Oleh: Fadli Hafizulhaq
(Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas dan Ketua FLP Sumbar)
Sepulang belanja dari pasar, saya suka memperhatikan istri mengeluarkan dan menyimpan barang belanjaan. Proses “migrasi” itu umumnya meninggalkan sejumlah kantong plastik. Biasanya, kami menyimpan kantong plastik tersebut, terutama yang masih kering. Tujuannya agar nanti bisa dipakai lagi. Namun, tidak seperti aliran kas bulanan, jumlah kantong plastik yang masuk selalu lebih banyak dari yang keluar.
Kantong plastik agaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak, harganya murah, barangnya multiguna. Tidak hanya untuk wadah belanjaan, kadang kantong plastik juga dipakai sebagai sarung tangan darurat, penutup sepatu darurat bagi pemotor ketika berkendara di bawah hujan, hingga barang wajib teman perjalanan bagi yang mabuk darat.
Lumrahnya penggunaan kantong plastik berujung pada membludaknya sampah plastik di lingkungan kita. Dikutip dari laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK), jumlah timbulan sampah Indonesia mencapai 31 juta ton per tahun dengan 18,3% di antaranya adalah sampah plastik.
Sebagaimana yang sudah umum kita ketahui, sampah plastik menjadi masalah besar karena sulit terurai di alam. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurai plastik oleh alam mencapai puluhan hingga ratusan tahun. Fakta ini menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa plastik terus diciptakan padahal membawa masalah? Satu hal yang mungkin tidak banyak orang ketahui adalah plastik dulu diciptakan justru sebagai solusi dari sebuah masalah.
Dikutip dari laman United Nations Environment Programme (UNEP), penggunaan plastik berjenis polietilen (PE)—material paling umum dalam pembuatan kantong plastik—mulai dilakukan pada periode Perang Dunia II atau sekitar tahun 1933. Di awal kemunculannya, kantong plastik dikenalkan sebagai pengganti kantong atau tas kertas. Nilai jualnya adalah lebih kuat dari kertas (tepatnya lebih tangguh atau ulet), lebih mudah digunakan karena pegangannya lebih nyaman di tangan, multiguna, hingga tahan terhadap kelembaban.
Tahun demi tahun berlalu dan popularitas kantong plastik semakin melaju. Pada 2011 lalu, estimasi jumlah kantong plastik yang digunakan secara global mencapai 1 juta per menitnya. Hari ini besar kemungkinan lebih dari itu. Kantong plastik yang dulunya hadir sebagai solusi akhirnya menjelma menjadi masalah. Semua orang kini uring-uringan mencari solusi terbaik dari persoalan itu. Hingga muncullah kebijakan berupa larangan pembuatan atau manufaktur dari kantong plastik dan pelarangan distribusinya di beberapa negara di dunia.
Di Indonesia sendiri, pengelolaan sampah diatur melalui Undang-undang No. 18 tahun 2008. Namun sayangnya, tidak ada larangan tegas mengenai penggunaan kantong plastik. Adapun peraturan yang menyatakan hal tersebut adalah PermenLHK No. 75 Tahun 2019. Hanya saja, pelarangannya baru berlaku mulai 1 Januari 2030. Sementara itu, Indonesia sudah terlanjur dikenal sebagai penghasil sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia (Jambeck, dkk., 2015). Dengan kata lain, penanganan sampah plastik di Indonesia tidak elok jika ditunda-tunda.
Lebih lanjut, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani sampah kantong plastik. Pertama, masyarakat perlu betul-betul meninggalkan kantong plastik tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membawa kantong belanja ketika ingin ke pasar atau tempat belanja lainnya. Kedua, penggunaan kembali kantong plastik dari belanja sebelumnya. Beberapa kantong plastik cukup tebal dan layak untuk dipakai ulang (re-use). Ketiga, penggantian kantong plastik sintetis saat ini dengan plastik yang ramah terhadap lingkungan. Berbagai bahan alam telah dikembangkan untuk menghadirkan plastik ramah lingkungan, hanya saja saat ini harganya masih relatif lebih mahal.
Berkenaan dengan uraian di atas, campur tangan pemerintah dalam penanganan masalah kantong plastik juga sangat diperlukan. Penyegeraan pelarangan penggunaan kantong plastik agaknya memang belum bisa diambil sebab berpotensi mendapatkan penolakan dari masyarakat. Namun masih ada opsi lain seperti pembatasan penggunaan dan juga pembatasan produksi kantong plastik. Beberapa daerah telah menerapkan pembatasan penggunaan kantong plastik, hasil penerapannya bisa menjadi bahan kajian untuk pembatasan skala nasional di kemudian hari.
Namun, sebelum pembatasan atau bahkan pelarangan penggunaan benar-benar diterapkan, ada baiknya hal-hal tersebut dimulai oleh kita yaitu masyarakat secara personal. Agaknya yang paling sulit dalam penanganannya bukanlah membuat peraturan pelarangannya, melainkan mengubah budaya masyarakat yang belum bijak dalam menggunakannya.[]
Discussion about this post