INDONESIA selaku negara kepulauan tak hanya menyuguhkan keindahan alamnya, namun juga terdapat tantangan dan ancaman yang nyata. Berada di bumi pertiwi ini bisa diibaratkan bunga di tepi jurang, dan diharapkan tak seperti petani mati di lumbung padi.
Pasalnya, negara dengan 283 juta penduduk ini berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, sebuah wilayah dengan aktivitas seismik dan vulkanik yang sangat tinggi. Ancaman besar negara ke-4 populasi terbanyak di dunia ini, ialah bencana megathrust, salah satunya di wilayah Sumatera Barat (Sumbar).
Secara sederhana, megathrust yang juga disebut gempa bumi besar ini terjadi di zona subduksi. Fenomena alam ini sering terjadi di bawah laut ketika satu lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng lainnya. Jika tekanan yang terbentuk di zona subduksi itu menumpuk, dan ketika dilepaskan, sehingga menimbulkan goncangan atau gempa besar di daratan.
Kerawanan megathrust yang dimiliki Indonesia ini karena terletak di antara tiga lempeng tektonik, Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Khususnya di Sumbar, gempa besar di kedalaman dangkal terjadi akibat pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yakni zona Megathrust Mentawai-Siberut dan Megathrust Mentawai-Pagai yang berpotensi besar terjadinya tsunami.
Salah satu contoh megathrust yang terkenal sekaligus duka yang mendalam bagi Tanah Air, adalah gempa dan tsunami di Samudra Hindia yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Peristiwa ini menewaskan 230.000 jiwa lebih, dan Indonesia penyumbang angka terbesar selain Thailand, Sri Lanka, India bahkan Afrika Timur.
Selain itu, daerah Sumbar memiliki sejarah panjang gempa bumi yang diakibatkan megathrust. Apalagi wilayah ini berada di dekat zona subduksi Kepulauan Mentawai, yang dikenal sangat rawan gempa besar. Pada tahun 2023, terjadi 765 kali gempa di Sumbar, meski hanya 32 gempa yang dirasakan masyarakat.
Dalam catatan sejarah 15 tahun terakhir, pada 2009 silam Sumbar dihoyak gempa berkekuatan 7,6 skala richter (SR) yang menewaskan 1.117 jiwa, 1.214 luka berat, 1.688 luka ringan, dan 1 orang hilang. Tahun 2010 Mentawai diguncang gempa 7,2 SR serta tsunami, menewaskan 509 jiwa, 45 luka-luka. Lalu tahun 2022, gempa terjadi di Pasaman Barat dengan 27 orang tewas, dan 457 orang luka-luka.
Berdasarkan penelitian seismik, lempeng Indo-Australia terus bergerak menuju Eurasia dengan kecepatan beberapa sentimeter per tahun. Pertemuan kedua lempeng tektonik ini menyimpan gempa kekuatan lebih dari 8,5 SR. Menurut catatan ahli, gempa besar wilayah Sumbar memiliki siklus 200 tahunan yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya siklus.
Jika terjadi, ancaman nyata megathrust ini bisa menyebabkan kerusakan besar pada bangunan, infrastruktur, dan berisiko memicu tsunami yang mengancam wilayah pesisir Sumatera. Penduduk di sepanjang pantai barat Sumatera dinyatakan kelompok yang paling terancam, terutama 7 kabupaten dan kota di Sumbar, yakni Kota Padang, Agam, Mentawai, Pariaman, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan Pesisir Selatan, serta Kepulauan Nias, hingga Mukomuko, Bengkulu.
Kendati tidak bisa diprediksi waktu terjadinya megathrust secara tepat, namun upaya mitigasi sangat penting dilakukan secara berkala untuk mengurangi dampak dan risiko. Pemerintah Indonesia melalui BNPB, BMKG, dan BPBD Sumbar serta stake holder lainnya terus beragam upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terutama bagi daerah yang berisiko.
Setidaknya, ada tujuh langkah mitigasi yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi potensi megathrust sebelum benar-benar terjadi. Jika kelimanya diikuti dengan baik, kemungkinan-kemungkinan risiko yang ditimbulkan bisa dikurangi.
Pertama, membangun infrastruktur memadai. Jika berada di wilayah yang rawan gempa dan tsunami, masyarakat serta pemerintah harus mendirikan bangunan yang sesuai standar tahan goncangan gempa. Tujuannya untuk mengurangi risiko kerusakan sekaligus memenimalisir korban jiwa.
Kedua, rutin latihan simulasi. Salah satu cara paling efektif untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dengan latihan simulasi secara rutin. Latihan ini sangat penting untuk membantu masyarakat memahami apa yang harus dilakukan saat gempa terjadi, cara melakukan evakuasi mandiri.
Ketiga, mengenal jalur evakuasi. Pemerintah lokal telah memasang tanda-tanda evakuasi di sejumlah daerah, terutama di Padang dan sekitarnya. Bagi masyarakat wilayah pesisir pantai, sangat penting untuk mengetahui jalur-jalur evakuasi yang mengarah ke tempat lebih tinggi dan aman saat tsunami terjadi.
Keempat, siapkan tas siaga bencana. Setiap rumah tangga di wilayah rawan gempa harus memiliki tas siaga yang berisi perlengkapan darurat seperti makanan, air, obat-obatan, senter, dan dokumen penting. Tas ini harus mudah diakses dan selalu siap digunakan ketika bencana terjadi.
Kelima, ketahu batasan tsunami. Masyarakat harus mengetahui informasi jarak batasan landaan tsunami di masing-masing daerah. Khusus Kota Padang, pemerintah telah membuat sekitar 27 titik Blue Line Tsunami Safe Zone di jalan raya, sehingga jika terjadi gempa berpotensi tsunami masyarakat harus mampu mencapai garis tersebut agar bisa selamat.
Keenam, patuhi peringatan dini. Masyarakat harus peka dengan segala imbauan, termasuk dengan sistem peringatan dini (Early Warning System) yang dirancang pemerintah. Kenali peringatan suara EWS yang tersebar di puluhan titik dan dibunyikan setiap tanggal 26 setiap bulannya, agar suatu saat gempa terjadi bisa evakuasi diri lebih awal.
Ketujuh, gali informasi. Masyarakat harus cerdas menggali, mencari, dan memantau informasi terkini agar tidak termakan hoaks atau informasi palsu tentang bencana megathrust. Apalagi informasi saat ini bisa didapatkan dengan mudah, baik melalui website resmi pemerintah, media massa, maupun media sosial yang terpercaya.
Bencana tidak bisa dihindari, namun dampaknya bisa dikurangi dengan tujuh langkah tersebut. Jangan abaikan latihan simulasi, peringatan dini dari pemerintah, dan jalur evakuasi yang ada. Dengan kesiapan yang matang, diri, keluarga, hingga orang lain bisa diselamatkan jika bencana besar ini benar-benar terjadi.
Kendati bencana megathrust ancaman yang nyata, bukan berarti harus hidup dalam ketakutan. Dengan pengetahuan yang memadai, langkah mitigasi yang tepat, dan kesiapsiagaan yang matang, risiko bencana pasti bisa diminimalkan. Selain tidak panik, masyarakat juga harus selalu waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan. Wallahu a’lam.* (pks/ws)