Senin, 12/5/25 | 12:14 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI CERPEN

Yang Terusir dari Tanah Leluhur

Minggu, 12/9/21 | 07:06 WIB


Cerpen: Fachri Hamzah

 Malam itu terasa sangat mencekam. Perdebatan yang alot terus terjadi di tengah masyarakat. Ada yang sudah putus asa dan pasrah dengan nasib yang ditentukan semesta. Ada juga yang kecewa dan merasa Tuhan tak adil. Mungkin ada hikmah di balik semua ini. Kata-kata yang selalu membuat semua masalah selesai. Tak sedikit juga  yang marah tak karuan. Itu telihat dari wajah mereka yang merah seperti kobaran api. Jam dinding terus berdetak dan sudah menunjukan pukul 12:00 WIB, tetapi masalah itu tak kunjung ada titik temunya. Salah seorang anggota masyarakat berpendapat agar meminta ganti rugi.

“Bagaimana kalau kita minta ganti rugi aja,” ujarnya.

“Setuju,” jawab sebagian anggota masyarakat. Tiba-tiba datang seorang pria dengan tubuh kekar memukul meja dengan wajah merah dan berkata.

BACAJUGA

Puisi-puisi Fachri Hamzah

Puisi-puisi Fachri Hamzah

Minggu, 01/8/21 | 10:15 WIB

“Tidak bisa seperti itu. Semua penyelesaian tidak harus dengan uang,” katanya sambil menghisab sebatang rokok tradisional yang berbalut dengan daun tipah, yaitu sejenis tumbuhan lokal.

“Kalian tidak ingat semenjak tahun 2000, kita sudah menderita. Dahulu tanah warisan nenek moyang direbutnya secara paksa. Sekarang rumah kita. Anakku sudah mati karena penyakit asma akibat polusi dari perusahaan itu dan tidak hanya anakku, anak kau juga,” tegasnya.

Semua masyarakat seketika hening mendengar ucapan pria paruh baya itu dan diperkirakan umurnya sudah menginjak kepala lima. Tak seorang pun bisa berkata-kata. Ruangan itu terasa seperti tak berpenghuni dari sudut terlihat seorang ibu menangis terisak-risak. Pria yang biasa dipanggil Pak Ahmad melanjutkan. ”Sekarang keputusan di tangan kalian.” Setelah berucap kesia-siaan itu, ia beranjak menuju pintu dan menghilang.

Masyarakat tetap dengan keheningannya, tak ada seorang pun yang dapat mengeluarkan pendapatnya. Keheningan buyar seketika saat suara pecahan kaca menghampiri balai desa. Hujan batu memporakporandakan isi balai desa. Masyarakat dengan penuh ketakutan beranjak menyelamatkan diri masing-masing dan sudah berselang 30 menit batu tetap menghujani balai desa. Entah sampai kapan mungkin sampai semua orang di sini mati.

***

Keesokan paginya suasana desa tersebut tambah mencekam dan balai desa yang awalnya berdiri gagah sudah porak-poranda. Karena kejadian malam pihak kepolisian berjaga di setiap sudut desa. Tidak hanya ada satu polisi, tetapi 20 personil. Pak Ahmad dari semalam tidak terlihat batang hidungnya setelah meninggalkan balai desa. Namun, tak ada yang mempedulikannya. Masyarakat sudah sibuk menyelamatkan diri sendiri. Jadi, tak sempat memikirkan orang lain. Sebentar lagi mereka akan diusir dari tanah leluhur. Perihal kertas selembar dan kalah di pesidangan semuanya harus beranjak dari desa yang telah mereka rawat tujuh keturunan.  Masyarakat yang sudah berjuang selama tujuh tahun yang menyerah kepada keadaan. Semua cara telah mereka lalukan. Mulai pergi kepada pejabat daerah hingga pejabat pusat tak ada yang menggubrisnya, tetap saja mereka harus angkat kaki dari tanah moyangnya. Begitulah, cerita ibu yang anaknya hilang setelah pertumbuhan darah 1998 terjadi.

“Semuanya harta telah dijual untuk menyewa pengacara kondang yang katanya menang dalam segala sidangnya, tetapi tetap saja kalah. Malahan diputusan sidang mereka harus menganti rugi atas kerusakan barang-barang milik perusahaan. Sejak putusan sidang itu pria paruh baya yang mengamuk di balai desa semalam tak pecaya lagi dengan siapa pun. Ia selalu menegaskan bahwa yang bisa menyelamatkan tanah ini, tanah moyangku, moyang kalian adalah kalian sendiri. Tidak dari ibu kota, penguasa, ataupun para wakil-wakil rakyat,” lanjut ibu yang keriput wajahnya tak bisa dihitung lagi. Ia tersedak-sedak dengan napas yang sudah ngos-ngosan bercerita kepadaku.

Tak lama berselang ada yang berteriak dengan lantangnya. Ia sudah seperti orang gila yang berteriak. Merdeka hanya milik mereka yang punya uang. Semuanya hanya celotehan belaka. Sebentar lagi negeri yang kucintainya akan merayakan ulang tahunnya. Kita lihat siapa yang paling bersuara lantang. Pasti para pemimpin yang hidup di gedung mewah, lalu menangis simpati dengan kita. Simpati yang hanya saat di depan kamera dan media. Simpati yang hanya sebatas belasungkawa. Mereka adalah… Suara itu seketika terdengar sayup-sayup sebelum menghilang.

Semenjak mendengar suara orang yang dianggap gila itu, suaranya selalu saja terngiang dalam tidurku. Aku yang ditugaskan dari ibu kota untuk mereportase tentang konflik masyarakat yang tak kunjung selesai perkaranya. Hati ini terasa disayat dengan silet lalu disiram jeruk nipis menyaksikan perjuangan mereka. Ah, begitu menyakitkan. Semua yang diucapkannya terasa sangatlah nyata. Simpati selalu datang dari ibu kota untuk masyarakat adat pelosok negeri ini, tetapi orang-orang itu lupa bahwa bencana terbesar juga berasal dari ibu kota. Coba direfleksikan kembali, kayu ditembang untuk kemajuan kota. Batu bara ditambang untuk listrik kota. Aku merasa menjadi salah satu pendosa yang datang tiba-tiba, lalu mengajarkan mereka menjaga lingkungan.

Semuaya sia-sia saja jika para pendosa tak pernah merasa bersalah setelah membuat dosa. Maling menganggap punya orang lain itu haknya dan pembunuh dengan penuh rasa bahagia menebas leher orang lain dengan gergaji.  Bagaimana mungkin semua konflik akan reda jika puncak masalahnya tak pernah sadar. Wajar jika lelaki setenggah baya itu marah dan kesal. Ia tak mau lagi menerima orang kota yang ingin berbicara dengannya. Orang kota yang membawa bualan-bualan kemenangan padanya.

Sebenarnya kulihat alam telah menjawab apa yang mereka suarakan. Genangan air bah yang menghanyutkan satu desa, longsor yang menguburkan empat desa, dan sesak napas yang membuat kita harus menjaga senyuman. Alam dengan senang hati menjawab semua yang ingin kita lihat. Bagiku alam sangatlah ramah. Alam tertawa dan senyuman selalu dilimpahkan kepada manusia sebagai penghuninya.

Tiba-tiba aku tersentak oleh suara dentuman. Apa itu? Cepat kubasuh muka dan mencari sumber yang bak suara bom nuklir meletus di Nagasaki. Apakah itu tembakan? Ah, mana mungkin tembakan, siapa pula yang berperang di negara yang damai ini? Mungkin ledakan trafo listrik atau bisa jadi kembang api. Sudahlah jangan tambah lagi beban pikiran ini. Nanti juga aku mengetahuinya. Beberapa saat ambulans tergesa-gesa melintas di depanku. Ambulans tak satu, tetapi ada tiga beriringan ke arah ledakan. Aku hampir menjadi salah satu penumpangnya.

Sesampai dilokasi suara ledakan itu, keadaan sudah sangat kacau. Orang-orang lari berhamburan. Tidak ada satupun yang bisa kutanyai tentang apa yang terjadi. Dari arah utara terlihat seorang ibu yang menangis tak henti sambal berkata, “Mati, mati, ada lagi yang mati, tak henti-henti mati.” Aku coba untuk menghampirinya, tapi ia tak mengacuhkan siapa pun.

Dari arah selatan, terlihat aparat berseragam lengkap dengan senjata laras panjang dengan posisi siaga, mata mereka seperti singa yang akan menerka mangsanya. Anjing pelacak menggonggong dengan keras seperti ada yang ingin ia kejar. Bau darah sangat pekat ditambah kepulan asap dari pabrik kertas itu. Aku mencoba menghampiri aparat tersebut, tetapi mereka malah menodongkan senjata. Pertanyaan terus kulontarkan dan hanya kata pergi yang kudapatkan. Namun, aku terus saja melemparkan pertanyaan. Setelah sekian lama aku bertanya kepada apparat, tak satu dari mereka yang mau menjawab. Mereka bisu sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Tak  merasa  puas begitu saja, aku dengan nyinyir terus mempertanyakan apa yang terjadi. Pada akhirnya, mereka merasa kesal. Seseorang bertubuh kekar menghampiriku, lalu secara spontan dia layangkan pukulannya yang begitu besar ke wajahku. Seketika kepalaku terasa sangat pusing.

***

Badanku masih terasa pegal dan terasa seperti dihantam beda tumpul. Sekelilingku terlihat alat-alat untuk menyehatkan orang sakit. Toh, siapa yang sakit dan kenapa aku sampai di sini? Beberapa saat ada seorang berbaju putih dengan masker mengahampiriku. Tanpa basa-basi langsung aku tanyakan ini di mana? Ia hanya tersenyum dan menyuruhku untuk tetap beristirahat, lalu pergi begitu saja. Mataku terasa mengantuk lagi. Obat apa yang diberikan oleh orang penuh senyum tadi. Ah, sialan.

 

Biodata Penulis:

Fachri Hamzah merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan  Masyarakat Islam UIN Imam Bonjol Padang

Tags: #Fachri Hamzah
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Kata-Kata yang “Membunuh”

Berita Sesudah

Puisi-puisi Mutiara Lembayung

Berita Terkait

Cerpen Lelaki Tampan yang Membawaku Pergi

Cerpen Lelaki Tampan yang Membawaku Pergi

Minggu, 20/10/24 | 16:56 WIB

Cerpen: Armini Arbain Senja turun dengan cepat dan azan magrib pun berkumandang dengan merdunya. Seperti biasa aku bergegas mengambil Alquran,...

Luka Hati

Luka Hati

Minggu, 28/7/24 | 09:37 WIB

Oleh: Armini Arbain*   Baru saja aku duduk melepas lelah setelah memberi penyegar pada wajah seorang ibu yang facial, Hp-ku...

Setetes  Air dalam Bensin

Setetes Air dalam Bensin

Minggu, 30/6/24 | 09:10 WIB

Cerpen: Armini Arbain   Pesawat Garuda Boeing 800 lepas landas. Tepat pukul lima sore, pesawat yang membawa calon jemaah haji...

Diriku dan Keterlambatan

Minggu, 16/4/23 | 12:12 WIB

Cerpen: Ibnu Naufal   Aku tak mengerti terkadang dengan diriku sendiri. Diri yang begitu unik dan istimewa, menuntut untuk diperlakukan istimewa oleh...

Jus Buah

Jus Buah

Minggu, 19/3/23 | 10:21 WIB

Cerpen: Reno Wulan Sari   “Satu Vanilla Latte hangat.” Barista itu menatap Kalis dengan kepala yang sedikit dimiringkan, seolah ingin meyakinkan,...

Setelah Hari Kematian Kenya

Setelah Hari Kematian Kenya

Minggu, 22/1/23 | 08:26 WIB

Cerpen: Reno Wulan Sari Setelah hari kematian Kenya, tepatnya setelah 10 hari sejak pemakamannya, semua berkumpul di rumah yang mungil itu,...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Mutiara Lembayung

Puisi-puisi Mutiara Lembayung

Discussion about this post

POPULER

  • Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

    Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jembatan Gantung Ambruk di Nagari Koto Padang Lumpuhkan Ekonomi Petani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Firdaus Apresiasi Semangat Gotong Royong Masyarakat Wujudkan Festival Juadah Tanpa APBD

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bergabung dalam Arak – arakan, Anggota DPRD Sumbar, Firdaus Ikuti Keseruan Festival Juadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024