Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Kisah Bu Guru Oishi beserta murid-muridnya tidaklah sehangat dan seceria yang terlihat, baik di sampul novel (yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia) maupun poster filmnya (yang dirilis pada tahun 1954). Perang melatarbelakangi kehangatan dan kepedulian yang intim antara Bu Oishi dengan murid-muridnya. Kehidupan anak-anak di pesisir terpencil sebelum, selama, dan setelah Perang Dunia Kedua mempertemukan mereka dengan masa-masa yang selalu sulit.
Twenty-Four Eyes adalah sinema Jepang klasik yang disutradarai oleh Keisuke Kinoshita dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Sakae Tsuboi. Pada tahun 2024 ini, Twenty-Four Eyes mendapat kesempatan tayang terbatas hingga 19 Juni di Japanese Film Festival Online 2024. Pemeran Bu Guru Oishi diperankan oleh sang legenda Hideko Takamine. Drama ini menggunakan perangkat favorit drama populer di masanya. Penonton disuguhkan orang-orang muda yang menua dan mereka yang tumbuh dewasa tepat di layar kaca.
Film yang memenangkan Golden Globe untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 1955 ini berlatar di laut pedalaman Shodoshima. Oishi adalah guru baru di sebuah sekolah desa pesisir yang terisolir. Ia membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan menuju sekolah tersebut dari rumahnya. Oleh sebab itulah ia mengendarai sepeda sebagai transportasi.
Tampilan yang modern pada Bu Guru Oishi justru mendapat tatapan dan omongan yang buruk dari warga setempat. Tidak jarang ia dibicarakan oleh para orang tua murid-muridnya dengan tatapan dan nada yang sinis bagaimanapun Bu Oishi menyapa mereka dengan ramah. Terlebih ia tidak memakai kimono selayaknya guru biasa. Ia memakai rok dan jas yang bagi warga pesisir tampak “bergaya seperti Barat”. Padahal Bu Oishi memakai pakaian tersebut untuk memudahkannya mengendarai sepeda setiap hari. Memakai kimono akan menyulitkannya untuk mengayuh sepeda yang menghabiskan waktu hingga satu jam itu.
Suatu kecelakaan tak teduga yang dialami Bu Oishi mengubah hubungan yang canggung antara ia dan para orang tua murid. Di mata siswa kelas satunya, Bu Oishi adalah guru yang menyenangkan dan sangat perhatian. Mereka pun nekat menjenguk Bu Oishi dan menempuh perjalanan yang amat jauh bagi anak-anak sebelia itu. Di rumah Bu Oishi, mereka mendapat sambutan hangat. Kehangatan yang sama dirasakan oleh Bu Oishi keesokan harinya ketika ia menerima beragam kiriman ikan kering dan berbagai penganan dari para orang tua muridnya.
Ketika menyaksikan Twenty-Four Eyes, penonton akan mendapati sejumlah lagu yang tidak sedikit. Sejumlah lagu ini memiliki peran yang istimewa dalam cerita. Misalnya lagu yang awalnya ceria seiring berjalannya waktu berubah menjadi lagu klasik yang lebih sedih. Ini membantu sisi visual tentang kehilangan dalam pertempuran yang kurang ditampakkan di layar.
Bu Oishi adalah pihak yang menaruh ketidaksetujuan dengan perang. Pandangannya yang lain soal peperangan membuat ia mendapat cap sebagai komunis oleh rekan-rekan dan kepala sekolahnya. Bahkan ia dan anak lelaki tertuanya memiliki perbedaan pandangan soal perang. Bagi Bu Oishi, perang hanya memisahkan ia dengan orang-orang tersayang, seperti suami dan para murid laki-lakinya.
Di sekolah, murid laki-laki bercita-cita untuk segera bergabung dengan militer. Bagi mereka adalah sangat terhormat bila ikut membela negara dalam masa perang yang panjang, terlepas dari bagaimana mereka akan berakhir (mati atau selamat dengan cacat). Bagi murid perempuan, memiliki pekerjaan tetap dan memiliki kedudukan yang sama setaranya dengan laki-laki adalah hal yang dicita-citakan. Sejak kecil, anak perempuan dihadapkan pada stigma bahwa kelahiran anak laki-laki lebih penting dibanding anak perempuan. Sebab, anak laki-laki dianggap paling dibutuhkan dan bisa diberdayakan untuk menunjang perekonomian keluarga sebagai seorang nelayan. Ibu mereka akan merasa bersalah bila melahirkan anak perempuan.
Seorang murid perempuan Bu Oishi menjadi korban tuberkulosis, seorang murid perempuan lainnya terpaksa dijual oleh keluarga untuk menjadi budak di daratan, seorang lainnya harus meninggalkan pesisir satu keluarga karena kemiskinan yang menjerat mereka. Namun, anak laki-laki pada masa yang sulit itu rupanya tidak bernasib lebih baik. Mereka memiliki semangat yang menggebu untuk pergi berperang. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari mereka yang kembali hidup-hidup. Salah seorang murid Bu Oishi kembali dengan penglihatan yang selamanya akan kelam.
Twenty-Four Eyes adalah film yang bagus, tetapi membaca novelnya juga lebih menarik meskipun itu terjemahan dalam bahasa Indonesia. Terjemahannya menurut saya sangat baik. Narasi-narasi lucu yang menghibur tidak jarang dituturkan oleh narator hingga membuat saya tergelak ketika membacanya. Di waktu bersamaan, narasi narator juga terasa pilu dalam menceritakan murid-muridnya hingga membuat mata berkaca-kaca hingga meneteskan air mata.
Discussion about this post