Cerpen: Fachri Hamzah
Malam itu terasa sangat mencekam. Perdebatan yang alot terus terjadi di tengah masyarakat. Ada yang sudah putus asa dan pasrah dengan nasib yang ditentukan semesta. Ada juga yang kecewa dan merasa Tuhan tak adil. Mungkin ada hikmah di balik semua ini. Kata-kata yang selalu membuat semua masalah selesai. Tak sedikit juga yang marah tak karuan. Itu telihat dari wajah mereka yang merah seperti kobaran api. Jam dinding terus berdetak dan sudah menunjukan pukul 12:00 WIB, tetapi masalah itu tak kunjung ada titik temunya. Salah seorang anggota masyarakat berpendapat agar meminta ganti rugi.
“Bagaimana kalau kita minta ganti rugi aja,” ujarnya.
“Setuju,” jawab sebagian anggota masyarakat. Tiba-tiba datang seorang pria dengan tubuh kekar memukul meja dengan wajah merah dan berkata.
“Tidak bisa seperti itu. Semua penyelesaian tidak harus dengan uang,” katanya sambil menghisab sebatang rokok tradisional yang berbalut dengan daun tipah, yaitu sejenis tumbuhan lokal.
“Kalian tidak ingat semenjak tahun 2000, kita sudah menderita. Dahulu tanah warisan nenek moyang direbutnya secara paksa. Sekarang rumah kita. Anakku sudah mati karena penyakit asma akibat polusi dari perusahaan itu dan tidak hanya anakku, anak kau juga,” tegasnya.
Semua masyarakat seketika hening mendengar ucapan pria paruh baya itu dan diperkirakan umurnya sudah menginjak kepala lima. Tak seorang pun bisa berkata-kata. Ruangan itu terasa seperti tak berpenghuni dari sudut terlihat seorang ibu menangis terisak-risak. Pria yang biasa dipanggil Pak Ahmad melanjutkan. ”Sekarang keputusan di tangan kalian.” Setelah berucap kesia-siaan itu, ia beranjak menuju pintu dan menghilang.
Masyarakat tetap dengan keheningannya, tak ada seorang pun yang dapat mengeluarkan pendapatnya. Keheningan buyar seketika saat suara pecahan kaca menghampiri balai desa. Hujan batu memporakporandakan isi balai desa. Masyarakat dengan penuh ketakutan beranjak menyelamatkan diri masing-masing dan sudah berselang 30 menit batu tetap menghujani balai desa. Entah sampai kapan mungkin sampai semua orang di sini mati.
***
Keesokan paginya suasana desa tersebut tambah mencekam dan balai desa yang awalnya berdiri gagah sudah porak-poranda. Karena kejadian malam pihak kepolisian berjaga di setiap sudut desa. Tidak hanya ada satu polisi, tetapi 20 personil. Pak Ahmad dari semalam tidak terlihat batang hidungnya setelah meninggalkan balai desa. Namun, tak ada yang mempedulikannya. Masyarakat sudah sibuk menyelamatkan diri sendiri. Jadi, tak sempat memikirkan orang lain. Sebentar lagi mereka akan diusir dari tanah leluhur. Perihal kertas selembar dan kalah di pesidangan semuanya harus beranjak dari desa yang telah mereka rawat tujuh keturunan. Masyarakat yang sudah berjuang selama tujuh tahun yang menyerah kepada keadaan. Semua cara telah mereka lalukan. Mulai pergi kepada pejabat daerah hingga pejabat pusat tak ada yang menggubrisnya, tetap saja mereka harus angkat kaki dari tanah moyangnya. Begitulah, cerita ibu yang anaknya hilang setelah pertumbuhan darah 1998 terjadi.
“Semuanya harta telah dijual untuk menyewa pengacara kondang yang katanya menang dalam segala sidangnya, tetapi tetap saja kalah. Malahan diputusan sidang mereka harus menganti rugi atas kerusakan barang-barang milik perusahaan. Sejak putusan sidang itu pria paruh baya yang mengamuk di balai desa semalam tak pecaya lagi dengan siapa pun. Ia selalu menegaskan bahwa yang bisa menyelamatkan tanah ini, tanah moyangku, moyang kalian adalah kalian sendiri. Tidak dari ibu kota, penguasa, ataupun para wakil-wakil rakyat,” lanjut ibu yang keriput wajahnya tak bisa dihitung lagi. Ia tersedak-sedak dengan napas yang sudah ngos-ngosan bercerita kepadaku.
Tak lama berselang ada yang berteriak dengan lantangnya. Ia sudah seperti orang gila yang berteriak. Merdeka hanya milik mereka yang punya uang. Semuanya hanya celotehan belaka. Sebentar lagi negeri yang kucintainya akan merayakan ulang tahunnya. Kita lihat siapa yang paling bersuara lantang. Pasti para pemimpin yang hidup di gedung mewah, lalu menangis simpati dengan kita. Simpati yang hanya saat di depan kamera dan media. Simpati yang hanya sebatas belasungkawa. Mereka adalah… Suara itu seketika terdengar sayup-sayup sebelum menghilang.
Semenjak mendengar suara orang yang dianggap gila itu, suaranya selalu saja terngiang dalam tidurku. Aku yang ditugaskan dari ibu kota untuk mereportase tentang konflik masyarakat yang tak kunjung selesai perkaranya. Hati ini terasa disayat dengan silet lalu disiram jeruk nipis menyaksikan perjuangan mereka. Ah, begitu menyakitkan. Semua yang diucapkannya terasa sangatlah nyata. Simpati selalu datang dari ibu kota untuk masyarakat adat pelosok negeri ini, tetapi orang-orang itu lupa bahwa bencana terbesar juga berasal dari ibu kota. Coba direfleksikan kembali, kayu ditembang untuk kemajuan kota. Batu bara ditambang untuk listrik kota. Aku merasa menjadi salah satu pendosa yang datang tiba-tiba, lalu mengajarkan mereka menjaga lingkungan.
Semuaya sia-sia saja jika para pendosa tak pernah merasa bersalah setelah membuat dosa. Maling menganggap punya orang lain itu haknya dan pembunuh dengan penuh rasa bahagia menebas leher orang lain dengan gergaji. Bagaimana mungkin semua konflik akan reda jika puncak masalahnya tak pernah sadar. Wajar jika lelaki setenggah baya itu marah dan kesal. Ia tak mau lagi menerima orang kota yang ingin berbicara dengannya. Orang kota yang membawa bualan-bualan kemenangan padanya.
Sebenarnya kulihat alam telah menjawab apa yang mereka suarakan. Genangan air bah yang menghanyutkan satu desa, longsor yang menguburkan empat desa, dan sesak napas yang membuat kita harus menjaga senyuman. Alam dengan senang hati menjawab semua yang ingin kita lihat. Bagiku alam sangatlah ramah. Alam tertawa dan senyuman selalu dilimpahkan kepada manusia sebagai penghuninya.
Tiba-tiba aku tersentak oleh suara dentuman. Apa itu? Cepat kubasuh muka dan mencari sumber yang bak suara bom nuklir meletus di Nagasaki. Apakah itu tembakan? Ah, mana mungkin tembakan, siapa pula yang berperang di negara yang damai ini? Mungkin ledakan trafo listrik atau bisa jadi kembang api. Sudahlah jangan tambah lagi beban pikiran ini. Nanti juga aku mengetahuinya. Beberapa saat ambulans tergesa-gesa melintas di depanku. Ambulans tak satu, tetapi ada tiga beriringan ke arah ledakan. Aku hampir menjadi salah satu penumpangnya.
Sesampai dilokasi suara ledakan itu, keadaan sudah sangat kacau. Orang-orang lari berhamburan. Tidak ada satupun yang bisa kutanyai tentang apa yang terjadi. Dari arah utara terlihat seorang ibu yang menangis tak henti sambal berkata, “Mati, mati, ada lagi yang mati, tak henti-henti mati.” Aku coba untuk menghampirinya, tapi ia tak mengacuhkan siapa pun.
Dari arah selatan, terlihat aparat berseragam lengkap dengan senjata laras panjang dengan posisi siaga, mata mereka seperti singa yang akan menerka mangsanya. Anjing pelacak menggonggong dengan keras seperti ada yang ingin ia kejar. Bau darah sangat pekat ditambah kepulan asap dari pabrik kertas itu. Aku mencoba menghampiri aparat tersebut, tetapi mereka malah menodongkan senjata. Pertanyaan terus kulontarkan dan hanya kata pergi yang kudapatkan. Namun, aku terus saja melemparkan pertanyaan. Setelah sekian lama aku bertanya kepada apparat, tak satu dari mereka yang mau menjawab. Mereka bisu sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Tak merasa puas begitu saja, aku dengan nyinyir terus mempertanyakan apa yang terjadi. Pada akhirnya, mereka merasa kesal. Seseorang bertubuh kekar menghampiriku, lalu secara spontan dia layangkan pukulannya yang begitu besar ke wajahku. Seketika kepalaku terasa sangat pusing.
***
Badanku masih terasa pegal dan terasa seperti dihantam beda tumpul. Sekelilingku terlihat alat-alat untuk menyehatkan orang sakit. Toh, siapa yang sakit dan kenapa aku sampai di sini? Beberapa saat ada seorang berbaju putih dengan masker mengahampiriku. Tanpa basa-basi langsung aku tanyakan ini di mana? Ia hanya tersenyum dan menyuruhku untuk tetap beristirahat, lalu pergi begitu saja. Mataku terasa mengantuk lagi. Obat apa yang diberikan oleh orang penuh senyum tadi. Ah, sialan.
Biodata Penulis:
Fachri Hamzah merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Imam Bonjol Padang
Discussion about this post