Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Bagi kaum Milenial, mungkin sulit untuk mengetahui siapa sosok Huriah Adam. Huriah Adam bukanlah sosok baru yang semestinya sudah terkenal di kalangan seni tari. Huriah Adam adalah seorang penari yang kerap muncul di Panggung Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tidak hanya sebagai seorang yang ahli dalam bidang tari, Huriah juga dikenal sebagai seorang pemusik, pelukis, dan pemahat. Salah satu contoh pahatannya yang terkenal adalah Patung Pembebasan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Huriah sempat bersekolah di Yogyakarta dan selepas bersekolah, ia kembali ke Padang Panjang dan menikah dengan Ramudhin, seorang pemain biola. Setelahnya, ia membentuk grup kesenian di URRIL Kodam III Sumatera Barat. Pada masa PRRI, Huriah sering dikirim ke berbagai kawasan untuk melakukan pertunjukkan. Salah satu pertunjukkan yang ia ikuti adalah menjadi pemimpin tari untuk memeriahkan Ganefo di Jakarta pada tahun 1963.
Huriah seterusnya menetap di Jakarta dan mendirikan bengkel tari di Taman Ismail Marzuki serta menyambi menjadi pengajar tari di Akademi Teater Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Huriah menghasilkan beberapa karya populer. Karya yang cukup terkenal yaitu seni drama Tari Malikundang dalam 3 babak, dipentaskan di Jakarta (1969) dan Padang Panjang (1971). Di samping itu, beliau juga mengkreasikan tari-tari pendek, seperti Tari Payung, Tari Pedang, Tari Rebana dan Tari Sepasang Api Jatuh Cinta.
Huriah banyak melakukan eksplorasi terkait dengan kekayaan tari daerah Minangkabau yang berlandaskan dengan gerak-gerik silat. Berdasarkan hasil wawancaranya untuk harian Kompas pada tahun 1971, Huriah mengungkapkan bahwa tari daerah Minangkabau memiliki motif yang berbeda dengan tari dari Bali dan Jawa. Huriah mengatakan bahwa sebagai tarian di Bali dan Jawa memiliki bentuk yang seragam, motif yang religius dan itu tidak tampak pada tari di Minangkabau.
Daerah Minangkabau dalam kesejarahan sebagai negara yang tidak dapat menerima akulturasi budaya luar, seperti Budha dan Hindu, tidak seperti Jawa. Bahkan, kebudayaan Islam dapat menembus Minangkabau (Padang Barat) lebih akhir dari Jawa. Islam berkembang lebih dahulu di Padang Pesisir kemudian berkembang ke pedalaman Minangkabau.
Tari di Minangkabau merupakan tarian yang berasal dari pengamatan terhadap alam. Apabila tari di Jawa dan Bali memiliki motif religius seperti yang dijelaskan sebelumnya, tari di Minangkabau menjadi dekat dengan alam sekelilingnya. Pengamatan terhadap alam melahirkan tarian yang berisi kekaguman pada alam, pemujaan, atau impresi terhadap alam sekelilingnya. Unsur-unsur yang dominan adalah kekayaan dan keindahan alam. Hal ini dapat dilihat bemacam-macam tarian di Minangkabau, seperti Alang Bentan, Adau-Adau, Barabah, Sidjundai, Sibandinding, Pado-Pado yang pada umumnya mengambil figur dan gerakan burung. Selain itu, adanya manifestasi perasaan, seperti Alang Bentan, Adau-Adau, dan Barabah yang merupakan sejenis burung.
Lalu, adanya Tari Si Ganjua Lalai yang mempertunjukkan kehati-hatian. Lebih tepatnya, tarian tersebut gambaran tentang perempuan Minangkabau yang selain memiliki kekuatan juga memiliki kelembutan. Si Ganjua Lalai adalah ungkapan untuk gadis Minangkabau yang menggambarkan pribadi perempuan Minangkabau yang lembut namun tegas, bijaksana, dan bertindak di atas kebenaran.
Tiap daerah di Minangkabau memiliki variasi tari yang berbeda. Keadaan demikian tidak dijumpai pada tari di Jawa, seperti Tari Gambiraanom. Berbeda dengan tari di Minangkabau, adanya kebebasan pada setiap penari untuk memberikan kemungkinan yang lain. Hal yang dimaksud adalah adanya pengalaman yang bersumber dari rasa penulis sendiri ketika belajar menari dari perspektif yang berbeda-beda. Kebebasan penari berbentuk penghayatan sendiri secara intens terhadap tari. Setiap orang harus menjiwai kemungkinan variasi untuk mengembangkan ide-ide dan daya kreativitas yang diciptakan oleh seniman (penari) sendiri secara orisinalitas.
Dengan adanya beberapa faktor tersebut, tari di Minangkabau mengalami perkembangan yang labil. Terlebih, adanya dominasi adat pada masa lampau. Perkembangan seni agak terkekang. Contohnya, ketika perempuan menari, dahulu hal tersebut adalah tabu. Namun, kini keadaan telah banyak berubah dan kebebasan semakin merata.
Tari di Minangkabau umumnya dibawakan secara berpasangan. Hal ini sesuai dengan motifnya, yaitu burung-burung yang selalu hidup berpasangan. Tari piring agaknya yang terdapat banyak perbedaan. Tari piring mengandung nilai ritual. Tari ini melukiskan rasa syukur setelah panen. Berdasarkan sinopsisnya, nila-nilai tari itu sangat terasa. Dalam tarian tersebut, sepasang atau lebih saling berhadapan. Salah seorang dari pasangan akan memakai sendal emas, yakni kuku tiruan. Sendal itu berusaha untuk direbut tanpa diketahui oleh si penari yang mengenakannya. Apabila berhasil direbut atau hendak direbut, penari harus dalam keadaan menari pula. Irama tari piring semula mengikuti bunyi kelentingan dari cincin kulit kemiri yang dipakai oleh salah satu pasangan penari. Kemampuan menimbulkan pesona dengan irama tersebut bertujuan untuk menarik perhatian penonton. Berbeda halnya dengan tari Gelombang, yaitu tarian yang bersifat penghormatan, tari piring mengandung gerakan yang spontan, tetapi bergerak sesuai dengan irama tanpa ditentukan terlebih dahulu.
Kembali ke Huriah yang sudah mendedikasikan hidup pada dunia tari. Ia wafat di dalam pesawat Merpati yang hilang di Kepulauan Katang-Katang dalam penerbangan Jakarta-Padang. Atas jasa-jasanya pada bidang kesenian, ia pernah menerima penghargaan Anugerah Seni dari pada tahun 1977 dari Presiden Soeharto. Tidak hanya sampai di situ, ia pun mendapat Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden SBY pada tahun 2011.
Prestasi yang ditorehkan oleh Huriah menunjukkan bahwa ia merupakan sosok yang memiliki kontribusi besar bagi kesenian tari di Minangkabau. Adanya anggapan bahwa tabu bagi perempuan untuk menari. Sekarang, anggapan itu telah mencair. Perempuan telah mengikuti perkembangan zaman yang memberikan kebebasan untuk bergerak dalam balutan tarian, salah satunya adalah tarian di Minangkabau. Huriah merupakan salah satu “pahlawan” dalam bidang kebudayaan tari di Minangkabau yang harus diingat. Huriah membantu tarian di Minangkabau dapat dinikmati oleh banyak pasang mata. Tarian tersebut tidak hanya dinikmati di Sumatera Barat, tetapi juga di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita semua mengingat kontribusi Huriah dalam seni tari di Minangkabau. Namanya patut dikenal dan diingat sebagai “pahlawan seni tari”.
Discussion about this post