Butterfly Effect
Oleh : Afrizal Jasmann
Vania sudah emapt belas tahun sekarang. Semalam momen pertambahan umurnya dirayakan keluarga dan sahabat dekat. Walau tidak bisa dikatakan meriah, acara itu cukup menyita perhatian tetangga sekitar dengan suara musik menggema hingga keluar rumah.
Singkat cerita, pada puncak acara Vania mendapat hadiah istimewa dari Ayahnda tercinta berupa smartphone keluaran terkini dalam sebentuk kado yang dihias sampul kertas berwarna krem metalik. Alangkah sumringahnya perasaan gadis itu tatkala tahu apa yang selama ini ia idam-idamkan kini menjadi kenyataan. Dipeluknya orang tuanya itu erat penuh ucapan terimakasih yang diulang-ulang.
Waktu berjalan pesta pertambahan usia usai sudah. Kini di tengah malam menjelang dini hari tinggal Vania sendiri yang terjaga di kamarnya yang penuh kado dan bunga. Dari pancaran cahaya layar ponsel pintar yang terus menyala dalam genggaman tangannya, terlihat ia belum akan beranjak tidur dalam waktu dekat. Segala aplikasi yang ada disana ia ulik bagai barang pajangan di etalase toko serba ada. Dibolaknya ke kanan, dibaliknya ke kiri, dilemparnya ke atas, dihempaskannya ke bawah. Begitu terus hingga tidak terasa satu persatu suara ayam jago mulai terdengar mengabarkan bahwa malaikat mulai turun kebumi untuk menemui mereka yang bertahajut malam ini.
Betapa kerasnya upaya Vania untuk terus terjaga malam ini demi tidak terlepas sedikitpun dari ponsel barunya itu. Beberapa kali matanya terpejam, namun kembali terjaga. Seakan siap siaga akan datangnya sergapan musuh di zaman perang. Namun insan hanya bisa berusaha, nyatanya kekuatan alam berkata lain. Beberapa menit menjelang pukul setengah lima pagi, Vania terlelap tanpa sempat membenahi diri, berganti pakaian seperti yang sudah-sudah. Sang ponsel kesayangan pun tergelatak begitu saja bagai tidak berharga lagi.
Warna emas matahari pagi menyeriuak tipis, lalu membesar dibibir ufuk timur. Bersiap mengantarkan hari dengan segala hiruk pikuknya. Kendatipun akhir pekan, bukan berarti tidak ada kesibukan hari ini.
Vania terjaga saat waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Matanya nyalang seketika, teringat suatu agenda penting yang harus dilakoni. Disibakkannya selimutnya seketika dan segera berlari ke kamar mandi di ruang belakang.
“Kenapa Mama ga bangunin Vania?” Ucapnya ketika berpapasan dengan orangtuanya itu di ruang tengah.
“Bukannya hari ini Vania libur? Lagian Vania ga bilang minta dibangunin.” Jawab Mamanya.
“Vania kan udah cerita kemaren kalo hari ini Vania mau ke Desa Waduk sama teman-teman.” Jelasnya sembari menghilang ke dalam kamar mandi dan tidak lama kemudian terdengar suara siraman air bagai deburan ombak.
Orang tua itu tidak berkata apa-apa lagi. Fikirnya, benarkah anak gadisnya itu berkata begitu. Mengapa ia tidak ingat apa-apa. Belum sempat ada jawaban, Vania sudah kembali berlari menuju kamarnya. Tidak sampai lima menit, gadis itu telah selesai berpakaian lengkap dan bersiap untuk berangkat menunaikan agenda yang sudah terencana.
“Sarapan dulu, Nak,” ucap Mama.
Vania hanya mengambil sepotong roti tawar dan segera berlari ke luar.
Mengapa tidak ada alarm seperti biasa yang membangunkannya pagi ini, fikirnya. Dibukanya ponsel barunya, nyatanya belum ada alarm yang aktif disana. Kecuali beberapa tanda merah bekas panggilan masuk dari Cindy satu jam yang lalu. Maklum hampir semalaman ia hanya sibuk membuka aneka media sosial pribadi, tidak sempat menyetel alarm. Sedangkan ponsel lamanya, sejak dibongkar demi memindahkan simcard semalam tidak sempat dinyalakan lagi dan tergeletak begitu saja diujung tempat tidur.
Sambil berjalan tergesa menyusuri gang menuju jalan utama, dihubunginya Cindy, teman sekelasnya itu. Tidak ada jawaban. Begitu terus hingga beberapa kali panggilan. Seperti yang sudah direncanakan kemaren, hari minggu ini Vania dan teman-teman sekelasnya akan pergi pelesiran ke Desa Waduk yang sedang populer sebagai destinasi wisata baru.
Vania mulai was-was akan ketinggalan rombongan. Langkahnya semakin cepat menuju sekolah tempat keberangkatan. Jarak antara sekolah dan rumah yang hanya dua ratusan meter membuatnya serba salah. Tidak ada angkutan umum yang bisa ditumpangi, sekaligus cukup jauh untuk berjalan kaki.
Benar saja, halaman sekolah tempat mereka janjian telah sepi. Tidak ada seorangpun disana dan bus carteran pun sudah tidak ada. Seiring dengan itu, Cindy yang ia hubungi untuk kesekian kalinya merespon dari seberang.
“Ya, Van, kamu dimana? Kok ga jadi ikut sama kita-kita? Dari tadi diteleponin ga ngangkat.”
“Aku ketiduran, Cin! Ga ada yang bangunin. Sebel! Kamu dimana sekarang?!”
“Ya udah di jalan.”
“Di jalan?! Kok ga nungguin aku? Kalian jahat!” Teriak Vania nyaring. “Sudah sampe mana?!” Tanya Vania kemudian masih dengan suara keras.
“Mmm…, sepertinya by pass.”
“Plissss…, tungguin. Berhenti dulu. Biar aku nyusul pake ojek.” Rengek Vania panik tidak mau ketinggalan momen.
Seketika di seberang terdengar suara Cindy bicara dengan seseorang dan suara gaduh pun menyala.
“Kamu yakin bisa nyusul?” Tanya Cindy kemudian.
“Ya. aku akan telepon Pak Sukri.” Jawab Vania.
Pak Sukri adalah ojek langganan yang biasa jemput-antar keluarga Vania dalam banyak keperluan.
“Okay, kita tungguin disini ya. Di depan….” Belum selesai Cindy menjelaskan posisinya, Vania sudah menutup telepon dan segera hendak menelepon Pak Sukri. Dibukannya phonebook langsung pada poin ‘P’, namun tidak ada nama yang dimaksud disana. Lalu digantinya jadi poin ‘S’ untuk Sukri saja, juga tidak ada.
“Duuuh kok ga ada sih?” Gerutunya. “Jangan-jangan ga ke save di simcard lagi…” sadar waktunya semakin tipis, Vania segara menghubungi mamanya. Tidak ada jawaban. Begitu juga dengan Papanya, nihil. Vania semakin panik. Wajahnya mulai basah oleh kegetiran. Ia merasa sebatangkara sekarang. Ingin berteriak keras, lepas, berharap segera terbebas dari kekalutan ini.
Kriiiing.. telepon balik dari sang Mama. “Ada apa Vania?” Tanya Mamanya seketika.
“Ma, bisa teleponin Pak Sukri sekarang ga? Suruh anter Vania ke by pass.”
“Vania dimana sekarang? Mau apa Vania ke by pass?” tanya balik orang tuanya itu.
“Udah deh, Ma. Ga usah nanya dulu. Vania ketinggalan bis nih. Lagian Mama ga bangunin Vania tadi.
“Lho kok nyalahin Mama…”
“Plis deh Ma. Ga usah debat. Teleponin Pak Sukri sekarang…” Klik
Beberapa menit kemudian.
“Mama, mana Pak Sukrinya kok ga datang-datang?” telepon Vania lagi.
“Lho, belum nyampe dia? Katanya udah…..”
“Kalo udah nyampe ga mungkin dong Vania nelpon lagi.”
Tit! Tit!
Terdengar klason motor dikejauhan. Pak Sukri terlihat melambai dari seberang jalan di luar pagar sekolah. Tanpa salam Vania segera menutup teleponnya dan berlari menuju Pak Sukri yang telah siap mengantarnya ke tujuan.
Keluar dari gerbang sekolah, tanpa melihat kiri dan kanan, Vania terus berlari menyeberang jalan. Malang, sebuah kendaraan SUV melemparkan tubuh gadis itu hingga beberapa meter jauhnya. Seketika semua gelap gulita.
Vania tergeletak tak bergerak di ruang gawat darurat. Selang infus mengawalnya selalu sepenjang waktu. Ini adalah waktu-waktu yang rawan. Masa penentuan masa depan Vania.
“Ini salah Papa. Semua maunya anak dituruti. Kalo Papa ga beliin Vania hape mahal itu, dia pasti ga akan begadang semalaman, ga akan telat bangun pagi, ga akan ketinggalan bus, ga akan buru-buru nyebrang jalan, dan…..” Rengek sang mama. Tangisnya pecah di atas kursi rung tunggu itu
“Kenapa Mama nyalahin Papa? Kalo di rumah itu kan urusan Mama. Papa kerja!”
“Papa hanya taunya kerja. Anak gimana-gimana, Papa ga tau apa-apa!”
Ruang tunggu yang semula tenang tanpa suara ini perlahan berubah bak arena adu pantun. Berbalas kata dengan sengit. Pak Sukri yang turut menunggui Vania sejak awal kejadian duduk di bangku panjang tidak jauh dari mereka hanya diam. Sibuk dengan fikirannya pula.
“Maunya Mama gimana? Papa harus berhenti kerja? Ikut jaga rumah bantu-bantu Mama? Lalu nanti kita makan apa?” Jawab sang papa.
Merasa dicerahkan, Mama Vania hanya diam kali ini. Benar juga, jika Papa tidak kerja, lalu nanti dapat uang belanja dari mana. Mama tidak ingin kelaparan.
“Ma..? Pa..?” Terdengar suara Vania lirih dari balik masker infusnya. Kedua orang tuanya itu segera berlari kesana.
“Vania..?” Respon Mamanya segera sembari memeluknya penuh kehati-hatian.
“Mama.. Papa…” Ucap gadis itu dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Seiring dengan itu seorang perawat masuk lengkap dengan atribut dan perlengkapannya.
“Maaf, Bu…” Ucapnya sembari mencatat segala data yang tertera di layar monitor Vania. “Bapak sama Ibu silakan nunggu dulu di luar. Keadaan Vania masih belum stabil.” Sambungnya kemudian.
“Tapi tadi Vania memanggil kami..” Ucap sang mama ingin bertahan.
“Itu hanya reaksi bawah sadar…” Jelas sang perawat.
“Bagaimana keadaan Neng Vani, Pak?” tanya Pak Sukri tatkala sepasang suami istri itu kembali hadir diruang tunggu.
“Belum…” Jawab Papa Vania lusuh.
“Semoga Neng Vani kembali baik, ya Pak, Bu. Bapak dan Ibu jangan saling menyalahkan lagi. Kasihan Neng Vani. Dia sedang butuh doa-doa kita sekarang. Ucap Pak Sukri bijaksana.
“Terima kasih, Pak Sukri.” Ucap keduanya bersamaaan.
“Jangan pula menyalahkan hape penyebab semua ini. Hape sama seperti senjata. Bisa kita gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, bisa juga untuk perang. Untuk saling membunuh.” Jelas Pak Sukri. “Artinya, jangan menyalahkan teknologi yang membuat anak kita berubah jadi jahat, pemalas, ketinggalan pelajaran, tapi gunakan teknologi itu untuk membuatnya jadi lebih baik. Banyak pelajaran yang bisa didapatkan disana. Karena tidak semua pelajaran itu diajarkan disekolah. Tinggal bagaimana tugas kita mengelola informasi itu; buang yang buruk, ambil yang baik,” sambungnya kemudian.
Suasana hanya diam. “Jangan jadi seperti saya, Pak. Saya, yang telah menyia-nyiakan keluarga, sekarang hidup saya pun sia-sia.” Lanjut Pak Sukri kemudian lebih pribadi.
Papa Vania mendekap Pak Sukri penuh syukur, lalu mencium tangan keriput orang tua itu. sedangkan Mama Vania pun begitu pula di samping suaminya.
“Pak, Bu, Vania ingin ketemu…” Ucap sang perawat yang muncul tiba-tiba. (*)
Tentang Penulis
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Analisis Sosiologi Sastra Cerpen “Butterfly Effect” Karya Afrizal Jasmann
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Sosiologi sastra menurut Sapardi Djoko Damono dalam buku Sosiologi Sastra (2020) adalah pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda dari sosio-sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini meliputi berbagai macam pendekatan yang didasarkan pada pandangan teoritis tertentu.
Sementara itu menurut Warren dan Wellek, kritikus sastra dari Amerika menjelaskan bahwa sosiologi sastra dapat diklasifikasikan masalah-masalahnya ke dalam tiga hal (dalam buku Sosiologi Sastra, 2020). Pertama, sosiologi pengarang yang mempersoalkan status sosial, ideologi sosial, dan hal lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; sehingga yang menjadi pokok penelaahan adalah hal yang tersirat dan tujuannya dalam karya sastra. Ketiga, sosiologi sastra memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Cerpen “Butterfly Effect” karya Afrizal Jasmann yang diterbitkan Kreatika minggu ini memiliki tema tentang pengaruh teknologi dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana tindakan kecil dapat menyebabkan konsekuensi besar. Tema ini tercermin dalam kisah Vania, seorang remaja yang sangat antusias dengan hadiah ponsel barunya, yang akhirnya menyebabkan serangkaian kejadian tak terduga dan tragis.
Alur cerita “Butterfly Effect” bersifat linear dan berjalan maju dengan tempo yang relatif cepat. Dimulai dari perayaan ulang tahun Vania, penggunaan ponsel baru yang berlebihan, hingga kecelakaan yang dialaminya. Alur cerita ini menggambarkan bagaimana tindakan kecil seperti begadang untuk menggunakan ponsel dapat memicu kejadian besar seperti kecelakaan.
Tokoh utama cerpen ini adalah Vania, digambarkan sebagai remaja yang bersemangat dan sedikit ceroboh. Kecintaannya pada ponsel baru menunjukkan ketergantungan pada teknologi. Selain itu dalam cerpen ini juga hadir tokoh-tokoh seperti Mama dan Papa Vania, orang tua yang digambarkan terpecah dalam peran mereka sebagai orang tua, dengan fokus berbeda terhadap pekerjaan dan keluarga. Cerpen ini juga menghadirkan Pak Sukri, tukang ojek yang berperan sebagai sosok bijak dalam cerita, memberikan nasihat tentang pentingnya mengelola teknologi dan informasi dengan bijaksana.
Latar waktu dalam cerpen mengambil latar waktu di pagi hari setelah perayaan ulang tahun Vania. Latar tempat, cerita berlatar di rumah Vania, jalan menuju sekolah, dan rumah sakit, yang semuanya memberikan gambaran tentang kehidupan sehari-hari Vania dan keluarganya.
Sementara itu pesan moral yang dapat diambil dari cerpen ini adalah bahwa teknologi harus digunakan dengan bijak. Kesalahan kecil dalam penggunaan teknologi, seperti tidak mengatur alarm atau lupa menyimpan nomor telepon penting, dapat menyebabkan dampak besar. Selain itu, pentingnya komunikasi dalam keluarga dan peran orang tua dalam membimbing anak-anak juga menjadi sorotan.
Dari sisi sosiologi sastra, cerpen “Butterfly Effect” karya Afrizal Jasmann menyajikan berbagai aspek yang relevan untuk dianalisis seperti Pertama, pengaruh teknologi dalam kehidupan sosial. Cerpen ini menggambarkan bagaimana teknologi, khususnya ponsel pintar, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, terutama di kalangan remaja. Vania yang sangat antusias dengan ponsel barunya adalah cerminan dari fenomena yang umum di masyarakat modern, di mana teknologi sering kali menjadi pusat perhatian, terutama bagi generasi muda. Ketergantungan pada teknologi ini dapat mengganggu keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata, seperti yang terlihat ketika Vania lebih memilih mengeksplorasi ponselnya hingga larut malam daripada menjaga rutinitas tidur yang sehat.
Kedua, dinamika keluarga. Cerpen ini juga menyoroti dinamika keluarga dalam konteks sosial. Ada ketegangan antara peran orang tua yang berbeda, dengan Mama yang lebih berfokus pada rumah tangga dan Papa yang sibuk dengan pekerjaan. Hal ini mencerminkan realitas banyak keluarga modern, di mana kesibukan orang tua bisa mengurangi waktu dan perhatian yang diberikan kepada anak-anak, menyebabkan komunikasi yang kurang efektif dan potensi miskomunikasi yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan anak.
Ketiga, tanggung jawab sosial dan pendidikan. Pak Sukri, sebagai tokoh bijak, menyampaikan pesan penting tentang tanggung jawab sosial dalam mendidik generasi muda tentang penggunaan teknologi. Hal ini menggarisbawahi pentingnya peran orang tua dan masyarakat dalam membimbing anak-anak agar menggunakan teknologi secara positif dan produktif. Ini juga mengacu pada tanggung jawab pendidikan yang tidak hanya menjadi tugas sekolah, tetapi juga lingkungan keluarga dan masyarakat.
Keempat, tekanan sosial dan pengaruh lingkungan. Vania merasa perlu untuk segera bergabung dengan teman-temannya dalam perjalanan ke Desa Waduk, yang menunjukkan adanya tekanan sosial untuk tidak ketinggalan momen bersama. Ini mencerminkan bagaimana remaja sering kali dipengaruhi oleh keinginan untuk tetap relevan di antara teman sebaya, yang bisa mendorong mereka untuk mengambil keputusan impulsif. Hal ini dapat menimbulkan risiko ketika keputusan tersebut tidak dipertimbangkan dengan matang, seperti yang terjadi pada Vania.
Kelima, kesadaran dan kepedulian sosial. Cerpen ini juga menyentuh pada tema kesadaran dan kepedulian sosial melalui interaksi antara tokoh-tokohnya, terutama dalam konteks kecelakaan Vania. Sikap orang tua Vania yang saling menyalahkan mencerminkan kurangnya kesadaran akan dampak dari tindakan mereka terhadap anak, sementara Pak Sukri hadir sebagai suara kebijaksanaan yang mengingatkan mereka akan pentingnya doa dan dukungan moral, bukan menyalahkan satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi krisis, solidaritas dan empati antar anggota masyarakat sangat penting.
Dengan demikian, cerpen ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita sederhana tentang kejadian sehari-hari, tetapi juga sebagai cerminan dari isu-isu sosial yang relevan dalam masyarakat kontemporer. Selain mengungkat pesan-pesan sosial dalam cerpen ini, cerpen “Butterfly Effect” karya Afrizal Jasmann memliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cerpen ini adalah tema yang relevan dengan kehidupan sosial saat ini. Cerpen ini mengangkat tema yang sangat relevan dengan kehidupan modern, yaitu pengaruh teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadikannya mudah dipahami dan dihubungkan dengan pengalaman nyata banyak pembaca, khususnya di kalangan remaja.
Kelebihan yang kedua adalah karakterisasi yang hidup. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini digambarkan dengan baik, terutama Vania dan konflik internal yang dialaminya sebagai remaja. Pembaca dapat merasakan ketegangan dan emosi yang dirasakannya, yang membuat ceritanya lebih menarik dan manusiawi.
Selain itu cerpen ini juga memiliki pesan moral yang kuat dan mampu menyampaikan pesan dengan sederhana. Cerpen ini berhasil menyampaikan pesan moral tentang penggunaan teknologi secara bijak, pentingnya komunikasi dalam keluarga, dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anak. Ini adalah aspek yang dapat memberikan nilai tambah bagi pembaca. Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini sederhana, membuatnya mudah dipahami oleh berbagai kalangan pembaca. Dialog yang digunakan juga efektif dalam menggambarkan hubungan antartokoh dan menyampaikan konflik cerita.
Sementara itu pembaca bisa menangkap beberapa kelemahan cerpen ini adalah pengembangan karakter yang terbatas. Meskipun tokoh-tokoh utama seperti Vania dan orang tuanya memiliki karakterisasi yang jelas, beberapa tokoh lainnya seperti Cindy dan Pak Sukri kurang dikembangkan lebih dalam. Pak Sukri, meski memiliki peran penting, bisa mendapatkan lebih banyak latar belakang untuk membuat karakternya lebih kaya dan signifikan.
Selain itu cerpen ini juga diselesaikan dengan terburu-buru. Bagian akhir cerpen ini terasa agak terburu-buru, terutama dalam penyelesaian konflik. Misalnya, peralihan dari konflik antara orang tua Vania ke momen refleksi mereka bisa lebih diperluas untuk memberikan kedalaman emosional yang lebih kuat.
Kelemahan lain adalah stereotip tentang teknologi. Cerpen ini sedikit cenderung pada stereotip bahwa teknologi adalah penyebab utama masalah, tanpa menunjukkan sisi positifnya secara seimbang. Hal ini bisa membuat cerpen terkesan agak terlalu didaktis atau satu dimensi dalam penggambaran teknologi.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan, “Butterfly Effect” tetap merupakan cerpen yang efektif dalam menyampaikan pesan sosial yang relevan. Dengan tema yang dekat dengan kehidupan modern, karakter yang hidup, dan pesan moral yang kuat, cerpen ini berhasil mengajak pembaca untuk merenungkan dampak dari tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks penggunaan teknologi. Namun, dengan pengembangan lebih lanjut dalam hal karakterisasi, penyelesaian konflik, dan deskripsi latar, cerpen ini bisa menjadi karya yang lebih kuat dan mendalam. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post