Oleh: Shilva Lioni
(Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Andalas)
Berbicara tentang fenomena penggunaan bahasa tidak akan ada habisnya. Dalam sudut pandang ilmu bahasa, bahasa dipercayai mampu mewakilkan banyak hal, baik melalui pemilihan kata dan penggunaannya maupun melalui intonasi dan susunan kalimat yang dirancang. Dalam salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang bahasa dan masyarakat penutur, yakni sosiolinguistik, bahasa diyakini dapat merepresentasikan identitas pengguna bahasa, baik meliputi usia, gender, etnik, dan bahkan menyentuh karakter.
Identitas dan latar belakang penutur dipercayai tidak terlepas dari ungkapan bentuk ekspresi bahasa yang dirancang, digunakan, dan dihasilkannya di mana seringkali berbagai kondisi yang dimiliki penutur diduga hadir dan melatarbelakangi sebuah bentuk bahasa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh David Evans dalam bukunya yang berjudul Language, Identity, and Symbolic Culture (2018) bahwa“Language is integral to the construction of personal, socio-cultural and socio-political identities.”
Terkait dengan bahasa dan identitas, salah satu fenomena terkait bahasa dan identitas yang cukup sering kita dengar dewasa ini. Hal itu menarik untuk dibahas. Fenomena tersebut adalah kasus playing victim dan keterkaitannya dengan sifat karakter manipulatif dalam diri seseorang. Berbicara tentang playing victim jika dimunculkan dalam sebuah pertanyaan terkait dengan makna, kata atau konsep apakah yang pertama kali muncul dalam benak kita ketika kata tersebut didengar? Jawabannya tentu konsep-konsep, seperti sandiwara, kambing hitam, korban, akting, rekayasa, dan beberapa hal yang secara umum akan dimunculkan.
Istilah playing victim merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang seringkali dipinjam oleh masyarakat kita dalam rangka menggambarkan seseorang yang seolah bertindak sebagai pihak korban atau teraniaya dalam situasi dan kondisi tertentu padahal justru sebaliknya. Playing victim seringkali dipakai dalam situasi dan kondisi saat dua pihak terlibat konflik atau pertengkaran. Pihak tertentu merasa tidak bersalah dan tidak ingin disalahkan atas kelalaian atau kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga ia memutarbalikkan fakta seolah menjadi korban atau pihak teraniaya. Playing victim pada dasarnya seringkali digunakan dan dimanfaatkan seseorang untuk menarik rasa empati dan iba dari orang di sekitarnya. Tidak hanya itu, tidak sedikit penggunaan playing victim dimanfaatkan demi menjaga citra, reputasi, dan wajah pihak tertentu di mata lingkungan sekitarnya agar tidak rusak.
Berdasarkan penggunaannya, kehadiran kata playing victim pada dasarnya lebih kompleks dan bahkan menjangkau karakter seorang individu jika kita cermati lebih dalam. Sebagaimana kita ketahui, ketika playing victim dimanfaatkan dan dimainkan oleh seorang individu dalam situasi dan kondisi tertentu, tentu secara bersamaan akan ada permainan otak dan permainan bahasa yang kemudian dikreasikan demi menciptakan sebuah skenario yang bertolak belakang dengan fakta. Kehadirannya dirancang sedemikian rupa oleh penutur agar orang yang mendengarkan ataupun lingkungan dengan mudah memercayai apa yang disampaikan oleh penutur. Pendengar meyakini sesuatu yang terjadi sesuai dengan yang disampaikan oleh penutur. Hal ini tentu sangat erat sekali kaitannya dengan identitas karakter manipulatif yang dimiliki dalam diri penutur.
Manipulatif merupakan sebuah karakter bersifat negatif yang dapat diartikan sebagai aksi menolak dengan memutarbalikkan kebenaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulatif merupakan upaya kelompok atau perseorangan untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwasanya ketika playing victim dimainkan dan dibuat oleh seseorang melalui permainan bahasa dan tuturan yang diolah dan dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk menipu atau memengaruhi orang sekitarnya, secara tidak langsung ekspresi bahasa yang dirancang termasuk skenario yang dihasilkan akan secara langsung merepresentasikan karakter negatif yang dimiliki dalam dirinya yakni sifat manipulatif.
Lahirnya berbagai skenario, ungkapan bahasa, dan kata tentu tidak dapat dipungkiri dan tidak terlepas dari karakter dalam diri individu sebagai penutur bahasa. Sebagai ilustrasi, seperti halnya minuman teh yang mengeluarkan rasa manis dari kandungan gula, begitu juga halnya dengan bahasa dalam bentuk fisiknya. Perkataan akan selalu mewakili hati, sifat, dan pikiran yang terkandung dalam diri para penutur.
Lebih lanjut, playing victim dan sifat manipulatif pada dasarnya ibarat pedang bermata dua. Semakin mampu dan mahir seseorang individu melakukan playing victim dan tidak bijak dalam bermain dan menggunakan bahasa maka sesungguhnya akan semakin bertumbuh dan membesar pula sifat manipulatif dalam dirinya. Oleh sebab itu, selagi kita mampu menghindari playing victim tersebut, lebih baik dielakkan. Jangan sampai karena terbiasa melakukannya lantas menjadi besar dan mendarah daging pula karakter negatif tersebut dalam diri kita. Sesungguhnya semakin baik karakter seorang individu akan semakin baik dan bijak pula ia dalam menggunakan dan memanfaatkan bahasa. Salam identitas.
Discussion about this post