Kepingan Puzzle yang Hilang
Cerpen Karya: Athifaleaa
Malam ini Aku berjalan menuju sebuah halte bus yang terletak tak jauh dari kampus untuk menemui seseorang. Aku mendongak menatap langit yang terlihat dipenuhi awan hitam. Sepertinya sebentar lagi akan hujan, benakku. Aku merutuki diriku sendiri yang selalu saja lupa membawa payung padahal tahu kalau hujan akan turun.
Aku duduk di bangku paling sudut yang ada di halte itu. Orang yang akan aku temui masih belum tiba. Tak apa, Aku masih bisa menunggunya sambil Menyusun puzzle yang aku bawa dari rumah. Aku memandangi potongan – potongan puzzle yang masih berantakan itu. satu set journal puzzle yang dihadiahkan untukku 5 tahun lalu. Aku mengeluarkan kotak transparan berisi kepingan kepingan puzzle itu dari tasku. Aku memandangi kepingan kepingan puzzle itu sambil tersenyum kecil mengingat momen dibalik kepingan kepingannya. perlahan aku mulai Menyusun keping demi keping untuk mengisi waktu menungguku. Seketika ingatan tentang momen itu terulang Kembali begitu aku mulai Menyusun keping keping puzzle yang masih berantakan.
(flashback on)
5 tahun yang lalu…
Malam itu, di tahun terberat seumur hidupku. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku sendiri. Malam itu, aku berdiri ditepian sebuah jembatan besar. Jalanan malam itu sepi. Hanya suara deburan air sungai yang mengalir deras memenuhi indra pendengaranku.
Aku menarik nafas, bersiap untuk menjatuhkan diri ke pelukan sungai yang mengalir deras dibawah sana. Tubuhku bergetar hebat. Aku takut. Tapi keinginanku sudah bulat. Malam ini aku harus mati. Namun, usaha bunuh diriku malam itu gagal total. Seorang perempuan datang dan mencegahku melangsungkan hal bodoh itu. perempuan itu mencengkram pakaianku erat, mencegahku menjatuhkan diri.
“Ngapain kamu!” bentakku berusaha menggoyahkan keberaniannya.
Aku kira dia akan takut dan melepaskan cengkramannya, tapi ternyata aku salah. Tenaga yang dikerahkan perempuan asing itu sangat kuat. Ia menarik diriku menjauh dari tepian jembatan hingga tubuhku dan tubuhnya terjatuh bersamaan di trotoar. Aku menatapnya tajam. Perempuan itu balas menatapku. Tatapannya sendu, matanya berkaca kaca menatapku.
“Kenapa kamu tahan saya?”
Aku membentaknya, lagi. Perempuan itu tersentak kaget begitu aku membentaknya. Tapi ia malah mencoba memberanikan diri untuk balik membentakku.
“Kamu udah gila?” tanya perempuan itu tepat didepan wajahku.
“Kamu kira masalahmu bakalan hilang dengan bunuh diri, Nggak kan?” tanya nya lagi.
Aku menggeram frustasi. Harusnya malam ini aku mati. Tapi kenapa perempuan asing ini menggagalkan rencanaku?
Sialan. Umpatku dalam hati. Aku menjambak rambutku sendiri untuk menyalurkan semua amarahku. Tapi perempuan itu malah merebut tanganku dengan lembut.
“jangan sakitin diri kamu sendiri” ucapnya lembut.
Seketika mataku beradu dengan tatapan menenangkan miliknya. Aku dapat melihat sorot kehancuran yang ia sembunyikan di balik binar matanya yang indah.
“Kenapa kamu lakuin ini?”
Dia menatapku lekat. Menungguku menjawab pertanyaannya. Aku menghela nafas sejenak.
“Aku capek. Seharusnya aku ga lahir kedunia ini. aku selalu aja bawa sial,” ucapku dengan mata berkaca kaca. Runtuh sudah pertahanan air mataku. Perlahan tubuhku bergetar. Aku kesusahan mengontrol air mataku yang jatuh tak terbendung.
“Nangis aja, jangan ditahan.” Ucap perempuan itu lembut. Jemarinya bergerak mengambil jemari milikku untuk digenggam.
“Lihat mataku,” ucap perempuan itu memberi instruksi.
Aku menatap matanya. Hei. Aku tak pernah melihat tatapan semenenangkan ini seumur hidupku, bahkan dari Wanita yang selama ini aku sebut mama.
“Kamu capek, aku capek, semua orang pasti ngerasain capek. Kamu boleh berhenti sejenak untuk beristirahat. Tapi kamu ga boleh menyerah.” Ucap perempuan asing itu lembut.
“Kamu ga boleh nyia nyiain kesempatan hidup yang udah tuhan kasih ke kamu. Diluar sana banyak orang yang mati matian bertahan untuk tetap hidup. Sedangkan disini, kamu malah mencoba mengakhiri hidup kamu sendiri.”
Aku menunduk tak sanggup menatap mata perempuan itu. entah kenapa perkataannya membuatku menyesal telah berencana mengakhiri hidupku sendiri.
“Dan ingat, ga ada manusia yang terlahir sebagai pembawa sial. Semuanya udah tuhan atur. Jadi, kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri. “
“Dah, mending sekarang kamu pulang, perbaiki diri kamu. Dan jangan coba coba ngulangin hal bodoh itu lagi.”
Perempuan itu tersenyum kepadaku. Membuatku membeku begitu melihat senyumnya yang begitu tulus dan menenangkan. Perempuan itu melepas genggaman tangannya lalu tangannya bergerak mengacak tas kecil yang semula bertengger di punggungnya. Ia sepertinya sedang mencari sesuatu. Perempuan itu mengeluarkan sebuah kotak transparan berukuran kecil yang berisi beberapa kepingan puzzle warna warni. Ia menyodorkan kotak kecil itu ke arahku.
“Buat kamu. Digunaiin ya, jangan hilang.” Ucapnya sembari meletakkan kotak kecil itu ditanganku. Aku mengeryitkan dahi heran. Kenapa kamu memberiku puzzle? Tanyaku lewat tatapan mata dan Gerakan alis.
“Ini Namanya memory puzzle. Kamu bisa nulis memori memori yang kamu suka dikepingan puzzle puzzle ini. Trus, itu ada satu keping puzzle yang khusus buat kamu isi sama nama seseorang yang kamu anggap spesial.” Terang perempuan itu antusias. Aku menatap bingung kotak puzzle di tanganku. Hei, masa aku harus main puzzle sih? Pikirku dalam hati.
“Simpan aja, mana tau butuh” ucap perempuan itu seolah mendengar pikiranku.
“Aku pamit dulu ya” ucap perempuan itu. aku mengangguk
“Silakan” ucapku diiringi senyuman setulus yang aku bisa. Perempuan itu balas tersenyum lalu melangkah menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan tak jauh dari jembatan. Sedangkan aku berjalan mengikuti langkahnya dari belakang.
“Makasih” ucapku begitu dia duduk dengan nyaman dimotornya. Perempuan itu menyelempangkan sebuah tas gitar yang yang semula tersandar di motornya ke punggung. Aku melihat ada sebuah ukiran nama di sana.
“Ashera?” perempuan itu menoleh begitu aku menyebutkan nama itu. aku tersenyum kecil
“Namamu ashera?”
Perempuan itu mengangguk lalu menjulurkan tangannya padaku. Aku menyambut uluran tanggannya diiringi senyuman tipis.
“Panggil aja shera. Nama kamu?” tanya perempuan itu balik.
“Nadi.”
“Nama yang bagus” perempuan itu tersenyum tipis begitu aku menyebutkan namaku.
“Makasih.”
“Sama sama,” ucap perempuan itu masih dengan senyuman menenangkan yang sepertinya memang menjadi ciri khasnya. “semangat ya! Jangan nyerah lagi, aku pamit” lanjutnya.
Aku mengangguk. Perempuan itu berjalan menaiki motornya. Semoga kita bisa bertemu lagi. Bisikku dalam hati. Perlahan motor yang dikendarai perempuan itu melaju meninggalkanku sendirian di pinggiran trotoar jembatan. Aku terdiam disana hingga tubuh perempuan itu menghilang ditelan jarak. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
(flashback off)
Aku menghela nafas menatap jalanan yang sepi. Orang yang aku tunggu sedari tadi belum juga tiba. Puzzle yang aku susun sedari tadi telah selesai. Tersusun rapi diatas bangku halte yang kosong. Aku mengeluarkan sebuah spidol kecil dari saku dan mulai mengisi setiap keping puzzle dengan hal hal yang aku sukai.
Aku berpikir sejenak. Tunggu, apa yang harus aku tulis? Hidupku sangat buruk dan penuh kesialan. Hidupku berpusat pada satu orang, yaitu seseorang yang sedang aku tunggu kedatangannya saat ini. Aku tersenyum kecil mengingat momen kebersamaanku dengannya lalu mulai menuangkan semua memori indah itu kedalam kepingan puzzle warna warni.
Beberapa menit kemudian kepingan kepingan itu selesai aku isi dan rangkai menjadi gambar hati. Tersisa satu keping puzzle yang belum terisi. potongan spesial yang terletak ditengah tengah gambar. Potongan yang harusnya aku isi dengan nama seseorang yang spesial, aku sengaja meninggalkannya untuk diisi nanti bersama seseorang yang aku tunggu sedari tadi.
Aku mendongak menatap langit yang belum juga menurunkan hujan. Semoga dia ngga kehujanan ucapku dalam hati. Mataku beralih menatap kearah jalanan yang sepi. Hei! Itu dia, dia datang. Perempuan itu berjalan mendekat ke halte. Aku segera merapikan pakaianku lalu tersenyum menyambut kedatangannya.
“Halo, Ra” sapaku masih dengan senyum yang terkembang
“Hai,” balasnya. Perempuan itu tersenyum menatapku. Aku menatap perempuan itu lekat. Memperhatikan penampilannya yang berantakan. Ia datang dengan tubuh penuh luka bahkan dengan darah segar yang masih mengalir di pelipisnya. Aku mengernyit heran, ini bukan pertama kalinya dia datang dengan tubuh penuh luka seperti ini.
“Are you okay, Ra?” tanyaku khawatir. Dia hanya tersenyum tipis lalu menarik tanganku untuk Kembali duduk di kursi halte. Aku menatap tangannya yang dipenuhi luka cambukan dengan tatapan ngeri.
“Shera,” perempuan itu menoleh, menungguku melanjutkan ucapan.
“Luka kamu ga diobati dulu?” tanyaku sambil membolak balik jemari yang sedari tadi berada digenggamanku.
Shera menggeleng pelan lalu menatap mataku dengan sorot mata paling menenangkan yang hanya dia pemiliknya.
“Ga papa kok, udah ga sakit lagi” ucap shera menenangkanku yang khawatir menatap luka luka ditubuhnya. Ia melirik rangkaian puzzle yang aku taruh dibangku halte. Ia tersenyum menatap rangkaian puzzle yang hampir jadi itu.
“Kamu masih nyimpan puzzle itu ternyata” shera tersenyum, tangannya meraih puzzle yang aku susun sambil menunggunya. Ia tersenyum saat membaca kenangan kenangan manis yang aku tulis disana. Aku menulis semua kenangan manis yang aku rasakan saat bersamanya disana. Aku hanya menulis hal indah tentangnya disana. Karena dialah pusat kebahagiaanku selama ini. Dialah segalanya. Dialah semestaku.
“Nadi” panggil shera begiu menyadari ada sesuatuu yang kurang disana.
“Ya?”
“Mana potongan terakhirnya?’
Aku segera merogoh kotak puzzle, mencari potongan terakhir lalu memberikannya ke perempuan berambut pendek yang dipotong asal asalan didepanku itu.
“Kamu udah nemu siapa potongan puzzlemu yang hilang, Di?” tanya shera masih dengan senyumnya yang mengembang. Ia menyandarkan kepalanya dibahuku, tangannya bergerak memainkan potongan terakhir itu. aku masih belum menjawab pertanyaannya tadi. Mataku menatap kea rah langit yang sekarang mulai menurunkan hujan.
“Nadi” panggil shera, dia masih menunggu jawabanku. Aku menoleh kearahnya. Menatap matanya disertai senyuman terbaikku.
“Udah, ini orangnya” aku menunjuk shera yang tengah bersandar dibahuku.
Wajahnya seketika berubah. Dia menatapku dengan pandangan yang berbeda. Aku tidak suka dengan tatapan yang shera berikan saat ini. Ini bukan tatapan sheraku yang biasanya. Ia terlihat sedih.
“Bukan aku orangnya, Nadi” ucapnya dingin. “Aku bukan kepingan puzzlemu yang hilang” ia mengembalikan potongan puzzle itu kepadaku. Aku menggeleng tak terima. Shera salah. Dialah potongan puzzleku. Dialah pusat semestaku.dialah yang melengkapi diriku.
“Orang itu kamu, ra” aku kini berhadapan dengannya, aku memegang kedua bahu rapuh miliknya dengan tangan bergetar.
“Kamu melengkapi aku,ra” aku menatap matanya yang teduh. Shera Kembali menggeleng. Tangannya perlahan naik menghapus air mataku yang jatuh tanpa aku sadari.
“Aku sudah mati, nadi” aku terdiam mendengar kalimat yang keluar dari bibirnya. Perkataannya membuat hatiku ditusuk ribuan belati.
“Berhenti menciptakan semesta dimana ada aku disana” lanjutnya. Aku menunduk dalam, tertampar dengan perkataan shera.
“Berhenti menganggap aku masih hidup, nadi”
Tiba tiba, tanpa diminta semua ingatan buruk satu tahun yang lalu datang menghampiriku. Mencekikku dengan kesedihan tak berujung. Ingatan itu datang Kembali.
(flashback on)
Satu tahun yang lalu.
Ini tahun pertama aku menjadi mahasiswa di kampus impianku. Begitu juga shera. Aku mengambil jurusan manajemen bisnis sedangkan shera memilih jurusan Pendidikan. Aku membayangkan shera-ku akan menjadi guru suatu saat nanti. Dia juga akan menjadi guru pertama untuk anak anakku nanti. semoga saja.
Sore ini aku dan shera memutuskan untuk pulang Bersama naik bus umum. Selama diperjalanan menuju rumah, shera terus berceloteh Panjang lebar dan aku setia mendengarkan semua ceritanya tentang hari ini. Mulai dari dosennya yang galak, tugas tugasnya yang menumpuk sampai cerita tentang seniornya yang ‘katanya’ sebaik dan seganteng mark lee. Aku sangat tidak tertarik dengan cerita yang satu ini dan lebih memilih untuk memasang ekspresi malas saat dia bercerita tentang kakak tingkatnya itu. shera yang menyadari perubahan ekspresiku tambah mengomel dan memintaku untuk terus mendengarkannya hingga ceritanya selesai. Aku mengangguk mengalah.
“Oke oke aku dengerin kok” ucapku diiringi senyum kecil saat mendapati shera yang bete karena aku tak mendengarkan ceritanya. Shera tersenyum kembali setelah mendengar ucapanku. Ia Kembali melanjutkan ceritanya sampai kami berpisah di halte tempat ia turun.
“Jangan lupa, nanti kalo kamu kerumah, bawain aku martabak coklat,ya?” ucap shera sebelum ia turun dari bus. Aku mengangguk. Kami membuat janji untuk bertemu dirumh shera nanti malam. Perempuan dengan rambut sepunggung itu mengajakku untuk merakit lego besar yang baru aku beli untuknya seminggu yang lalu. Shera memang sangat suka dengan hal hal berbau lego, puzzle dan semacamnya jadi aku memilih untuk membelikannya lego dengan isi ribuan keping minggu lalu.
Aku terus menatap shera yang turun dari bus dengan langkah yang ringan. Ia melambaikan tangannya kearahku yang terus menatapnya dari balik jendela bus. Aku tersenyum lalu balas melambai ke arahnya sampai bus benar benar meninggalkan halte.
Malam harinya, aku berkendara menuju rumah shera menggunakan motor kesayanganku. Sebelumnya aku sudah membeli martabak coklat sesuai permintaan shera. Motorku melaju stabil menuju rumah shera. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatiku, aku takt ahu apa itu. hatiku semakin tak enak saat memasuki daerah tempat shera tinggal. Aku memarkirkan motorku tepat di depan rumah shera. Aku berjalan memasuki halaman rumah. Lalu mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Aku mengetuk pintu sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Tiba tiba seorang laki laki datang bersama motornya. Ia memarkir motornya asal. Bahkan laki laki itu tak peduli saat motornya jatuh karena tidak diparkir dengan baik.
Laki laki itu berjalan cepat kearah pintu, wajahnya merah padam tampak sekali raut kemarahan di wajahnya. Ia menggedor gedor pintu rumah seperti orang kesetanan, tak peduli dengan keberadaanku disana. Aku kenal laki laki ini. Namanya Jen, sahabat shera sedari kecil. Aku tak pernah melihat jen semarah ini. Jen selalu terlihat tenang dan terkendali, tapi mala mini aku melihat sisi lain dari seorang jen yang ternyata menyeramkan. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada jen apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ia terlihat begitu marah hingga menggedor gedor pintu rumah shera?
“Jen, tenangkan diri lo dulu” aku memegang pundak jen menyuruhnya tenang. Tapi jen menepis tanganku begitu saja.
“Shera disiksa sama ayahnya lagi” ucap jen dengan nafas tersenggal menahan amarah “gue ga bisa biarin dia digituin” jen kembali menggedor pintu rumah. Aku terdiam, sheraku disiksa lagi? Cukup, aku sudah muak dengan kelakuan ayah shera selama ini. Aku muak melihat sheraku yang selalu saja terluka.
“Buka Pintunya, Sialan!” seru jen penuh amarah. Ia mulai mendobrak pintu utama itu sekuat tenaga.
Aku akhirnya memutuskan untuk ikut mendobrak pintu bersama jen. Jen terlihat makin kesetanan. Ia menendang pintu utama sampai terbuka lebar. Begitu pintu terbuka ia langsung merangsek masuk dan meneriaki nama ayah shera tanpa sopan santun sedikitpun.
Seorang pria setengah baya terlihat keluar dari sebuah ruangan, wajahnya memerah, nafasnya memburu. Ia menatapku dan jen tajam.
“Berani beraninya kalian berdua mendobrak pintu dan masuk kerumah tanpa izin!” bentak ayah shera. Tangannya mengepal bersiap jika salah satu dari kami akan menyerangnya.
Jen tak peduli dengan bentakan ayah shera. Ia maju dan mulai menyerang pria itu. ayah shera dengan cepat berkelit menghidari serangan jen.
“Mana Shera?” tanya jen tepat didepan wajah ayah shera. Otot otot jen terlihat mengeras, amarahnya benar benar sudah memuncak. Ia kembali menyerang ayah shera, pria setengah baya itu kesusahan melawan jen yang jelas lebih bugar darinya. Jen menyerang pria itu membabi buta, membuatnya babak belur.
Aku memutuskan untuk mencari shera. Perasaanku makin tak enak. Aku membuka setiap pintu ruangan, tapi tak ku temukan sheraku dimanapun. Hingga aku tiba di ruangan terakhir, aku membuka pintu ruangan itu cepat. Sebuah ruang kerja yang hancur lebur bak kapal pecah.
“Shera!”
Aku meneriakkan nama shera berharap dia membalasnya agar aku mudah menemukannya. Tapi tetap taka da jawaban. Aku memeriksa ruangan itu. indra penciumanku menangkap sesuatu yang aneh, aku mencium bau darah yang sangat pekat. Aku terus memeriksa ruang kerja itu dengan seksama hingga sepatuku tak sengaja menginjak sebilah pisau penuh darah yang tergeletak didekat meja kerja yang sudutnya juga dipenuhi darah segar.
“Shera!”
lututku seketika melemas begitu melihat sebuah lemari yang dari sela selanya mengalir darah segar. Aku segera membuka lemari itu, benar saja. Sheraku meringkuk setengah sadar didalamnya. Aku segera mengeluarkan tubuhnya dari sana dengan tangan bergetar. Seketika duniaku runtuh. Sheraku berlumuran darah. Tubuhnya penuh luka tusukan.
“Shera!”
Aku menepuk pelan pipi Shera, mencoba membuatnya tersadar. Mata indahnya tetap terpejam, seperti enggan terbuka lagi. Darah segar mengalir dari pelipisnya yang bocor, tangannya dipenuhi bekas cambukan. Aku memeluk tubuh shera erat.
“Ra… bangun,” aku kembali mencoba mengumpulkan kesadaran shera yang mulai menipis.
Shera mengerjapkan matanya. Tatapan kami bertemu begitu shera membuka matanya. Ia menatapku sorot sendu yang sangat menyakitkan.
“Nadi…” panggil shera lirih sangat lirih nyaris tak terdengar
Aku berteriak memanggil jen yang masih berurusan dengan ayah shera. Shera terbatuk lalu memuntahkan darah segar yang kemudian mengotori pakaianku. Aku kembali berteriak memanggil jen agar shera bisa diselamatkan. Tangan shera naik meraih wajahku.
“Sakit…” lirih shera diiringi ringisan kecil. Luka tusuk diperutnya semakin banyak mengeluarkan darah.
“Bertahan, ra” aku tanpa berhenti melafalkan doa agar tuhan bersedia membuat sheraku bertahan. Sungguh aku tak ingin kehilangan.
“Kamu harus bahagia, nadi…” nafas shera terdengar semakin berat “bahkan tanpa aku…” aku menggeleng kuat. Tidak. Aku tak ingin kehilangan, tuhan. izinkan sheraku bertahan lebih lama. Aku berjanji akan membuatnya bahagia. Bisikku berharap tuhan mendengarnya.
“Kamu harus bahagia, nadi. Bahagia Bersama potongan puzzlemu yang hilang. Maaf, ternyata aku bukan potongan puzzle itu” ucap shera sambil tersenyum pedih. Aku menggeleng, mengusap air mata dipipi.
“Ngga, Ra. kamu harus bertahan. Aku udah janji bakal bawa kamu pergi jauh dari sini dan akan membuat kamu hidup bahagia bersamaku. Kamu potongan puzzleku, ra…kamu…melengkapiku”
Shera menggeleng lemah. Air mata mulai menetes dari matanya yang indah. Ia menggenggam tanganku erat.
“Nadi…jangan lupain aku ya? Makasih karena udah jadi potongan terindah dipuzzle milikku…” nafas shera semakin tersenggal. Jen akhirnya datang setelah menelpon ambulans. Shera mulai kehilangan kesadarannya. Matanya perlahan Kembali menutup. Aku Kembali memanggil manggil Namanya, mengguncang tubuhnya mencoba membuat kesadaran shera Kembali. Shera Kembali membuka matanya perlahan.
“Jen…” shera memanggil jen lirih, jen mendekat menunggu shera berbicara.
“Makasih, ya, Jen…makasih banyak…”
Jen menggeleng kuat. Wajahnya memerah menahan tangis “ngga, sher. Kamu harus bertahan.” Ucap jen lirih. Shera hanya tersenyum sedih.
“Aku harus pergi, Jen…” Shera Kembali menatapku dan tersenyum dengan senyuman terbaiknya. Aku menggelengkan kepala lebih kuat.
“Bertahan, Ra…” aku mulai terisak. Aku mengambil tangan shera lalu menciumi tangan penuh luka itu berkali kali. Sheraku harus bertahan.
“Jen, Nadi…aku pamit…” mata indah shera perlahan kembali menutup .
Aku Kembali mencoba menyadarkannya, tapi nihil. Shera sudah pergi. Aku berteriak histeris memanggil nama shera, tapi semuanya sia sia. Dia sudah pergi. Menyisakan aku dan jen disini. Dia pergi meninggalkanku Bersama semua rencana dan impian yang belum sempat aku wujudkan untuknya. Menyisakan kehancuran semesta yang sudah lama aku bangun bersamanya. Seketika, duniaku hancur..
(flashback off)
Hujan turun semakin deras, Membuat genangan air dijalanan. Shera menatapku dalam. Tangannya naik mengusap pipiku yang mulai basah karena air mata.
“Kamu harus bahagia,nadi…seperti yang aku bilang setahun yang lalu” aku menunduk. Tak berani menatap mata shera yang tengah menatapku.
“Berhenti berkhayal jika aku masih hidup,nadi…jalan kamu masih Panjang. Kamu harus bangkit” shera mengangkat daguku, memintaku untuk menatap matanya.
“Aku ga kemana mana. Aku selalu disini. Dihati kamu,nadi” shera menunjuk tepat didadaku. Lalu dia berdiri. Shera melangkah pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia berjalan menerobos hujan. Aku berdiri hendak menyusul, tapi shera justru menggeleng melarangku menyusulnya.
“Ra, setidaknya izinkan aku meluk kamu untuk terakhir kalinya” ucapku memohon. Shera menghentikan langkahnya mendengar permohonanku. Ia berbalik, menatapku dari kejauhan.
“Izinkan aku meluk kamu sebelum aku membuka hati untuk kepingan baru itu,ra” aku melangkah menyusul shera. Tak peduli hujan deras yang membuat pakaianku basah kuyup.
“Boleh,.. Ra?” tanyaku begitu sampai didepan shera. Perempuan itu tersenyum lalu memelukku lebih dulu. Aku membalas pelukan hangat yang sangat aku rindukan itu. air mataku jatuh tak terbendung bercampur dengan derasnya hujan. Shera membelai punggungku yang bergetar dengan lembut.
“Makasih, Ra…” ucapku disela sela tangis. Shera mengangguk, tangannya masih setia membelai lembut punggungku.
“Makasih karena udah hadir melengkapi kebahagiaanku, Ra…”
“Sama-sama, Nadi…” bisik Shera di telingaku.
Aku mengerjapkan mata. Aku tak merasakan pelukan hangat shera lagi. Kemana sheraku? Aku mengusap wajahku dengan kasar, lalu menatap potongan puzzle terakhir yang entah sejak kapan ada dalam genggamanku. Dingin, aku mulai menggigil kedinginan. Sheraku sudah tidak ada. Ia lebih memilih meninggalkan ku sendirian disini.aku mencoba memeluk diriku sendiri.
Malam ini, diakhir tahun pertama sejak shera meninggalkanku. Aku memilih untuk sadar dari semesta yang sudah aku ciptakan untuk membuatnya tetap hidup. Malam ini aku sadar, sheraku sudah pergi untuk selamanya. Malam ini, aku memilih merelakan semestaku hilang tak bisa ditemukan lagi dimanapun. Malam ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti menyiksanya dengan tetap tinggal dijagat dimana aku membuat sheraku tetap hidup. berjanji untuk berhenti melakukan aktivitas seolah olah shera masih ada disampingku. aku berjanji akan bahagia, seperti yang shera minta diakhir hidupnya.
Aku akan mencoba membuka ruang baru untuk potongan puzzle yang baru. Potongan puzzle puzzle shera akan tetap ada dihatiku. Tak akan pernah bisa digantikan dengan puzzle lainnya. Selamanya.
Aku Kembali ke halte dengan tubuh menggigil kedinginan. Aku mengambil spidol lalu menulis nama shera di potongan terakhir yang sedari tadi aku genggam. Aku meraih puzzle yang hampir jadi itu lalu melengkapinya dengan potongan terkhir yang sudah kutuliskan nama shera disana.
Aku tersenyum kecil menatap gambaran puzzle yang sudah jadi itu lalu memasukkannya kedalam sebuah bingkai khusus agar puzzlenya tak hancur.
Setelah memastikan semuanya puzzlenya aman, aku memutuskan untuk pulang dengan menerobos hujan. Meninggalkan halte tempat dimana aku selalu menunggunya selama ini. Aku tak akan melakukan hal ini lagi. Aku akan mencoba ikhlas. Akan aku peluk semua takdir yang sudah ditetapkan tuhan untukku.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Beberapa hari kemudian…
Aku berjalan menyusuri jejeran makam yang tersusun rapi menuju dua makam yang terletak dibawah naungan sebatang pohon yang rindang diujung tempat pemakaman. Aku tak membawa apa apa. Hanya dua batang krisan putih yang baru saja aku beli ditoko bunga dekat kampus.
Aku berjongkok diantara kedua makam yang bersebelahan itu. ini adalah makam dari seorang ibu dan anak perempuannya. Makam shera dan bundanya.
“Halo, bunda…” aku menyapa lembut bunda shera. Tanganku bergerak mengelus batu nisan bertuliskan nama bunda shera, lalu menaruh setangkai krisan putih disana.
“Ini Nadi, Dun. Yang pernah Shera ajak kenalan sama bunda waktu itu” monologku didepan makam itu.
“Bunda sekarang udah ga sendirian lagi kan, Bun? Pasti bunda udah ketemu sama shera. Ga asik banget, nadi ditinggalin sendiri disini” aku mulai berceloteh sambil mencabuti rumput rumput liar yang tumbuh memenuhi makam.
“Shera cantik kan,bun? Mirip sama bunda” aku menghela nafas sejenak “nadi titip Shera, ya, Bun? Nadi titip semestanya nadi” pandanganku beralih menatap makam shera.
“Bun, Nadi izin mau ngomong sama Shera dulu,ya…”
Aku beranjak menghampiri makam Shera. Menyentuh lembut nisan bertuliskan Namanya.
“Halo, ra” sapaku lembut.
“Udah lama, ya, kita ga ketemu” aku menaruh krisan terakhir diatas makam shera lalu menatapnya sendu.
“Ternyata lebih enak ngomong disini, ya, Ra?” aku Kembali menghela nafas “dibanding terus berhalusinasi bahwa kamu masih disini” aku menunduk mulai mencabuti rumput rumput liar yang tumbuh disekitar makam shera.
“Makasih, Ra. makasih karena udah datang kehidupku” aku tersenyum tulus kearah makam shera.
“Karena kamu…hidupku menjadi lebih berarti. Kamu sangat berharga bagiku,ra” pandanganku mulai memburam karena air mata. Aku segera menghapus air mataku dengan cepat. Aku tak ingin shera melihatku menangis. Dia harus melihatku bahagia. Aku menunduk menatap nisan shera sambil berusaha meredakan tangis. Aku Kembali mengusap air mataku yang jatuh tak terbendung.
Aku tersentak kaget, begitu aku selesai mengusap air mataku, tiba tiba sebuah tangan perempuan meraih tanganku. Aku mendongak melihat siapa yang datang lalu menggenggam tanganku seperti ini. Aku terdiam. Aku tidak sedang berhalusinasi,kan? Aku melihat shera kini duduk dihadapanku. Wajahnya lebih cerah daripada pertemuan kami sebelumnya. Luka disekujur tubuhnya pun hilang. Shera menatapku sambil tersenyum begitu manis. Wajahnya terlihat sangat bahagia tanpa beban.
“Nadi, aku kangen kamu” ucap shera sambil mengelus tanganku. Aku terdiam menatapnya.
“Satu tahun kamu ga ngunjungin aku disini, teganya…” ucapnya setengah merajuk. Aku menunduk, tak berani menatapnya.
“Maaf…” lirihku pelan. Aku Kembali mengusap air mataku. Shera tersenyum menatapku. Perempuan itu menatapku dengan tatapan hangat khasnya.
“Iya, nadi. Aku maafin” tangan shera beralih menghapus air mataku yang makin mengalir. “Makasih,ya udah berani datang ke sini” aku menatap shera yang tersenyum begitu manis.
“Kamu harus membuat gambaran puzzle yang lebih besar dan indah daripada puzzle yang kita susun berdua,nadi” mata shera berbinar binar menatapku. Membuatku tak sanggup menatapnya lebih lama.
“Tugasku untuk melengkapi puzzlemu sudah selesai, dan tugasmu melengkapi puzzleku juga sudah tiba dipenghujungnya. Ini sudah saatnya aku pergi, nadi.” Shera menggenggam tanganku erat. Aku menatapnya keberatan.
“Aku pamit, ya? Kamu ikhlas,kan?” tanya shera. Tatapannya tak lepas dari wajahku. Shera menunggu jawabanku.
Aku menngangguk pelan. Aku ikhlas. Aku mengusap mataku yang berair, seketika shera menghilang dari pandanganku. Ia hilang tanpa jejak. Aku mengusap wajahku kasar. Aku berhalusinasi lagi. Aku menatap nisan bertuliskan nama shera sendu. Memberi jeda untuk diriku menenangkan diri.
“Selamat istirahat, sheraku” aku tersenyum sembari membelai lembut nisan shera.
“Aku pulang dulu” aku bangkit dari posisi jongkok, beranjak meninggalkan makam shera dan bundanya.
“Shera, Bun. Nadi pamit,ya. Kapan kapan nadi balik lagi kesini. Makasih”
Aku melangkahkan kaki keluar dari tempat pemakaman. Aku keluar dengan hati yang lebih tenang dari sebelumnya. Sekarang aku ikhlas dengan kepergiannya. Aku akan belajar menerima semuanya. Aku akan belajar memulai kehidupanku tanpa shera disisiku. Kembali ke titik nol seperti saat dimana aku dan shera belum bertemu.
Tentang Penulis
Azalea Athifatul Azima, biasanya lebih dikenal dengan nama pena Athifalea adalah seorang siswi SMA IT ICBS Payakumbuh, lahir pada tanggal 03 Desember 2007. Kepingan Puzzle Yang Hilang merupakan cerpen pertama yang berhasil diselesaikan pada umur ketujuh belas tahun. Jika ingin mengenal lebih jauh tentang penulis silahkan menghampiri sosial media @athifalea.
Flashback dan Mengulur Alur dalam Kepingan Puzzle Yang Hilang
Oleh: M. Adioska
(Guru dan Anggota FLP Wilayah Sumatera Barat)
“Rather than telling the reader a character is angry, show the anger through clenched fists, terse language, or abrupt movements” (Strunk and White, 1979, p. 72).
(Daripada memberitahu pembaca bahwa karakter ceritanya sedang marah, tunjukkan kemarahan tersebut melalui tangan yang terkepal, bahasa yang singkat, atau gerakan yang tiba-tiba. (Strunk dan White, 1979, hal. 72– diterjemahkan secara bebas)
Membaca cerpen Kepingan Puzzle yang Hilang karya Athifaleaa, memunculkan ingatan penulis kepada suatu waktu, saat diskusi lepas bersama Azwar Sutan Malaka sekitar dua dekade lampau -saat dimana semangat menulis masih menggebu dan keringat masih berbau kampus. Kala itu penulis simpulkan secara pribadi bahwa pembaca cerpen dapat menginterpretasikan sendiri sebuah cerita yang dibacanya. Dalam sebuah cerita tidak semestinya penulis menggurui atau menuntun pembaca. Biarkan mereka menemukan sendiri apa yang dibacanya. Apakah itu tentang nilainya, alurnya, setingnya atau hal lain yang ingin mereka gali. Maka, dari sisi seorang penulis muncul istilah atau prinsip “sampaikan tapi jangan katakan” (show, don’t tell). Prinsip ini bertujuan agar pembaca dapat merasakan atau memahami emosi, situasi, dan karakter melalui tindakan, dialog, atau deskripsi, bukan hanya melalui pernyataan eksplisit. Pendekatan ini memberikan kedalaman pada cerita, memungkinkan pembaca untuk membangun pengalaman emosional mereka sendiri, alih-alih hanya menerima informasi secara pasif.
Membuka ulasan cerpen, Kreatika minggu ini akan membahas cerita pendek dengan judul Kepingan Puzzle yang Hilang karya Athifaleaa. Cerpen ini merupakan kisah emosional tentang perjalanan Nadi, seorang mahasiswa, yang mencoba menerima kehilangan sosok Shera, perempuan yang pernah menjadi penyelamat dan pusat semestanya.
Cerita dimulai dengan suasana menunggu seseorang di halte, sambil menyusun puzzle kenangan yang ternyata menjadi simbol penting dalam hubungan mereka. Melalui kilas balik, pembaca diajak menyelami masa lalu Shera yang kelam akibat kekerasan dari ayahnya dan bagaimana Shera menjadi figur penyemangat hidup bagi Nadi. Momen memilukan terjadi ketika Shera meninggal karena kekerasan tersebut, meninggalkan Nadi dalam kehancuran batin. Dengan sentuhan emosional yang kuat, cerpen ini menutup kisahnya dengan perjalanan Nadi menuju penerimaan dan ikhlas, ditandai dengan kunjungannya ke makam Shera.
Salah satu kekuatan cerpen ini adalah narasinya yang mendalam dan emosional. Penulis berhasil menggambarkan perasaan tokoh secara detail, membuat pembaca merasakan kepedihan dan perjuangan Nadi dalam proses menerima kehilangan.
Melalui cerpen ini, penulis dengan cerdas menggunakan metafora puzzle. Puzzle dalam cerpen ini dapat diartikan sebagai lambang perjalanan kehidupan, terutama proses mencari dan melengkapi diri. Setiap kepingan puzzle mewakili momen, kenangan, atau orang-orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan tokoh utama, Nadi. Puzzle yang diberikan Shera kepada Nadi juga menjadi simbol harapan dan cara untuk mengisi “kekosongan hidup” dengan kenangan baik. Shera mengajarkan bahwa meski hidup penuh luka, tetap ada momen untuk disyukuri dan diingat. Tokoh Shera digambarkan dengan karakteristik yang menarik, yakni seseorang yang penuh kasih, tegar, namun menyimpan luka batin yang mendalam.
Sementara dari sisi alur, penulis memilih menggunakan alur flashback (maju-mundur). Hal ini dapat dilihat dengan diceritakannya tokoh Nadi yang sedang menunggu seseorang di halte sambil menyusun puzzle. Ingatan membawa pembaca pada masa lalu saat Shera menyelamatkan Nadi dari keputusasaan, hingga peristiwa tragis yang mengakhiri hidup Shera. Cerpen ini ditutup dengan Nadi yang mulai menerima kenyataan.
Pilihan penulis menggunakan alur flashback memberikan tantangan tersendiri dalam pengembangan ceritanya. Dalam hal ini penulis memilih menggunakan panduan langsung, membatasi langsung kapan cerita berbalik ke masa lampau, dan kapan kisahnya kembali ke masa sekarang dengan menggunakan istilah flashback on dan flashback off.
Penggunaan panduan untuk menentukan beralihnya seting waktu dalam sebuah cerita memang tidak diatur dalam dunia kepenulisan. Barangkali cara ini berkaitan dengan kreatifitas penulis, sehingga dalam prosesnya si penulis Athifaleaa memilih untuk memberikan penanda beralihnya waktu dalam ceritanya. Namun disisi lain, penggunaan tanda untuk seting flashback memberikan kesan pasif terhadap pembaca. Mereka hanya menerima apa yang tertulis dari apa yang ingin disampaikan penulis tanpa melibatkan proses berpikir atau penginterpretasian secara bebas dari pemahaman mereka. Pada ujungnya, pembaca tidak terikat secara emosional terhadap apa yang mereka baca. Barangkali, daripada memberitahukan pembaca batas kapan masa lampau dan masa sekarang, alangkah lebih baik jika disajikan dalam bentuk narasi lain yang mengandung unsur penanda waktu.
Dalam dunia kepenulisan, alur flashback sudah banyak bahkan sudah umum dipakai oleh para penulis. Namun rata-rata mereka tidak menggunakan penanda untuk setiap peralihan waktu dalam ceritanya. Mereka dengan kepiawaiannya membiarkan pembaca untuk menyimpulkan sendiri waktu terjadinya cerita tersebut. Bahkan jika diolah dengan lebih baik, hal ini terkadang bisa menjadi plot twist diakhir cerita.
Terlepas dari alur yang digunakan, membaca cerita serta penanda lainnya dalam kisah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa cerpen ini termasuk kategori cerpen remaja. Nurhadi dalam bukunya Dasar-Dasar Penulisan Cerpen (2008: 45) menyebutkan beberapa ciri-ciri cerpen remaja yaitu bertema kehidupan remaja, bahasa yang ringan dan komunikatif, durasi cerita singkat, mengandung pesan moral, tokoh dan konflik yang dekat dengan kehidupan remaja.
Cerpen remaja biasanya menggambarkan kehidupan, konflik, dan pengalaman yang dekat dengan dunia remaja, baik dalam aspek emosi, hubungan sosial, maupun pencarian jati diri. Cerita jenis ini biasanya memiliki tokoh utama remaja atau pemuda yang menghadapi konflik internal seperti perasaan cinta pertama, persahabatan, atau perjuangan dengan identitas diri. Hal ini sangat jelas terlihat dalam Kepingan Puzle yang Hilang.
Dalam cerpen ini tokoh Nadi “disibukkan” dengan konflik internal yang ia rasakan atas sahabatnya Shera tanpa mengekspos sedikitpun socio-cultural yang pasti mengelilingi munculnya cerita tersebut. Artinya, dalam sebuah cerita pasti ada aspek sosial budaya masyarakat yang berlaku terkait dengan cerita yang ingin disampaikan penulis. Seperti pada keadaan dimana Shera menerima kekerasan dari ayahnya, peran ibu atau anggota keluarga lainnya tidak diceritakan sama sekali. Pada saat terjadi kekerasan apakah masyarakat sekitar hanya tinggal diam, atau mungkin karena ayahnya adalah seorang bromocorah maka mereka tidak mau ikut campur. Barangkali dengan menambahkan sedikit polesan dan pelibatan faktor lain dalam cerita ini akan menambah nilai lebih pada cerita ini.
Disisi lain, salah satu ciri cerpen remaja berupa durasi cerita singkat tampak terbantahkan dalam cerpen ini. Hal ini dapat dilihat dari panjang cerita yang disajikan penulis. Penulis berhasil mengembangkan dan memperpanjang cerita yang ia ciptakan.
Namun alih-alih menambah makna, panjangnya cerita yang ditawarkan penulis justru terkesan mengulur alur yang sudah baik. Alur cerita yang panjang dan dipenuhi kilas balik terkadang membuat pembaca kehilangan fokus. Beberapa bagian juga terasa repetitif, terutama dialog yang cenderung berulang dalam menyampaikan pesan moral. Selain itu, penulis bisa lebih mengolah konflik utama agar terasa lebih tajam dan memiliki kedalaman emosi yang konsisten dari awal hingga akhir cerita.
Pada akhirnya, cerita ini menawarkan pesan moral yang relevan, yaitu tentang arti menerima takdir dan pentingnya menghargai hidup meskipun dirundung kesedihan. Pembaca diajak untuk memahami bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses kehidupan. Namun, elemen plot twist di akhir cerita—di mana Nadi menerima Shera hanya dalam ingatannya—sebaiknya diperkuat dengan narasi yang lebih halus agar lebih menyentuh. Dengan sedikit perbaikan pada struktur narasi dan pengembangan karakter pendukung, cerpen ini dapat menjadi karya yang lebih tajam dan mendalam.
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.