sekitarnya dan menuangkannya dengan cara tersendiri dan pesan yang ingin disampaikan tetap sampai, hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, menaruh minat terhadap realita yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman (Semi, 1993).
Masukan untuk puisi ini adalah untuk menambah kekayaan dan nilai yang ingin disampaikan akan lebih baik lagi jika ditambah dengan metafora, terima kasih kiriman puisnya, senang bisa membaca puisi ini, ditunggu puisi lainnya, semangat! (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.