
Seno Gumira Ajidarma adalah seorang jurnalis terkenal enggan disebut sastrawan yang lahir di Boston, Amerika Serikat pada tanggal 19 Juni 1958, tetapi tumbuh dan besar di Yogyakarta. Seno Gumira banyak meyuguhkan karya sastra salah satunya cerpen yang berjudul “Saksi Mata” ditulis berdasarkan insiden yang terjadi di Dili Timor Timur pada 12 November 1991. Cerpen Saksi Mata merupakan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini ditulis di Jakarta pada 4 Maret 1992. Cerpen ini menjadi judul buku cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang terbit pada tahun 1994. Pada buku ini tidak hanya cerpen Saksi Mata, tetapi masih ada 15 cerpen terdapat dalam buku yang menyuguhkan cerita tentang kekejaman dan derita manusia kelas bawah. Atas kisah-kisah tersebut, buku ini juga mendapatkan penghargaan Penulisan Karya Sastra pada tahun 1995 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cerpen “Saksi Mata” bertema kebenaran yang ditutup-tutupi yang di mana pengarang terinspirasi dari kejadian nyata zaman orde baru pada saat itu masih dipimpin oleh Soeharto sehingga banyak sekali metode yang menyebabkan masyarakat tidak dapat menyuarakan haknya. Pada cerpen ini, Seno Gumira menggambarkan seorang wartawan menjadi saksi mata atas salah satu peristiwa. Akan tetapi, ia tidak dapat mengungkapkan kejadian yang sebenarnya karena sudah kehilangan kedua bola matanya.
Cerpen “Saksi Mata” diawali dengan permasalahan sang Saksi Mata yang kehilangan bola matanya. Cerpen ini menggunakan alur maju dan mundur, serta dengan akhir yang menggantung. Hal ini menyebabkan pembaca harus masuk dalam imajinasi mereka masing-masing agar dapat memahami cerita. Selanjutnya, latar tempat pada cerpen “Saksi Mata” berada di ruangan pengadilan yang sedang berjalannya proses pengadilan. Tokoh utamanya adalah Saksi Mata dengan tokoh pendukung Hakim, masyarakat, ninja, dan sopir hakim. Saksi Mata memiliki sifat peduli terhadap keadilan dan masyarakat dalam cerpen memiliki sifat tidak peduli terhadap keadaan yang terjadi. Hakim memiliki sifat acuh tak acuh pada persidangan, ninja memiliki sifat yang patuh pada perintah atasan, dan sopir memiliki sifat berpihak pada kebenaran. Pada akhir paragraf, menceritakan bahwa tokoh Saksi Mata dicabut lidahnya oleh ninja. “Pada waktu tidur, ia bermimpi, ada lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya- kali ini menggunakan catut.” Hal tersebut merupakan permainan disengaja oleh atasan ninja supaya Saksi Mata tidak dapat bersaksi di pengadilan karena lidahnya dicabut.
Seno Gumira memperlihatkan perbedaan kelas sosial yang ada dalam masyarakat dalam tulisannya. Tokoh Saksi Mata adalah seorang yang tertindas dan tidak dapat menyuarakan keadilan karena rakyat biasa yang tinggal di lingkungan kumuh dibungkam oleh kekuasaan, sedangkan tokoh Hakim adalah seseorang yang memiliki kuasa di ranah hukum harus mengikuti aturan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Bila dikaitkan pada zaman sekarang, kondisi ini tentunya masih ada pada saat ini. Seno Gumira menyuarakan kritikannya terhadap pemimpin dalam tulisan cerpen “Saksi Mata” secara tidak langsung untuk menyadarkan para pemimpin dan pembaca agar berani menegakkan keadilan. Tidak hanya dalam cerpen, pada tulisan lainnya yang berjudul “Ketika Jurnalis Dibungkam, Sastra Harus Bicara”, Seno juga menyuarakan keadilan. Buku tersebut sangat berkaitan di era rezim pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Para jurnalis tidak boleh meliput politik agar para pemimpin bisa seenak dalam menjalankan pemerintahan Indonesia.
Seno Gumira sengaja membuat akhir yang menggantung supaya pembaca harus membaca berulang kali agar dapat memahami tulisan dari cerpen “Saksi Mata”, seperti analogi ninja dan darah yang menggambarkan akibat-akibat dilakukan oleh para penguasa. Tokoh ninja menggambarkan orang yang mengancam Saksi Mata agar tidak dapat memberikan kesaksian di pengadilan. “Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!” Darah menggambarkan keserakahan para penguasa terhadap fasilitas yang dibangun oleh negara. Akan tetapi, keserakahan mereka tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Hal tersebut tergambar jelas pada kutipan “Darah mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun ajaib, tiada seorang pun melihatnya.”